Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mati Digantung di Negara Singa

Singapura negeri tertinggi di dunia dalam tingkat eksekusi mati—dengan cara menggantung. Melampaui Cina dan Arab Saudi.

1 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FLOR Contemplacion, 42 tahun, hanya perempuan biasa. Saking bersahajanya, ia terpaksa menjadi pembantu rumah tangga di Kota Singa. Tetapi, pada akhir hidupnya, perempuan asal Filipina ini disambut bak selibriti, delapan tahun silam. Pulang dengan tubuh tak bernyawa, puluhan ribu orang berjejal di sepanjang jalan yang dilalui jenazahnya dari bandara. Bahkan Ibu Negara, Amelita Ramos, datang menyambutnya—hal yang tak terbayangkan terjadi bila Contemplacion kembali hidup-hidup.

Contemplacion bukan lagi sekadar warga Filipina biasa atau pekerja migran. Dia sontak menjadi pahlawan. Ibu empat anak ini dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Singapura karena dituduh membunuh rekannya sesama pembantu asal Filipina dan anak majikannya. Ia menjalani hukum gantung— yang juga masih diberlakukan di Malaysia. Eksekusi atas Contemplacion sempat membuat buruk hubungan diplomatik Singapura-Filipina. Padahal, Presiden Fidel Ramos secara pribadi sempat meminta penundaan hukuman mati sampai dievaluasi dengan mengajukan bukti dan saksi baru. Tidak diindahkan, duta besar masing-masing sempat ditarik pulang.

Negeri kota kecil itu memang terkenal sebagai penerap hukuman keras, dari hukuman cambuk hingga hukuman gantung. Selain Contemplacion, warga Malaysia Vignes Mourthi harus meregang nyawa di tiang gantungan pada akhir September 2003. Juga Arunprakash Vaithilingam, warga India, dieksekusi sebulan kemudian.

Menurut laporan Amnesty International dua pekan lalu, Singapura menempati urutan pertama dalam pelaksanaan hukuman mati dibandingkan dengan jumlah penduduknya. "Lebih dari 400 narapidana digantung di Singapura sejak 1991, membuat negeri kota kecil ini mungkin memiliki tingkat eksekusi tertinggi di dunia kalau dilihat dari jumlah penduduknya yang sekitar 4 juta jiwa," demikian laporan Amnesty.

Peringkat satu Singapura dalam eksekusi lebih nyata dalam laporan lima tahunan Sekretaris Jenderal PBB selama 1990-1999 tentang hukuman berat. Mereka mencatat angka 13,57 dengan jumlah 285 eksekusi. Kemudian disusul Turkmenistan dan Arab Saudi. Kalau dilihat dari segi jumlah, Cina menempati urutan teratas, 13.601 eksekusi (lihat boks). Indonesia mencatat satu eksekusi.

Amnesty juga memprotes ketertutupan proses eksekusi di negeri jiran itu. Singapura pun langsung gusar, karena hal itu dianggap membuat rusak citra negaranya dalam menghargai hak asasi manusia. "Tuduhan Amnesty International sangat absurd," demikian juru bicara Departemen Dalam Negeri Singapura.

Menurut sang juru bicara, dalam hal eksekusi dan pengadilan, negerinya selalu terbuka. Mereka mencoba membela diri dengan mengatakan bahwa eksekusi di tiang gantungan di sana bertujuan mencegah berkembangnya kejahatan. Menurut presiden lembaga prodemokrasi Think Centre, Sinapan Samydorai, kebanyakan hukuman gantung dijatuhkan atas para pengguna atau pengedar obat terlarang. Yang tepergok memiliki atau mengedarkan 15 gram heroin, 30 gram morfin, atau 500 gram cannabis bisa terkena vonis maut itu. Seperti Vignes Mourthi, yang ditemukan membawa 27 gram heroin. Sisanya, para pembunuh atau penyerang bersenjata_-seperti Vaithilingam, yang dijerat lehernya karena membunuh teman sekamarnya, meski saat itu dia sedang mabuk.

Hukum gantung adalah warisan penjajah Inggris di Singapura untuk berbagai kejahatan. Perdana Menteri Lee Kuan Yew mengintroduksi hukuman mati bagi pengedar obat terlarang pada 1970. Kampanyenya saja menegakkan bulu roma, hingga kini. Begitu mendarat di bandaranya, kita langsung tersodok tulisan Welcome to Singapore, yang disusul "Hukuman mati bagi penjual narkoba sesuai dengan hukum Singapura". Alamak.

Amnesty mengecam soal keadilan bagi terpidana mati, yang rata-rata orang bawahan dan tak berpendidikan. Kesulitan mendapat pengacara bagus juga menjadi kendala. Misalnya dalam kasus Mourthi. Ketika dia menganggap pengacaranya tidak bagus dan ingin menggantinya, hakim menolak permohonannya. Sikap fair pengadilan dipersoalkan pula, termasuk dalam kasus Mourthi, Vaithilingam, hingga Contemplacion.

Tapi penguasa Negeri Singa selalu punya alasan. "Kebanyakan warga Singapura tahu bahwa sistem peradilan kami yang keras tetapi fair membuat Singapura salah satu tempat tinggal dan kerja teraman di dunia," ujar juru bicara Departemen Dalam Negeri. Dia juga meyakini, hukuman mati mendapat dukungan luas dari rakyatnya. Padahal makin banyak negara di dunia yang menghapus hukuman mati.

Maka, Singapura terus saja menggantung sampai mati warga asing. Menurut Amnesty, dari 174 eksekusi yang tercatat pada periode 1993-2003, 93 di antaranya orang asing, terutama pekerja migran dari Malaysia, Indonesia, Thailand, dan India. Dan kebanyakan pemerintah berusaha menahan diri, takut dianggap mencampuri urusan dalam negeri orang lain. Kasus Contemplacion mungkin kekecualian. Dan Singapura pun sepertinya tetap number one dalam urusan hukuman mati.

Purwani Diyah Prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus