Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Melawan Rasa Tak Aman

Setelah serangan, umumnya warga Paris tak menuding muslim. Tapi jalan pengungsi Timur Tengah makin sulit.

23 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekeluar dari Stasiun Saint-Denis-Université, jalanan lengang. Halte bus kosong. Taksi sulit didapat. Mobil-mobil jauh dari keramaian sehari-hari kawasan di pinggiran Paris ini. Memasuki Boulevard Jules Guesde pun suasana makin sepi. Orang-orang, terutama laki-laki, berkerumun di jalan.

Sekelompok anak muda bertanya kepada kru media yang kebetulan lewat. "Dari media mana?" kata seorang pemuda, sambil berjalan menuju sebuah gedung. Setelah dijawab, pemuda itu mengatakan, "Semoga berhasil. Bom di mana-mana, kan."

Suasana Saint-Denis, kawasan di pinggiran Paris bagian utara, memang sangat lesu pada Rabu pekan lalu. Pagi harinya aparat keamanan menggerebek sebuah flat di ujung Rue de Robillon, yang berbuntut baku tembak. Dua orang yang diduga terlibat dalam serangan pada Jumat dua pekan lalu tewas. Lima orang lainnya ditangkap. Aparat mengejar Abdelhamid Abaaoud, pria yang diduga sebagai otak serangan.

Warga cukup resah. "Tak ada keamanan lagi di Prancis," ujar Angelo Estrada, warga yang tinggal di Rue Fontaine, jalan di sebelah Rue de Robillon. Ia baru saja ke luar rumah setelah sepanjang pagi tidak diperbolehkan keluar oleh aparat. Padahal jam sudah menunjukkan sekitar pukul 13.00. "Saya mau mencari rokok. Saya perlu rokok," katanya.

Sebagian warga Paris memang merasakan ketegangan. Rasa tidak aman menguat. "Kami berharap aparat keamanan bekerja lebih keras," ujar Camelia, pelajar sekolah menengah berjilbab, yang rumahnya juga tak jauh dari lokasi baku tembak pada Rabu pagi itu.

Sebenarnya pada hari-hari setelah serangan Jumat malam, penjagaan keamanan memang ditingkatkan. Tentara dan polisi berjaga-jaga di tempat-tempat publik. Tapi mereka terlihat santai, meski senapan siap di tangan, dengan moncong dihadapkan ke bawah. Misalnya di stasiun dan gedung pemerintah. Penjagaan lebih ketat justru terlihat di sebagian kampus. Menurut Gustie Arvianda Bagaskara, mahasiswa Jurusan Manajemen Transportasi Université de Cergy-Pontoise, selain meminta menunjukkan kartu identitas, polisi menggeledah semua tas orang-orang, termasuk mahasiswa yang masuk kampusnya.

Banyak warga Paris mengurangi kegiatan di luar rumah. Gustie bahkan sampai memborong bahan makanan untuk stok. "Supaya tidak perlu ke luar rumah kalau tidak ada kegiatan penting," kata pria 19 tahun ini.

Sepekan setelah serangan, situasi masih diwarnai berseliwerannya pesan pendek lewat telepon seluler. Misalnya pesan jangan ke luar rumah atau hindari daerah Place d'Italie, Place de la Republique, dan Bastille.

Suasana itu masuk akal karena beberapa kali ada kepanikan akibat ancaman palsu. Pada Ahad petang, misalnya, timbul kekacauan massa di sekitar Place de la Republique setelah terdengar suara seperti bunyi petasan. Orang-orang berlarian sambil menjerit-jerit. Banyak orang yang sedang di jalanan langsung masuk ke kafe atau restoran terdekat. "Semua yang di kafe langsung tiarap dan jongkok," ujar Lexy Rambadeta, pembuat film dokumenter, yang tengah berada di sebuah kafe di sekitar Place de la Republique bersama temannya, Hendra Pasuhuk. "Mencekam banget. Aku saiki ngerti rasane (Aku sekarang tahu rasanya)," katanya.

Di jalanan yang agak jauh juga terjadi kehebohan. Di Rue Flandre, orang-orang berlarian. "Kalau tidak ada yang penting, jangan ke sana," ujar seorang pemuda yang sempat menghentikan larinya untuk memperingatkan rombongan Tempo yang sedang berjalan bersama Rika Theo dan Muhammad Akzar. Isunya ada serangan di Stalingrad.

Kekhawatiran timbul tak hanya terhadap ancaman teror. Sebagian warga muslim, terutama perempuan berjilbab, menghindari keluar dari rumah karena tak tahan menghadapi "serangan" psikologis. "Saya tidak takut. Hanya sekarang berbeda, semua berubah," kata Sabrina saat ditemui di Masjid Agung Paris di Place du Puits-de-l'Ermite. "Kami tidak tahu apa yang akan terjadi."

Perempuan keturunan Aljazair yang berjilbab ini pun mengisahkan bagaimana ia mendapat tatapan tajam dari keluarga korban serangan Jumat malam saat ia menemani ibunya di rumah sakit yang merawat para korban. "Orang-orang menatap saya lama," ujarnya.

Namun sangat banyak pula warga Paris, baik muslim maupun nonmuslim, yang tak gentar terhadap segala ancaman lanjutan. Lokasi yang menjadi target serangan Jumat malam tak pernah sepi dari kerumunan orang, sejak pagi hingga tengah malam. Di antaranya di depan restoran Le Petit Cambodge dan Le Carillon di Rue Alibert, orang-orang terus meletakkan kembang atau catatan, menyalakan lilin, ada pula yang berdoa. Juga di sekitar pojok Rue de la Fontaine-au-Roi, yang menjadi lokasi Café Bonne Biére dan La Casa Nostra, yang kaca jendelanya banyak berlubang akibat tertembus peluru. Malah dua toko bunga di sebelah dan seberang Bonne Biére menjadi ramai pembeli, yang sebagian menaruhkannya di depan kedua kafe.

Di seberang Le Bataclan, tempat konser Eagles of Death Metal, juga sangat ramai setelah Boulevard Voltaire, jalan di depannya, sempat ditutup beberapa hari. Begitu pula di Place de la Republique. "It's life," kata seorang perempuan dari Normandia yang lama terpaku di seberang Le Bataclan sambil mengisap rokoknya. "Kalau takut, kita tidak akan ke mana-mana."

Orang-orang tetap memenuhi kafe dan restoran. Kursi-kursi yang ditata di luar restoran ramai. Toko dan restoran di sekitar insiden serangan yang sempat tutup beberapa hari mulai buka.

Bahkan banyak pula warga muslim yang tak takut sama sekali. Misalnya Milun, warga keturunan Aljazair yang ditemui Tempo di Masjid Agung. "Orang kadang mengidentikkan orang Arab dengan teroris. Tapi tak apa-apa buat saya karena saya tumbuh bersama mereka. Jadi saya bisa mengerti," ujar ahli keuangan ini.

Demikian pula Amin, warga London yang sedang mengunjungi kakaknya di Paris. "Mati urusan Allah," katanya.

Bagi banyak orang, kejadian Jumat malam itu justru bernilai buat warga. "Ini menyatukan kami," ujar seorang perempuan muda di depan Le Petit Cambodge. Ia tak menuding ke komunitas muslim, yang biasanya langsung ditoleh begitu ada serangan teroris. "Karena saya tahu ini bukan Islam."

Dari kalangan muslim pun demikian. "Mungkin sekarang orang-orang di seluruh dunia akan bersatu melawan ini," kata Sabrina.

Memang banyak orang tak langsung menuding atau menengok ke komunitas muslim setelah serangan kali ini. "Serangan ini bukan Islam. Islam adalah agama damai," ujar Milun.

Upaya persatuan terlihat. Mantan perdana menteri Alain Juppe mendatangi Masjid Agung pada Selasa pekan lalu. Keluar dari masjid, ia menyatakan bahwa rakyat Prancis harus kuat dan bersatu dalam melawan teroris.

Pada malam harinya, serombongan orang, termasuk beberapa perempuan berjilbab, melakukan aksi solidaritas di seberang Le Bataclan. Mereka berjajar di pinggir Boulevard Voltaire sambil membawa obor dan kembang di kedua tangan mereka. Sebagian masih memegang kertas bertulisan "Uni avec le peuple Francais contre l'integrism" (Bersatu dengan rakyat Prancis dalam persatuan). "Kami mendukung persatuan," kata seorang perempuan berjilbab saat ditanya untuk apa aksi mereka.

Hanya, ketika pembahasan mulai masuk ke soal pencari suaka dari negara-negara Islam belakangan ini, suara terbelah. Ada yang menyatakan Prancis bisa menerima. Misalnya perempuan muda di depan Le Petit Cambodge. Tapi ada pula yang tidak menerima, bahkan menyalahkan pengungsi. "Karena membuka pintu bagi imigran masuk Eropa, kita lihat apa yang terjadi," ujar Angelo Estrada, imigran asal Filipina. "Tapi kali ini harus ditutup."

Purwani Diyah Prabandari (Paris)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus