Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUMAT hari suci bagi kaum muslim—tapi tidak untuk para terpidana mati di Singapura. Jumat adalah hari eksekusi, saat nyawa direnggut paksa di sebuah tiang di Penjara Changi. Fajar menyingsing bukan lagi tumpuan harapan, melainkan isyarat kematian yang menyakitkan.
Pada Jumat akhir September 2003, adalah Vignes Mourthi yang digantung mati. Begitu pula Arunprakash Vaithilingam, Flor Contemplacion, dan John Martin Scripps. Mereka dikalungi tali penjerat, lalu dalam satu sentakan: hek! Semua di sebuah Jumat dini hari.
Cara mati mereka tidaklah mudah. Depresi sudah pasti. Membayangkan kantong penutup kepala, tangan terikat, dan tali penjerat leher. Apalagi pengantre maut (death row) ini acap diperlakukan tidak manusiawi. Menurut Amnesty International, terpidana mati ditaruh di dalam sel kecil—sendirian. Mereka dilarang keluar menjemur diri atau berolahraga. Kunjungan keluarga cuma 20 menit setiap minggunya. Hanya empat hari sebelum eksekusi, mereka boleh menonton televisi, mendengarkan radio, atau makan makanan kesukaan. Wahai, nyawa yang nelangsa....
Mereka juga kenyang cacian. Dalam oretannya menjelang kematian, Scripps, yang digantung mati pada April 1996, menulis, "Setiap hari kita disebut bukan warga manusia." Ini menimpa semua terpidana mati. Ketika memfantasikan gantung diri, ia "menyaksikan" pintu surga terkuak untuknya. Tapi ia masih sempat mencatat sebuah harapan. "Aku terbangun dalam kegelapan dan merasakan beratnya leherku. Aku berteriak, 'Mama, aku di sini!'"
Scripps divonis gantung pada pertengahan 1995 karena pembunuhan. Awalnya, dia naik banding, tapi kemudian mencabutnya. Dia juga menolak mengajukan grasi kepada Presiden Ong Teng Cheong. Dia pasrah. Tenggat matinya pun ditetapkan: fajar Jumat, 15 April 1996.
Tiada lagi harapan, di dalam sel tanpa jendela 2,4 x 1,8 meter, Scripps berusaha menikmati hari terakhirnya. Ia menjadi istimewa karena mewariskan catatan kejahatan yang "romantis" di akhir hidupnya. Juga puisi cinta buat mantan istrinya: "Tuhan mungkin merenggut hidupku untuk sesuatu yang berharga. Tapi tolong limpahkan kedamaian dan kebahagiaan kepada dia yang aku cintai."
Sekitar 12 jam menjelang eksekusi, Scripps diizinkan bertemu dengan ibu dan saudaranya yang datang dari Inggris. Hukum Singapura melarang mereka menyaksikan eksekusi. Lalu, lelaki kelahiran Inggris pada 1959 ini mendapat makanan terakhirnya, piza, dan secangkir cokelat panas.
Pukul 3.30, Scripps dibangunkan dan digiring ke ruang tunggu—di sana telah ada dua terpidana mati lain, untuk digantung bersama. Pendeta didatangkan. Pukul 6 Jumat pagi, ketiganya dituntun—dengan kepala tertutup kantong hitam—ke tiang gantungan besar yang bisa menggantung tujuh nyawa sekaligus. Setelah sejam di tiang gantungan, jasad ketiganya diturunkan, dibungkus dengan kain putih, dan diserahkan ke keluarga mereka. Penantian dan perjuangan untuk tetap hidup telah tertutup.
Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo