Kunjungan itu terjadi pekan silam. Mewakili Presiden Mesir Hosni Mubarak, Menteri Luar Negeri (Menlu) Ahmed Maher bertamu ke Washington untuk menemui rekannya, Menlu Amerika Serikat Collin Powell. Agenda utamanya, membahas perkembangan terakhir di Timur Tengah. Dalam kunjungannya yang pertama sebagai Menlu Mesir ke AS, Maher juga menemui sejumlah anggota Kongres.
Ahmed Maher, mantan duta besar, adalah wajah baru dalam kabinet Mubarak. Presiden Mesir itu memang belum lagi mencatat nama-nama baru di luar Maher. Lagi pula, apa perlunya membuat perubahan besar jika posisi Mubarak masih tak tergoyahkan, dengan timnya yang sekarang? Hasil pemilu Dewan Shura?parlemen Mesir?pertengahan Juni lalu lagi-lagi menunjukkan kukuhnya kekuasaan pengganti mantan Presiden Mesir Anwar Sadat itu.
Partai Nasional Demokratik (NDP), yang mendukung Mubarak, merebut 74 kursi dari 88 kursi di Dewan Shura dalam pemilu parlemen dua pekan lalu. Maka, jalan Mubarak bakal lempang-lempang saja hingga akhir masa jabatannya yang ketiga, pada 2005 nanti. Bukan berarti Mubarak tak menyadari kerikil- kerikil yang mengganjal kursinya.
Pihak opoisisi menudingnya bermain curang dalam pemilu dan gemar menangkapi orang yang membahayakan pemerintahannya.
Mei lalu, misalnya, pihak NDP melarang penerbitan media salah satu partai opoisisi. Belum lagi penangkapan 14 orang anggota Ikhwanul Muslimin (gerakan Islam yang tertua dan terkemuka di Mesir). Kelompok Ikhwanul memang lama menjadi oposisi dalam tradisi politik Mesir. Tak mengherankan, Mubarak dan pendukungnya memang giat meredam dukungan rakyat terhadap kelompok ini.
Hal ini tampak jelas dalam pemilu Dewan Shura yang baru lalu. Sejumlah wilayah yang menjadi basis massa Ikhwanul, seperti Provinsi Souhag, Kafer Sheik, dan Helwan, dijaga ketat sejumlah aparat bersenjata lengkap. Alasan resminya adalah menjaga keamanan pemilu. Tapi pihak oposisi menuding kehadiran tentara adalah untuk mengamankan suara NDP. Caranya?
Aparat itu bertanya dengan detail kepada calon pemilih yang hendak memasukkan suaranya. Wartawan TEMPO di Kairo, Zuhaid el-Quidsy, melaporkan, jika saja aparat menemukan tanda-tanda si pemberi suara tidak memilih NDP, prosedur penyetoran suara bagi mereka tiba-tiba menjadi berbelit. Tokoh-tokoh oposisi dari kalangan Ikhwanul merasa geram pada situasi ini, yang mereka sebut sebagai sepak terjang pihak NDP.
Saking kecewanya, kelompok Ikhwanul mundur dari pertarungan suara sejak awal putaran?dengan konsekuensi tak mendapat satu pun suara di parlemen. Tokoh-tokoh Ikhwanul yang biasa berorasi dengan keras hanya berulang-ulang berkata, "Ma'asliy ana ma'arafusy" (Maaf, saya tidak tahu)," tatkala dimintai konfirmasi oleh TEMPO. Masyarakat biasa juga menunjukkan kekecewaan dengan tidak mencoblos kartu suara. Mereka mengaku sudah tahu siapa pemenang pemilu tanpa mereka mesti repot-repot mencoblos. Sejumlah tempat pemungutan suara memang terlihat kosong melompong.
Namun, fenomena menurunnya jumlah pemilih mendapat komentar yang berbeda dari pengamat politik dalam negeri Mesir, Ahmad Musa. Menurut Musa, hal ini terjadi terutama karena, "Partai politik lain kurang siap dalam pemilu kali ini," ujarnya kepada TEMPO. Menurut Musa, Mubarak menjadi kandidat terbaik untuk kondisi Mesir saat ini?suatu pendapat yang banyak memancing pro dan kontra di Mesir saat ini. Pada tahun-tahun awal kepemimpinannya, Mubarak memang masih menjadi figur ideal.
Pada masa-masa itu, ia mencoba berdamai dengan kelompok Islam militan seperti Ikhwanul Muslimin. Sebaliknya, Ikhwanul juga berusaha mengurangi jalan kekerasan, masuk ke dalam institusi politik formal, mendirikan partai, dan ikut pemilu. Lama-kelamaan, Mubarak tak bisa mengendalikan kelompok oposisi tersebut. Maka, penangkapan para aktivis pun dimulai, pendirian kelompok oposisi dihadang, mereka yang berani mengkritik pemerintah segera dikirim ke penjara. Kelompok Human Rights Watch, yang berbasis di New York, punya catatan panjang atas dosa-dosa rezim Mubarak.
Toh, sang Presiden terus melaju. Bahkan, hasil pemilu Dewan Shura kali ini kembali memberinya "tiket jalan tol". Dan wajah politik Mesir tampaknya belum akan berubah. Se-tidaknya, hingga akhir tahun-tahun kekuasaan Mubarak.
Ignatius Haryanto, Zuhaid el-Quidsy (Kairo) (Reuters, Arabic News)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini