Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Berlin- Direktur Eksekutif Dewan Pers Jerman (Deutscher Presserat), Roman Portack menyebut ada sejumlah kasus pengaduan akibat pemberitaan media massa. Kasus paling rumit yang pernah ditangani Dewan Pers Jerman yakni saat beberapa surat kabar Jerman mencetak ulang sebagian atau seluruh gambar kartun yang memuat gambar Nabi Muhammad SAW untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap kebebasan pers pada 2006. Jyllands-Posten dari Denmark pertama kali memuat kartun tersebut dan memicu gelombang protes karena menyinggung umat Muslim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Pers Jerman dikenal sebagai badan yang bertanggung jawab menegakkan peraturan pers. Mereka memantau kepatuhan jurnalis terhadap etika yang yang ditetapkan melalui Kode Pers Jerman sebagai pedoman kerja jurnalistik. Dewan Pers bertanggung jawab menjaga reputasi pers Jerman, sekaligus melindungi kebebasannya. Semua orang bisa melaporkan atau mengadukan pemberitaan media massa kepada Dewan Pers.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Roman menjelaskan ada metode dan kriteria dalam menangani berbagai pengaduan tentang pemberitan media massa di Jerman. Kriteria pengaduan misalnya mengacu pada beratnya pelanggaran, konsekuensi bagi orang yang terkena dampak pemberitaan, dan langkah untuk mitigasi terulangnya kasus serupa. Adapun sanksi yang diberlakukan bagi yang melanggar aturan atau kode pers Jerman, misalnya catatan yang sifatnya memberikan saran dan teguran.
“Proses pemeriksaan (kasus) bisa berminggu-minggu, tergantung kasusnya,” kata Roman melalui presentasinya di hadapan 27 jurnalis, pengusaha media, bloger, aktivis liberal, dan politikus dari berbagai negara di Berlin, Jerman, pada Senin, 25 November 2024 waktu setempat, dalam rangkaian seminar yang digelar organisasi nirlaba Jerman, Friedrich Naumann Foundation (FNF) for Freedom dalam forum International Academy for Leaders (IAF). Seminar tersebut mengambil tema Freedom of the Press: Challenges in the Digital Age.
Isu agama dan kebebasan pers, kata Roman kembali mencuat pada 2012. Roman menunjukkan gambar sampul Majalah Titanic yang memicu kontroversi. Majalah Mingguan Jerman yang kerap memuat gambar satir itu menerbitkan gambar Paus Benediktus XVI dalam jubah dengan kotoran berwarna kuning di bawah pinggangnya. Di atas gambar tersebut tertulis Hallelujah in the Vatican: The leak has been found!.
Di sampul bagian belakang, gambar Paus muncul dari belakang dengan noda berwarna cokelat pada bagian pantatnya. Gambar itu memicu kontroversi dan menuai protes dari Vatikan dan para pendukungnya di Jerman. Majalah tersebut mendapatkan teguran.
Roman menjelaskan pasal dalam Kode Pers Jerman telah mewajibkan jurnalis menghormati hak privasi atau kehidupan pribadi seseorang, menghindari hal yang sensasional, menghindari penggambaran kekerasan dan kebrutalan yang sensasional, peliputan yang menyeluruh dan adil, dan menghormati martabat manusia. Dia mencontohkan sejumlah kasus pemberitaan yang diadukan ke Dewan Pers karena mengganggu hak privasi seperti kasus pembunuhan yang mencantumkan foto korban tanpa persetujuan keluarganya.
Selain itu, Roman menyinggung penggunaan kecerdasan buatan generatif atau generative artificial intelligence (AI) oleh sejumlah media massa. Contohnya ada surat kabar yang memuat gambar makanan menggunakan AI tanpa menyertakan keterangan. Ada juga wawancara dengan pembalap mobil, Michael Schumacher menggunakan AI.
“Kami tegur karena menyesatkan pembaca,” kata Roman.
Dewan Pers menekankan penggunaan AI harus disertai dengan transparansi dan tanggung jawab media massa. Penggunan AI harus melewati pemeriksaan tim editorial sebelum dipublikasikan. Dewan Pers telah menyusun pedoman penggunaan AI, termasuk penggunaan gambar, simbol, dan ilustrasi.
Dalam rilis indeks kebebasan pers yang diterbitkan Reporters Without Borders (RSF), organisasi nirlaba di Prancis yang mendukung kebebasan informasi, peringkat kebebasan pers Jerman naik dari 21 ke posisi 10 pada tahun ini dari 180 negara. Organisasi ini menyebut konstitusi yang kuat dan peradilan yang independen mendukung jurnalisme di Jerman. Jerman merupakan pelopor dalam penegakan dan perluasan hukum pidana internasional.
Kepatuhan terhadap standar etika didorong oleh Dewan Pers, badan sukarela yang mengatur media cetak dan online. Media Jerman mempunyai tradisi panjang dalam mengkritik pemerintah dan oposisi. Independensi media publik dilindungi undang-undang. Peran media sebagai pilar demokrasi diterima secara luas oleh para politisi kecuali kelompok sayap kanan. Selain itu, reformasi undang-undang keamanan telah memberikan kewenangan yang lebih luas kepada badan intelijen sehingga melemahkan hak-hak dasar jurnalis.
Pilihan Editor: Pemberontak Suriah Tunjuk Penjabat Perdana Menteri yang Baru