Ribuan biksu bersila di lantai Kuil Khon Khaen. Mereka membentuk lingkaran besar mengelilingi Thaksin Shinawatra. Para pemuka agama Buddha itu berdengung dalam sila, mendoakan Perdana Menteri Thailand itu tatkala Thaksin mampir ke sana dalam kunjungan dinasnya ke Laos, belum lama ini. Terletak 445 kilometer dari Bangkok—jauh dari ingar-bingar politik Ibu Kota—Thanksin mencoba menemukan ketenangan di Khon Khen sekaligus bersilaturahmi dengan para pemimpin biksu Thailand—salah satu lapis penting dalam kehidupan di negeri itu adalah kaum Buddhis itu sendiri.
Upacara di atas dilangsungkan untuk menjauhkan sang Perdana Menteri dari prahara. Entah karena mujarabnya doa para pendeta, entah karena sebab lain, Thaksin memang tampil penuh percaya diri dalam kunjungannya ke Myanmar pertengahan pekan silam. Tersenyum lebar di hadapan publik, ia menerima pelukan hangat dari pemimpin Myanmar Jenderal Than Shwe. Padahal, nasib Perdana Menteri Thailand itu hanya tinggal hitungan pekan. Mahkamah Konstitusional mem- vonisnya bersalah.
Ihwal Thaksin dengan mahkamah itu berawal dari tuduhan bahwa Thaksin menyembunyikan kekayaannya US$ 232 juta (setara dengan Rp 2,55 triliun pada kurs Rp 11 ribu). Sekretaris Jenderal Komisi Antikorupsi Nasional (NCCC), Klanarong Chanthik, menuduh Thaksin dan istrinya, Potjamarn Damapong, mengalihkan kepemilikan saham bernilai jutaan dolar kepada sejumlah pem- bantunya untuk menghindari pajak.
Dugaan ini muncul ketika Thaksin melaporkan jumlah kekayaannya sebesar US$ 486 juta pada November 1997. Padahal, seorang analis menghitung harta milik konglomerat itu bisa mencapai lebih dari US$ 2 miliar, sebelum terjadi krisis ekonomi. Maka, timbul dugaan ia menutup-nutupi triliunan rupiah kekayaannya dari mata petugas pajak. Kasus itulah yang membuat ayah tiga anak ini diseret ke Mahkamah Konstitusional—peristiwa yang mengundang perhatian seluruh negeri. Roda berputar terlalu cepat bagi Thaksin.
Januari silam ia muncul di hadapan publik didampingi istri dan anaknya setelah resmi menjadi perdana menteri. Rakyat mendukungnya. Partainya, Thai Rak Thai (TRT), menang pemilu, dengan jumlah kursi terbanyak dalam sejarah demokrasi Thailand. Padahal, ketika itu isu tak sedap tentang sepak terjangnya menyembunyikan kekayaan sudah muncul. Toh, penduduk Thailand tidak ambil pusing. Mereka memberi suara untuk TRT dan Thaksin.
Dan Thaksin memang tahu betul bagaimana "menjual diri". Ia menjanjikan pengampunan utang petani, mengucurkan dana bantuan langsung ke pedesaan, menggalakkan pelayanan kesehatan yang murah—beberapa program yang ia kampanyekan semasa pemilu. Sebagai eksekutif yang terlatih, pendukungnya percaya bahwa ia mampu memimpin. Hartanya yang bertimbun-timbun membuat para pemilih percaya, Thaksin tak akan tergoda bermain mata dengan korupsi dan harta negara.
Ironisnya, urusan harta yang membuat sang Perdana Menteri terseret ke pengadilan, hanya empat bulan setelah ia memerintah. Senin dua pekan lalu, dengan berurai air mata ia meng-ucapkan pidato pembelaan di depan pengadilan, sementara di luar gedung ribuan pendukungnya melambai-lambaikan bunga untuk memberikan dukungan.
Sebuah spanduk lebar bertuliskan "Tanpa Thaksin, kesatuan negara akan pecah" direntang para pengikutnya sembari bersorak-sorai.
Menanggapi simpati publik, Thaksin mengatakan, "Saya akan berusaha sebaik mungkin menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi Thailand." Popularitasnya sebagai pemimpin tidak turun walau ia diseret ke Mahkamah Konstitusional. Hasil sebuah jajak pendapat pekan lalu menunjukkan, 44,8 persen responden mendukungnya dan hanya sekitar 21,4 persen yang percaya pada tuntutan pengadilan. Dan publik masih mengharapkan ia memulihkan kehidupan ekonomi setelah diterpa krisis sejak 1997. Program ekonomi dari perdana menteri sebelumnya, Chuan Leekpai, tak berjalan mulus. Dan rakyat sudah bosan hidup miskin.
Maka, bila ia divonis bersalah, para pengamat menilai akan timbul gejolak sosial dan politik. Apalagi vonis bersalah akan membuatnya harus mundur dari gelanggang politik selama lima tahun. Sebaliknya, putusan tak bersalah bagi Thaksin bisa menjadi preseden dalam usaha memberantas korupsi dan penyelewengan keuangan di negeri itu.
Thaksin dan Thailand masih harus menanti keputusan itu beberapa pekan lagi. Tapi satu hal sudah jelas: sebuah vonis bersalah tak bisa digugurkan oleh doa dari ribuan pendeta sekalipun.
Ignatius Haryanto (Reuters, Asia Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini