SETELAH menggusur becak, tampaknya bajaj akan ganti tergusur. Sang penggusur bernama Tuktuk. Bentuknya mirip bajaj, tapi lebih besar. Panjang 2 meter, lebar 1,5 meter. Suara mesinnya mulus, tak menyakitkan telinga. Karena memakai bahan bakar gas, kendaraan ini tak bergetar keras seperti bajaj. Bebas polusi pula. Kecepatan maksimalnya 60 km per jam. "Tuktuk lebih memadai dibandingkan dengan bajaj. Dan lebih manusiawi, juga tidak mengotori udara Jakarta," kata Gubernur DKI Jaya Wiyogo Atmodarminto. Sebuah contoh Tuktuk, sejak dua pekan lalu, bisa dilihat di Balai Kota DKI, konon, didatangkan atas prakarsa seorang pengusaha, yang "mencium" rencana Pemda Jakarta untuk menendang bajaj ini. Kendaraan roda tiga yang diimpor dari Bangkok, Muangthai, ini memang lebih unggul daripada bajaj. Penumpang Tuktuk bisa leluasa duduk bertiga di belakang pengemudi. Di pantat Tuktuk, tersedia bagasi kecil untuk menyimpan ban serep atau belanjaan dari pasar. Dengan tubuhnya yang ramping, Tuktuk bisa meluncur di lorong-lorong Jakarta, seperti juga saudara-saudaranya di Bangkok. Ada bermacam tipe Tuktuk yang bermesin Daihatsu ini, dari yang 35O cc sampai 55O cc, yang bisa memuat enam sampai delapan penumpang. Tapi Wiyogo memilih yang 35O cc, yang berbahan bakar elpiji. Harganya sekitar Rp 3,8 juta, lebih mahal ketimbang bajaj (bekas, karena dilarang diproduksi lagi, yang sekitar Rp 1 juta). Ide mengganti bajaj dengan Tuktuk ini datang dari Wiyogo sendiri, yang rupa-rupanya tertarik setelah melihatnya di Bangkok. Akhir tahun lalu, ia mengirim stafnya ke Bangkok untuk mengamati Tuktuk. Ternyata kendaraan ini memang punya beberapa kelebihan. Selain harga yang tak kelewat mahal, sentuhan merakyat juga tetap menonjol. Mungkin karena memakai mesin dan tak perlu digenjot, ia dianggap lebih manusiawi ketimbang becak. "Tapi kami harus koordinasikan dulu dengan instansi lain yang terkait," ujar Wiyogo. Soalnya, Departemen Perhubungan sebenarnya sudah menutup pintu izin bagi kendaraan angkutan keempat berjenis roda tiga. Tapi Pemda DKI akan berusaha keras memperjuangkannya. "Larangan itu kan baru sampai SK Menteri, bukan perundangan," kata Wiyogo. Menurut Wiyogo, pergantian itu juga harus dilihat dari segi politisnya, dan dilakukan secara bertahap. Nama yang dipakai mungkin bukan Tuktuk lagi (Ada yang mengusulkan nama "Gancak", artinya "pengganti becak"). Bentuknya mungkin juga akan dimodifikasi. Peluang Tuktuk untuk masuk Jakarta tampaknya besar. Menteri Perhubungan Azwar Anas sendiri memberi isyarat oke, dengan berkomentar, "Kalau memang bebas polusi, mengapa tidak?" katanya kepada TEMPO. Pihak Pertamina akan dibujuk untuk membantu menyediakan elpiji, seperti yang sudah dilakukannya pada sebagian armada taksi di Jakarta. Kalau perizinan sudah beres dan sarana siap menunjang, Pemda DKI akan menyediakan Tuktuk tak lebih dari 20 ribu sebagai pengganti bajaj, yang kini berjumlah 12 ribu. Produksi akan dilakukan sendiri oleh Pemda DKI, dengan pinjaman kredit dari bank. "Sengaja dibuat lebih banyak, karena kebutuhan kan makin hari makin berkembang," kata Wiyogo. Impian manis lain, dengan adanya Tuktuk nanti, si pengemudi bisa sekaligus jadi pemilik, misalnya lewat koperasi. "Jadi, harkat manusia akan ditingkatkan," ujar Wiyogo. "Yang penting, kendaraan ini harus bisa dibeli dengan harga murah," kata Fauzi Bowo, Kepala Biro Daerah DKI Jakarta, yang ditugaskan meninjau pemakaian Tuktuk di Bangkok. Kapan Tuktuk akan masuk Jakarta? "Saya berharap, tahun ini sudah terwujud. Tergantung koordinasi instansi lain," kata Wiyogo. Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini