Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=2 color=#FF9900>WIRA USAHA</font><br />Tas Chanel Produksi Tanggulangin

Produsen kulit nasional mencoba bangkit. Mengadopsi desain produk ternama.

16 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH tas kulit wanita berwarna cokelat menarik perhatian Tita Nursita saat berkunjung ke sebuah toko di Jalan Kludan Raya, Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, Ahad pekan lalu. Tas tenteng motif belahan wajik itu mengingatkannya pada seri 1141 buatan rumah mode Chanel, yang biasa dipajang di pusat belanja mewah di Jakarta. Rumah mode Chanel di Ibu Kota ini waralaba dari rumah mode Chanel milik perancang busana terkenal dunia, Karl Lagerfeld.

Tak cuma modelnya. Bahan kulit, kualitas jahitan, hingga aksesori pelengkap tas produk dari perajin di daerah bencana lumpur Lapindo itu juga bak pinang dibelah dua dengan buatan Chanel. Cuma harga dan mereknya yang berbeda. ”Harganya sepersepuluh dari buatan aslinya,” kata karyawati bank swasta di Jakarta itu.

Tak hanya satu toko yang menjual tas tersebut. Tita melihat empat gerai memajang tas ”Chanelangin” alias Chanel made in Tanggulangin. Ternyata tak hanya model Chanel yang ditiru. Merek top dunia lain, semisal Louis Vuitton, Mont Blanc, dan Braun Buffel, juga bergelantungan di sana.

Setelah hampir mati lantaran diterjang lumpur durjana lima tahun silam, Tanggulangin mencoba bangkit. Akhir April lalu, beberapa perajin dan pengusaha dari daerah itu sudah berpartisipasi lagi dalam Pameran Sepatu, Kulit, dan Fashion 2011 di Jakarta Convention Center.

Sihabuddin, Ketua Industri Tas dan Koper Tanggulangin, mencatat, saat bencana, omzet penjualan para perajin anjlok dari Rp 1 miliar per bulan menjadi Rp 300 juta. Tapi dua tahun terakhir penjualan saban bulan mulai naik hingga rata-rata Rp 600 juta. ”Perlahan mulai bangkit lagi,” kata dia pekan lalu di Sidoarjo. ”Sebelum bencana, kami bisa memenuhi pasar Amerika dan Eropa, satu kontainer setiap dua bulan,” Ismail Syarif, pemilik toko Pusgitta, menambahkan.

Tak hanya di Tanggulangin, kerajinan kulit asal Sukaregang, Garut, Jawa Barat, juga kembali dilirik konsumen. Padahal dulu kawasan ini hanya memasok pesanan kulit mentah atau setengah jadi. Kini produk unggulannya jaket kulit domba dan lembu. Modelnya beragam, dari seri bikers atau jaket pengendara sepeda motor hingga jaket mini buat perempuan. Desain merek ternama pun diadopsi sedikit-sedikit.

Di toko Astiga Leather, Sukaregang, milik Yusuf Sofian, misalnya, jaket edisi spesialnya dibanderol Rp 1,7 juta. Tekstur kulit halus bak kain menjadi keunggulan produk ini, di samping gradasi warna krem-cokelat serta teknik jahitan dua jarum. Dalam sebulan pria 35 tahun ini bisa mendulang untung hingga Rp 300 juta. Tak hanya itu, Yusuf juga mengekspor 100 potong jaket ke produsen di Singapura dan Malaysia. ”Jaket itu dijual dengan label yang sudah mereka siapkan,” katanya.

Namun, di tengah geliat industri kulit dan tas, ada kendala menghadang. Di Tanggulangin, lepas dari lumpur, para perajin mesti bertarung melawan serbuan tas buatan Cina. Lantaran berbahan kulit imitasi, harga produk dari Negeri Tirai Bambu itu lebih murah. Ironisnya, sebagian perajin malah ikut menjual tas Tiongkok lantaran tergiur keuntungan. Untuk mengimbangi murahnya tas asal Cina, Sihabuddin mengatakan, sebagian perajin kini juga beralih menggunakan kulit imitasi. ”Dengan cara itu, kami masih bisa bersaing,” ujarnya.

Langkanya kulit mentah menjadi ancaman lain. ”Utilisasi industri kulit nasional pun hanya 60 persen,” tutur Ketua Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia Sutanto Haryono. Sayangnya, kulit lokal bermutu baik malah diekspor ke Vietnam, Cina, dan Italia. ”Tahun ini order paling banyak dari Cina,” kata Nadiman, pemilik penyamakan kulit di Tarogong, Garut. Walhasil, harga kulit dari pemasok lokal terbang tinggi rata-rata 20 persen.

Untuk melindungi sektor ini, Menteri Perindustrian Muhammad Sulaiman Hidayat berencana merancang sederet kebijakan baru, di antaranya tata niaga kulit. Namun, kata dia, pemerintah belum bisa membatasi ekspor kulit karena penyerapan di dalam negeri masih relatif rendah. ”Jangan sampai ekspor dibatasi, bahan baku malah tak terserap.”

Fery Firmansyah, Agung Sedayu, Eko Widianto (Sidoarjo), Sigit Zulmunir (Garut)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus