PARTAI Nasionalis Taiwan, Kuomintang, seperti orang tua bertongkat yang sebentar lagi akan lumpuh. Malah, partai yang berkuasa selama hampir 44 tahun di Taiwan ini dikhawatirkan akan terpuruk di kursi oposisi, seperti Partai Liberal Demokratik di Jepang. Dua pekan lalu, enam anggota parlemen dari Kuomintang membelot, dan mendirikan organisasi baru: Partai Baru Cina. Keenamnya menganggap Kuomintang lambat menjalankan reformasi politik. Kaum tua yang mendominasi pucuk pemimpin Kuomintang dianggap tak mampu lagi menampung aspirasi kelompok muda partai, di samping sangat otoriter dan bergelimang skandal korupsi. ''Setelah gagal mengubahnya dari dalam, kini kami mencoba dari luar,'' kata Li Sheng-feng, bekas anggota Kuomintang yang kini menjadi pemimpin Partai Baru Cina. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Perusahaan Minyak Cina (CPC), perusahaan raksasa Taiwan, menjadi sarang koruptor Kuomintang. Rencana Pembangunan Nasional Enam Tahun senilai US$ 303 miliar, yang dicanangkan 1991, konon separuh dananya dikorup oleh para pejabat Kuomintang. Proyek pembangunan pabrik pengolah air bersih CPC, senilai US$ 173 juta, disabot dananya oleh para pejabat Kuomintang sebesar US$ 43 juta. Praktek kotor itu dilakukan, konon, demi mencari dana untuk membeli suara para pendukung. Ini bisa dilihat pada pemilu tahun 1989: satu suara dibeli Kuomintang sampai seharga 500 dolar Taiwan. Padahal, dulu, kata Li Sheng-feng, Koumintang mengambil jarak antara bisnis dan politik. ''Kini justru mereka menggunakan uang untuk meraih kekuasaan, untuk kemudian memperkaya diri,'' ujarnya. Dalam wawancaranya dengan majalah Time, Ketua Komite Sentral Keuangan Partai, Hsu Li-teh, mengakui bahwa pihaknya memang menggunakan dana untuk pemilu. ''Apa salahnya bila kami memberikan hadiah bagi rakyat,'' kata Hsu. Tapi, tak seperti Partai Demokratik Liberal di Jepang, Kuomintang sendiri sebenarnya punya sejumlah perusahaan untuk mendanai keperluan politiknya, tanpa harus bergantung sepenuhnya pada sumbangan pengusaha. Menurut majalah ekonomi terkemuka Taiwan, Wealth, Kuomintang memiliki aset sebesar US$ 4,5 miliar. Meski tak dijelaskan Hsu, bisa diduga bahwa semuanya itu bisa didapatkan Kuomintang berkat sistem monopoli bisnisnya. Dan ini mewarnai pula politik Kuomintang. Para pembelot dan kaum pembaru yang masih berada di Partai Nasional menganggap model organisasi Partai Komunis Cina, yang hingga kini dijalankan Kuomintang, mendorong kediktatoran. Contohnya bisa dilihat bulan lalu, ketika para pemimpin partai mendesak parlemen agar mengesahkan RUU legalisasi industri televisi kabel. Klausul yang menyebutkan bahwa partai boleh menanam sahamnya, yang semula dihapus parlemen, dimasukkan lagi. Dan gara-gara sikap Kuomintang pula, dalam percaturan politik dunia, Taiwan tetap terkucil. Tak satu negara besar pun yang mengakui kedaulatan Taiwan sebagai Republik Cina sejak keanggotaannya di PBB dicoret dengan masuknya RRC pada 1971. Kini tercatat hanya 29 negara kecil yang mengakui kedaulatan Taiwan. Sikap yang membuat Taiwan terkucil itu populer disebut ''tiga tak'': tak mau melakukan kontak, tak melakukan negosiasi, dan tak ada kompromi. Padahal, pandangan itu sudah kedaluwarsa. Lihat saja. Sejak mendiang Presiden Chiang Ching-kuo mencabut larangan berkunjung ke daratan Cina, tahun 1987, lebih dari tiga juta orang Taiwan pergi ke daratan. Sedikitnya 50 juta pucuk surat melintasi Selat Taiwan per tahun. Sementara itu, tahun lalu, hubungan dagang Cina-Taiwan melalui Hong Kong mencapai US$ 7 miliar. Pandangan yang tak realistis itulah yang ingin diubah oleh kelompok pembaru Kuomintang. Mereka ingin agar para pemimpin Taiwan membuang jauh-jauh tuntutannya bahwa Cina daratan menjadi bagian dari Taiwan (seperti yang tertulis dalam Konstitusi Taiwan). Lebih realistis bila Taiwan mau menjalin hubungan dengan Cina. ''Sebaiknya diadakan pembicaraan langsung dengan Cina untuk menghapuskan sejumlah perbedaan, kalau memang tak mau melangkah ke tahap reunifikasi,'' kata Shen Ching-ching, salah satu delegasi yang mengatasnamakan 200 orang delegasi dalam kongres Kuomintang pekan lalu. Mengingat besarnya tuntutan itulah, Ketua Kuomintang Lee Teng-hui, yang terpilih lagi dalam kongres pekan lalu, yang diwarnai baku hantam, melakukan reformasi politik. Antara lain mendudukkan dua tokoh pembaru, Hau Pei-tsun dan Lin Yang-kang, bersama dua orang pendukungnya di kursi wakil presiden. Porsi Komite Sentral pun diperbesar, dari 108 menjadi 210 orang, dan Komite diberi keleluasaan memilih separuh dari 31 anggota Politbiro yang biasanya ditunjuk Lee. Dan Lee Teng-hui pun, untuk pertama kalinya, mengizinkan empat wartawan Cina meliput kongres Kuomintang. Kata Lee dalam pidato pembukaan kongres: ''Jika kondisi memungkinkan, kita bisa menjajaki kemungkinan reunifikasi dengan Cina.'' Kini, apakah dengan sejumlah perubahan itu lawan-lawan politiknya sudah puas? Sejumlah pendukung Lee sendiri merasa pesimistis Kuomintang bisa berubah. ''Sepanjang partai ini tak hilang kekuasaannya, tak akan pernah ada perubahan,'' ujar seorang anggota Komite Sentral, bekas pendukung Lee. Mungkin penyakit di Jepang, kalahnya Partai Demokratik Liberal, menular. Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini