Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIKAWAL ketat, pemimpin Libya, Kolonel Muammar Qadhafi, bergegas masuk ke sebuah hotel di Tripoli. Dia bertemu dengan para pemimpin suku Libya di ruang rapat hotel. Qadhafi mengenakan kacamata hitam besar, memeluk tamu-tamunya dengan kaku, dan duduk bersama mereka dalam formasi setengah lingkaran. ”Anda akan menang,” kata seorang tamu kepadanya. Sebuah kamera merekam dari kejauhan.
Rabu pekan lalu, televisi pemerintah Libya menampilkan video berdurasi pendek itu. Inilah rekaman pertama yang memunculkan sang diktator sejak serangan udara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (Nato) pada 30 April. Serangan itu telah membunuh putranya, Saif al-Arab, dan tiga cucunya. Ketidakhadiran Qadhafi di depan publik memunculkan spekulasi bahwa dia juga tewas. Nyatanya dugaan itu salah.
Sayang, kemunculan Qadhafi itu terjadi pada waktu yang bersamaan dengan kekalahan telak pasukannya di Misrata, Libya bagian barat. Pasukan NATO dan tentara pemberontak mulai kompak membangun serangan. Rabu pagi, pemberontak yang didukung NATO berhasil menorehkan kemenangan. Pemberontak berhasil menguasai pangkalan udara. Sebuah kemenangan besar melawan pasukan loyalis Qadhafi sejak berbulan-bulan lalu. Sorak-sorai membahana sepanjang jalan.
Juru bicara pemberontak di Misrata, Mohammed Slim, mengatakan para pejuang telah merebut pangkalan udara dan akademi angkatan udara di selatan kota. Kompleks ini adalah lokasi strategis yang dipakai pasukan Qadhafi menembakkan artileri dan roket ke Misrata. Sejak Maret lalu, pasukan koalisi berusaha merebut pangkalan ini.
Tapi, saat malam bergulir, pemberontak kembali bertempur. Slim mengatakan Misrata kembali diserang oleh pasukan pro-Qadhafi yang bermarkas di luar pangkalan udara. Di Tripoli, juru bicara pemerintah, Musa Ibrahim, mengatakan pangkalan tetap berada di bawah kendali pasukan Kolonel Qadhafi.
Pada hari yang sama, di Washington, para petinggi pemberontak Libya sedang melobi pemerintah Obama. Mereka mendesak Obama segera mencairkan bantuan keuangan untuk perjuangan pemberontak. Pemerintah sementara Libya menagih janji Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Rodham Clinton. Dia berjanji mencairkan aset beku Qadhafi yang disita Departemen Keuangan senilai US$ 30 miliar.
”Kami membutuhkan itu,” kata Ali Tarhouni, Menteri Keuangan Dewan Nasional Transisi Libya, dalam sebuah wawancara. ”Masalahnya, kami harus menjalankan ekonomi perang tanpa sumber daya.”
Produksi minyak Libya, meskipun sebagian besar ada di wilayah yang dikuasai pemberontak, telah jauh menurun. Kini produksi hanya 100 ribu barel per hari dari 1,6 juta barel. Ekspor pun sulit di tengah serangan pasukan Qadhafi. Praktis, ekonomi di timur Libya nyaris lumpuh.
Kas pemberontak hanya sanggup membiayai negara selama dua minggu, termasuk untuk makanan, bahan bakar, dan obat-obatan. Tidak ada anggaran untuk membayar gaji pegawai sipil.
Para pemberontak pada awalnya mencari sumbangan us$ 3 miliar untuk enam bulan operasi. tapi mereka menyadari pencairan aset—meski hanya sebagian kecil—akan memakan waktu. Padahal mereka membutuhkan bantuan segera.
”Ini adalah uang kita,” kata Tarhouni. Dia mengatakan para pemberontak mencari fasilitas kredit atau pinjaman yang berasal dari aset beku Libya. ”Kami pada dasarnya mengatakan, beri kami pinjaman,” katanya.
dewan oposisi lalu menyusun proposal dana perwalian internasional untuk mengawasi penyaluran aset. berdasarkan proposal tersebut, dana akan dikelola oleh sekutu pemerintah sementara, mungkin italia atau prancis. dana itu dianggap utang dan akan dikembalikan.
Skema ini disepakati dalam pertemuan di Roma, Italia, pekan sebelumnya. Pertemuan tingkat tinggi ini diprakarsai Italia dan Qatar. Pesertanya pejabat tinggi yang mewakili 22 negara anggota NATO, negara-negara Arab, dan organisasi internasional.
Di depan sidang, qatar mengusulkan Sekutu memasok senjata untuk pemberontak. Tapi usul itu ditolak. Akhirnya mereka menyepakati dana bantuan kemanusiaan us$ 250 juta.
Seusai pertemuan, Menteri Hillary mengumumkan mereka akan mencoba mencairkan sebagian aset yang disita dari Qadhafi. Dana ini akan diberikan ke Dewan Nasional Transisi dan disalurkan ke sejumlah wilayah yang dikuasai oposisi.
Sebelumnya, Amerika Serikat telah memberikan US$ 25 juta bantuan non-senjata, termasuk seragam, teropong, dan sepatu bot; dan US$ 66 juta bantuan kemanusiaan. Bantuan US$ 150 juta akan segera menyusul lewat lembaga kemanusiaan.
Ketika Dewan Keamanan pbb menjatuhkan sanksi terhadap Qadhafi pada februari, Departemen Keuangan Amerika melikuidasi seluruh asetnya. Ini adalah penyitaan aset asing terbesar dalam sejarah amerika.
Abang Sam memang bersedia membantu mendanai para pemberontak. Namun undang-undang Amerika, seperti di Eropa, melarang pencairan tanpa dasar hukum. Tapi Hillary memastikan pemerintah sedang meminta Kongres mengeluarkan undang-undang yang melegalisasi pencairan aset untuk membantu rakyat Libya.
Senator John Kerry mengatakan draf undang-undang tersebut sedang dalam proses. ”kami menyusun undang-undang secepat mungkin,” kata Senator Kerry. Dia menambahkan rancangan itu disusun atas permintaan Departemen Luar Negeri dan Gedung Putih. John McCain dan anggota Kongres lainnya mendukung langkah tersebut.
Tapi pemerintah Obama belum memutuskan cara mentransfer uang sebanyak itu. Sebab, Amerika Serikat belum mengakui secara resmi pemerintahan Dewan Nasional Transisi. Hanya Prancis, Italia, dan Qatar yang telah resmi mengakuinya sebagai pemerintah Libya yang sah. Tarhouni mengatakan kurangnya pengakuan resmi ”benar-benar menghambat” upaya Amerika membantu para pemberontak.
Obama bisa saja mengeluarkan perintah eksekutif pencairan dana sitaan itu. Tapi para pejabat mengatakan Obama harus menyatakan dana dibutuhkan untuk merespons agresi militer asing terhadap Amerika. Pelepasan dana beku juga rumit karena rezim Kolonel Qadhafi mungkin membuat mekanisme yang menyulitkan pencairan, menurut sejumlah pejabat Gedung Putih.
Sementara itu, Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton mengatakan Uni Eropa akan membuka kantor di Benghazi. ”Untuk mendukung Dewan Nasional dan para pejuang,” katanya.
Perdana Menteri Qatar Syekh Hamad bin Jassim al-Thani mengatakan negaranya akan menyumbang us$ 400 juta hingga us$ 500 juta. Kuwait telah memberikan us$ 180 juta. ”Saya tidak berpikir kita kekurangan uang,” kata Thani. ”Sekarang, kita sepakat pada mekanismenya, itulah yang terpenting.”
Ninin Prima Damayanti (Washington Post, Guardian, New York Times, Wall Street Journal)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo