JEPANG mencoba merangkul dunia. Bukan dengan yen, tapi dengan memainkan peranan yang lebik penting. Maka, selama sembilan bulan sejak berkuasa, Perdana Menteri Toshiki Kaifu mondar-mandir ke luar negeri. Ia mengunjungi sepuluh negara Eropa dan Amerika Utara. Akhir April ini, ia mengadakan serangkaian kunjungan ke Asia Selatan: India, Pakistan, Bangladesh, dan Sri Langka. Dalam lawatannya kini, Indonesia adalah satu-satunya negara ASEAN yang disinggahi Kaifu. Tak cuma sang Perdana Menteri yang sibuk. Para pejabat Depertemen Luar Negerinya pun bisa ditemui sedang memantau pemilu di Nikaragua dan Namibia, dan juga menyelia penghentian tembak-menembak Iran-Irak. Sementara itu, dana dari negeri Jepang tetap mengalir untuk membiayai ratusan proyek di seluruh dunia. Menurut catatan terakhir (1988), uang yang dikeluarkan untuk membiayai berbagai proyek dunia tak kurang dari US$ 9 milyar. Sementara itu, para anggota kabinet pun tak ketinggalan mengadakan perjalanan. Kebetulan, di Jepang sendiri sedang berlangsung liburan yang dinamakan. "Pekan keemasan", dari 29 April sampai 5 Mei pekan ini. Tujuh dari 20 menteri Kaifu sedang atau akan mengadakan perjalanan ke luar negeri. Menlu Taro Nakayama pergi ke Seoul untuk membicarakan nasib para keturunan Korea -- yang selalu menjadi warga negara kelas dua -- di Jepang. Menteri MITI Kabun Muto sedang berada di Washington untuk menghadiri konperensi keuangan, sedangkan Menteri Keuangan Ryutaro Hashimoto telah bertolak ke India. Dalam pada itu, Michio Watanabe -- bekas ketua panitia riset politik LDP, partainya Kaifu -- akan berkunjung ke RRC untuk membicarakan pencairan kembali bantuan ekonomi. Dan yang terakhir, rupanya, Tokyo ingin juga turun tangan mencari penyelesaian masalah Kamboja, dengan mengundang pihak-pihak yang bersengketa di negeri itu untuk berdialog di bawah supervisi Jepang di Tokyo. "Jepang ingin memainkan peranan yang semakin penting dalam masalah-masalah dunia," kata Taizo Watanabe, juru bicara Departemen Luar Negeri. Memang. Boleh dikatakan, kini Jepang punya hubungan baik dengan semua negara. Dengan kekayaan Jepang seperti sekarang. siapa pula yang tak bersedia menjalin hubungan. Tapi, sebegitu jauh, Jepang masih saja terisolasi di tengah-tengah masyarakat dunia. Contoh yang paling mencolok adalah di Eropa Timur. Jepang turut bergembira dengan jatuhnya pamor komunisme di kawasan itu, tapi hingga munculnya masalah deklarasi kemerdekaan Lithuania, negeri Samurai ini tak pernah diajak bicara oleh sekutu-sekutu Barat-nya tentang hari depan Eropa. Jepang pun tak banyak berbuat lebih jauh selain dari menawarkan bantuan sebanyak US$ 2 milyar, dan mengirimkan Kaifu untuk meninjau Berlin, Budapes, dan Warsawa. Tampaknya, Jepang belum bisa menarik keuntungan dari peredaan ketegangan Timur-Barat. Hubungannya dengan Moskow masih saja dingin. Pokok pangkalnya bersumber pada masalah empat pulau yang direbut oleh Uni Soviet seusai Perang Dunia II. Jepang menuntut agar keempat pulau tersebut dikembalikan sebagai "harga" huhungan normal dengan Uni Soviet. Sebegitu jauh, Moskow membalas ajakan Jepang itu dengan dingin. Gorbachev masih terus menunda-nunda kunjungannya ke Jepang. Soviet menganggap sikap Jepang masih kurang fleksibel. Demikian juga hubungan dengan sekutu utamanya, Amerika Serikat. Selama ini, hubungan Tokyo-Washington selalu dilandasi masalah sekuriti. Baru beberapa tahun terakhir ini, pertalian keamanan yang begitu kuat itu terganggu masalah-masalah perdagangan. Sejalan dengan peredaan ketegangan AS-Soviet, Amerika mulai mengurangi pasukannya di Jepang. Sebagai tahap awal, 5.000 dari 50.000 serdadu Amerika telah ditarik kembali. Pada Februari lalu, Menteri Pertahanan Dick Cheney malah mengatakan bahwa hubungan keamanan tak dapat lagi dipisahkan dari hubungan ekonomi. Amerika masih tetap meradang dengan sikap Jepang yang dianggapnya mau menang sendiri dalam hubungan dagang antara kedua negara, terutama sikap Jepang yang masih enggan membuka pasar domestiknya untuk produk-produk Amerika. Dalam keadaan dunia sekarang, tak diragukan lagi, masalah-masalah ekonomi akan menjadi faktor penentu yang akan menggantikan isu militer dan sekuriti. Itu akan menempatkan Jepang ke dalam posisi yang sangat sukar. Di satu pihak, kemampuannya bersaing akan menyebabkan ketaksenangan dan keirihatian di masyarakat dunia. Tapi, di pihak lain, sebagai raksasa ekonomi, mau tak mau ia menjadi pelaku utama dalam kegiatan ekonomi dunia dan memainkan peranan penting dalam percaturan internasional. Namun, ada pendapat bahwa citra Jepang sebagai raksasa ekonomi itu sebenarnya terlalu dibesar-besarkan. Pada kenyataannya, walaupun memang perkasa, perekonomian Jepang selalu berada di ujung tanduk. Bulan silam, Bursa Saham Tokyo mendapat pukulan yang cukup telak. Pada suatu saat tertentu, saham-saham perusahaan Jepang -- yang dalam lima tahun terakhir ini nilainya berlipat lima -- tiba-tiba saja turun di Wall Street sampai 22%. Pertengahan April lalu, jatuh lagi nilainya sebanyak 6% di pasaran. Pada waktu yang bersamaan, nilai yen terhadap dolar jatuh sampai mencapai 158 per dolar. Padahal, sebelum itu, ada optimisme bahwa angka kurs itu akan meningkat menjadi 100 yen untuk tiap dolar. Tampaknya, posisi Jepang sekarang bersahabat dengan semua orang, tapi tak memegang peranan penting di dunia adalah akibat dari perubahan sikap. Sejak negeri Samurai ini menerjunkan diri lagi dalam pergaulan antarbangsa, ia selalu tampil dengan low profile. Ia tak mau lagi berlagak sebagai jagoan dunia -- seperti yang dilakukannya pada pra-Perang Dunia II. "Generasi tua Jepang percaya bahwa pendekatan yang low profile dalam hubungan internasional telah menyebabkan tumbuhnya negeri itu sebagai raksasa ekonomi yang perkasa. Mereka tak mau mengubah cara itu," kata seorang Jepang. Para birokrat Jepang pun mempertahankan sikap tersebut. Mereka selalu berkaca pada sikap Jepang yang high profile pada 1920-1930-an, yang membawa bencana Hiroshima dan Nagasaki. Tapi, bagaimanapun, Jepang adalah sebuah fenomena dunia yang tak bisa dianggap ringan oleh negara-negara raksasa lainnya. Barangkali, kesibukan Kaifu beserta beberapa anggota kabinetnya mondar-mandir melakukan perjalanan internasional adalah dalam rangkaian mengangkat citra negaranya lebih tinggi lagi, walaupun pelan-pelan. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini