Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Langkah Kuda Menuju Bulan Juni

Pemerintahan pendudukan Amerika akan membentuk kaukus pemerintahan sipil sebelum meninggalkan Irak. Tapi kaum Syiah, yang merupakan mayoritas penduduk Irak, menuntut pemilu langsung.

1 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Naji Abid Ondah menengadahkan tangan ke langit. Bibirnya komat-kamit memanjatkan pujian di pusara Imam Ali bin Abi Thalib di Kota Najaf. Guru mengaji kelahiran Hilla ini mengadukan nasib negerinya, yang tak putus dirundung malang. "Kami (kaum Syiah—Red.) ini adalah warga mayoritas. Tapi kenapa dipimpin oleh Amerika dan orang-orang di luar (mazhab) kami?" keluhnya kepada TEMPO, akhir Desember silam. Bagi Naji, ketenteraman dan kedamaian bakal menjadi milik Irak bila ulama Syiah yang memimpin negeri itu.

Naji hanyalah orang kecil yang hidup di sebuah pedepokan terpencil di Hilla, satu jam perjalanan sebelah selatan Bagdad, bersama istri dan ketiga anaknya. Tapi angan-angan Naji sejatinya bukan lahir dari ruang kosong. Dari segi jumlah, kaum Syiah adalah mayoritas. Dalam hal panutan dan rujukan, mereka punya ulama besar Ayatollah Ali Muhammad al-Sistani. Adalah Sistani yang mendesak pihak Amerika agar anggota Dewan Legislatif Irak transisional dipilih lewat pemilu—dan lewat penunjukan langsung. Di Basra, Kamis pekan lalu, 40 ribu orang menggelar demo untuk mendukung usulan Al-Sistani.

Ulama besar ini memang dituduh berambisi mengambil alih pemerintah dan menjadikan Irak negara agama. "Demi Allah, saya tidak punya ambisi politik," ujarnya kepada harian Al-Hayat, Jumat silam. Dia mengaku hanya ingin memperjuangkan aspirasi rakyat Irak agar dapat diwakili dengan sepantasnya.

Sebagaimana kita ketahui, setelah jatuhnya Bagdad pada 9 April 2002, Amerika Serikat membentuk pemerintahan sipil transisional di Irak. Kaum Syiah, yang mencapai 60 persen dari total populasi, hanya diwakili dua orang ulama dalam Dewan Pemerintahan Irak yang beranggotakan 25 orang. Selepas serah-terima pada 30 Juni mendatang, pemerintahan transisional bahkan berniat membentuk dewan eksekutif baru ala Amerika.

Maklumlah, kendati secara faktual menguasai Irak, sandungan bagi koalisi tak ada hentinya. Sudah ratusan tentara koalisi tewas dalam konflik bersenjata melawan gerilyawan Irak. Tentara yang mati dalam Perang Irak kedua ini sudah membalap jumlah tentara AS yang tewas dalam Perang Vietnam (lihat, "Pandanglah Bintang Utara..."). Pekan lalu saja terjadi ledakan dahsyat di markas pemerintahan sipil koalisi di Bagdad yang menewaskan 17 orang.

Bisa jadi, bayangan bom dan kematian pula yang membikin AS giris dan bersicepat merumuskan pemerintahan transisi pasca-30 Juni. Namun, para tokoh yang ditunjuk rata-rata pro-Amerika. Maka, naik pitamlah Ayatollah al-Sistani. Ia mengancam tak akan mengakui pemerintahan pasca-Amerika Serikat jika tanpa lewat pemilu. "Jika (Paul) Bremer menolak pendapat ulama besar Al-Sistani, dia akan mengeluarkan fatwa untuk merebut legitimasi pemerintah hasil penunjukan," kata Mohammed Baqir al-Mehri, wakil Sistani di Kuwait.

Sistani menginginkan pemilihan langsung atas anggota parlemen karena khawatir kaukus-kaukus akan menyingkirkan kaum Syiah dari parlemen ataupun eksekutif. Sistani juga mengingatkan Bremer serta Washington bahwa tanpa wakil Irak yang sah—maksudnya yang terpilih lewat pemilu—Amerika dan koalisi tak berhak menegosiasi keamanan dan keberadaan pasukannya di Irak.

Suara Sistani tampaknya didengar oleh Amerika. Satu contoh, Juni lalu ulama besar ini mengeluarkan fatwa yang menuntut penyusun konstitusi Irak harus dipilih oleh rakyat Irak. "Jangan ditunjuk oleh pemerintah pendudukan Amerika atau Dewan Pemerintahan," katanya. Tuntutan itu memaksa Washington merombak rencana awal dan mempercepat proses penyerahan kekuasaan kepada rakyat Irak tanpa menunggu konstitusi baru rampung.

Wajar bila Amerika mengakomodasi sikap politik Sistani. Demonstrasi besar di Basra pekan lalu adalah satu bukti kuatnya pengaruh ulama sepuh ini. "Kami ingin memperjuangkan hak-hak kami untuk semua posisi politik melalui pemilihan umum," kata Ali al-Mussawi al-Safi, seorang ulama yang mewakili Al-Sistani di Basra. Demo itu sendiri seakan menjadi perhelatan kaum Syiah. Polisi Irak dengan tabah harus menjaga iring-iringan massa yang bertempik-sorak dengan gemuruh.

Sejumlah helikopter pasukan Inggris meraung-raung di atas para pengunjuk rasa yang membaungkan teriakan ini: "Ya.., ya.., untuk pemilihan! Ya.., ya.., untuk Al-Sistani!" Atau juga, "Tidak untuk Amerika!" Lalu, mereka duduk di jalanan dengan tertib mendengarkan orasi para ulama. Sikap keras Sistani bukan urusan kemarin petang. Jauh sebelum jatuhnya Bagdad, pemimpin Partai Dakwah Jawad Maliki itu sudah mengancar-ancar bahwa rakyat Syiah akan memberontak. "Kami akan memperjuangkan bebasnya Irak dari Amerika," kata Al-Sistani saat TEMPO menemui dia dalam pengasingannya di Irak, dua tahun silam.

Di jalanan Bagdad, TEMPO menyaksikan apa yang diramalkan Sistani dari Suriah. Teriakan kaum Syiah untuk merdeka dari Saddam ataupun kekuasaan asing adalah parade yang dengan mudah disaksikan sebelum jatuhnya Saddam. Bendera mereka yang berwarna hijau dan hitam berkibar menyelimuti kota-kota penting seperti Bagdad, Karbala, Najaf, dan Basra. Parade bendera ini seolah menjadi ikon, betapa negeri tua itu sudah kembali ke pangkuan yang berhak.

Apa reaksi Washington terhadap fenomena "kebangkitan" kaum Syiah yang terang-terangan melawan pendudukan asing? Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell, menjamin Amerika akan membentuk pemerintahan demokratis di Irak. "AS tak akan mempersulit," ujarnya. Powell layak merasa percaya diri karena toh ia tidak sendirian kalaupun mesti berseberangan dengan Al-Sistani. Politikus Irak yang disokongnya, Adnan Pachachi, juga memilih menentang pemikiran Sistani. Kini Adnan memimpin sebagai Presiden Dewan Pemerintahan Irak. Kepada para konconya di Washington, Adnan meyakinkan bahwa Sistani telah dapat ia lunakkan hatinya.

Adnan berani mengancam segala. Katanya, jika pihak lawan (kaum Syiah dalam hal ini—Red.) terlalu menekan sehingga urusan menjadi macet, pemerintahan pendudukan akan diperpanjang dua tahun lagi. Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika, Richard Boucher, malah bereaksi lebih keras lagi. Tak menggubris tekanan massa Syiah, Boucher sesumbar betapa keinginan Sistani dan umat Syiah sulit diwujudkan karena kondisi keamanan Irak yang masih amat rawan untuk berpesta demokrasi. "Washington akan terus melanjutkan diskusi dengan kelompok-kelompok di Irak guna menetapkan cara terbaik dalam memilih anggota pemerintahan transisi setelah AS pergi," katanya.

Di lain pihak, Sistani menolak berunding langsung dengan Kepala Pemerintahan Amerika Serikat di Irak, Paul L. Bremer. Mereka berdua biasanya ber-"pingpong" dulu lewat beberapa orang sebelum saling menyapa. Sistani, meski dianggap sebagai tokoh politik moderat, tetap menolak bertemu pejabat tinggi pendudukan Amerika. Ia tidak ingin memberi legitimasi terhadap apa yang disebutnya sebagai penjajahan negerinya.

Lantas, bagaimana sikap kaum Suni terhadap keberadaan kelompok Syiah di Irak? Kepada TEMPO, Ammar bin Daud, arkeolog lulusan Universitas Bagdad, mengaku risi terhadap sikap politik kaum Syiah di negerinya. Menurut penganut mazhab Syafii ini, ideologi revolusioner yang tertanam di tubuh Syiah bakal menyulitkan masyarakat kebanyakan. "Kami sudah capek berperang," tuturnya. Ammar menilai sudah saatnya bagi mereka untuk merajut ketenangan setelah perang puluhan tahun yang tiada henti.

Negeri tua ini memang tiada henti dilanda ceritera perang, penindasan, dan perlawanan. Bom-bom bunuh diri terus berdentuman, dan pemerintah Amerika tampaknya masih akan diuji berkali-kali untuk dapat keluar dari lubang jarum dengan mulus menjelang "masa dinasnya" usai. Menjinakkan "macan padang pasir" Syiah saja sudah membikin pusing kepala. Apalagi bila mereka ramai-ramai bersatu menganggap Amerika sebagai penjajah yang wajib diusir.

Rommy Fibri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus