INILAH sebuah contoh bagaimana Amerika bertindak seenak sendiri. Sejak akhir bulan lalu angkatan laut Amerika Serikat diperintahkan membuntuti sebuah kapal Korea Utara bernama Dae Hung Ho. Kapal yang angkat sauh dari sebuah pelabuhan di Korea Utara awal Februari itu diduga membawa rudal-rudal Scud-C untuk Iran. Konon, patroli angkatan laut AS, yang mulai membuntutinya sejak kapal itu memasuki perairan Lautan Hindia, diperintahkan menyergap dan menggagalkan pengiriman rudal itu. Ternyata, kapal itu lolos dari sergapan armada AS di perairan Teluk Persia, dan melenggang lepas sampai di Bandar Abbas, Iran, Senin pekan lalu. "Kami tak bisa menghadangnya, entah kenapa," kata Pete Williams, juru bicara Departemen Pertahanan AS, pada wartawan. Padahal, armada angkatan laut AS yang berpatroli di Teluk Persia terdiri dari 22 kapal perang. Awalnya adalah ketakutan pemerintah Israel yang memperoleh info dari intelijennya bahwa Suriah memiliki rudal Scud-C buatan Korea Utara. Pihak intelijen Israel menduga pengiriman rudal itu terus berlangsung belakangan ini. Israel lalu minta agar Amerika menghentikan pengiriman rudal itu ke wilayah Timur Tengah. Israel memang pantas ketakutan. Rudal balistik bikinan Korea Utara yang nama sebenarnya SS 1-D itu oleh Amerika dijuluki Scud-C karena merupakan penyempurnaan Scud-B buatan Uni Soviet. Si Scud-B ini dipakai oleh Irak dalam Perang Teluk yang lalu, dan sempat diluncurkan ke Israel. Meski rudal Soviet itu tak membikin kerusakan besar karena salah sasaran, terbukti begitu diluncurkan pihak lawan sulit menolaknya. Korea Utara telah memodifikasi Scud-B sehingga jarak tembaknya dari 200-an km menjadi lebih dari 500 km, dan jatuhnya ke sasaran lebih akurat. Maka, bayangkan bila Suriah yang berbatasan dengan Israel itu mempunyai sejumlah Scud-C. Suriah akan mampu mengirimkan rudal itu ke sasaran di mana pun di Israel. Hal yang sama dimungkinkan pula bila rudal Korea Utara itu ditempatkan di Iran. Ketakutan Israel inilah memang yang menggerakkan Amerika, yang kini berambisi menjadi juru damai di Timur Tengah, untuk mencegah Scud-C berumah di Suriah atau Iran. Lalu mengapa upaya Amerika seperti tak sungguhsungguh hingga fregat Korea Utara itu lolos? Para pengamat di Amerika bilang bahwa upaya pencegahan itu hanyalah untuk menggertak Korea Utara maupun negara pembeli rudalnya di Timur Tengah. Soalnya, seperti dikatakan oleh para perwira Amerika sendiri sebelum kapal Korea Utara itu berlabuh di Iran, Amerika tak punya hak menggeledah sebuah kapal di laut bebas untuk mengetahui muatannya. Kecuali, kapal itu menuju ke Irak, yang memang dalam status diembargo oleh PBB. Laksamana Joseph P. Hoar, komandan Komando Pusat, sendiri mengatakan "ada kekacauan pendapat" tentang sah tidaknya Amerika mencegat kapal Korea Utara itu. Tampaknya, lolosnya Dae Hung Ho lebih karena "kekacauan pendapat", dan bukannya karena armada laut AS tak bisa memergoki fregat Korea Utara itu. Selain itu, karena Korea Utara tak terikat perjanjian apa pun dengan Amerika dalam soal penjualan senjata nuklir, negara ini tak bisa dituntut karena berjualan senjata nuklir. Sah-sah saja Korea Utara menjual senjata nuklir pada siapa pun. Anehnya, pemerintah Korea Utara segera membantah bahwa Dae Hung Ho membawa Scud-C untuk Iran, meski juga tidak dijelaskan barang apa saja yang dibongkar di Bandar Abbas itu. Pernyataan itu malah mencurigakan, jangan-jangan pantauan Amerika benar. Soalnya, negeri yang masih komunis itu belakangan ini kemampuan teknologi pembuatan senjata nuklirnya meningkat. Juli 1991, pihak Jepang mendeteksi percobaan rudal Korea Utara yang diberi nama Rodong Satu, yang jarak tembaknya mencapai 1.000 km. Meski percobaan Korea Utara itu belum begitu sukses, Jepang sudah cemas. Si Rodong Satu, kata intelijen Jepang, mampu menggendong nuklir yang kekuatannya separuh bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima pada Agustus 1945. Tapi, benar atau tidak pantauan Amerika, kasus ini membuktikan bahwa keinginan Amerika untuk menjadi "polisi" dunia tidak mudah dilaksanakan. Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini