Yugoslavia terancam perang etnis setelah Mesic ditolak jadi presiden. Militer dan kelompok komunis siap menghadapi protes Barat. SEJAK tengah malam Rabu pekan lalu, pos presiden di Yugoslavia resmi kosong. Dewan kepresidenan kolektif di negara Eropa Timur itu sengaja memblokir Stipe Mesic untuk duduk di kursi presiden pemerintah federal pusat. Sepeninggal tokoh karismatis Josip Broz Tito, sebelas tahun silam, negeri berpenduduk 23,5 juta ini tak lagi punya pemimpin pemersatu. Pemerintah pusat Beograd dikelola oleh dewan kepresidenan kolektif. Dewan ini beranggotakan delapan orang, mewakili enam republik dan dua daerah istimewa. Kursi presiden diatur bergilir setahun sekali di antara para anggota. Mei ini, menurut jadwal, giliran Mesic, anggota asal Republik Kroasia, duduk di pos bergengsi itu. Namun, rupanya, para pemimpin Serbia -- etnis terbesar musuh bebuyutan suku Kroasia -- dan pihak militer menghadangnya. Maka, kuat dugaan, perang saudara bakal segera meletus di negara yang terancam buyar ini. Permainan politik ini tentu saja membuat berang pihak Kroasia. Mesic, yang bukan komunis, Jumat pekan lalu tetap menyatakan dirinya sebagai presiden Yugoslavia yang sah menurut konstitusi. Parlemen Kroasia sudah mengancam akan melepaskan diri dari pemerintah pusat jika Mesic tak bisa menduduki pos presiden. Wakil Republik Slovania dan Macedonia di dewan kepresidenan -- yang ikut memblokir sidang bersama Mesic -- menyatakan masih mempertimbangkan apakah keluar dari federasi atau tidak. Dalam kejadian itu, Mesic menuduh Presiden Serbia Slobodan Milosevic -- yang komunis -- bersekongkol dengan kaum militer Yugoslavia, satu-satunya institusi komunis yang masih bertahan sejak komunisme rontok di negeri ini. Sebab, dalam pemilu bebas pertama di negeri ini tahun lalu, hanya di Serbia komunis masih bertahan. Pihak militer sudah diduga sejak mula bakal menghalangi Mesic naik panggung kepresidenan. Pasalnya, dengan seorang presiden asal Kroasia, militer -- yang mayoritas perwiranya asal Serbia -- tak bakal bisa berkutik. Presiden punya wewenang memerintahkan angkatan bersenjata bertindak atau mengumumkan keadaan darurat. Kubu militer hari-hari terakhir ini memang gencar mendesak dewan kepresidenan agar memberlakukan keadaan darurat, untuk meredam bentrokan berdarah Serbia-Kroasia. Pemerintahan demokratis di Kroasia menginginkan bentuk konfederasi Yugoslavia baru, dengan lebih banyak wewenang pada republik-republik. Jika bentuk baru ini terwujud, pihak militer khawatir anggaran pertahanan bakal banyak disunat. Para pemimpin komunis Serbia pun punya kekhawatiran serupa. Jika republik-republik lebih bebas dan berperan sendiri, perekonomian Serbia bakal ambruk. Sebab, republik terbesar ini tak akan bisa lagi minta bantuan dana Kroasia dan Slovania, yang lebih makmur. Memang di tubuh angkatan bersenjata Yugoslavia sendiri terjadi perpecahan. Yakni antara Menteri Pertahanan Jenderal Veljko Kadijevic dan Panglima AB Jenderal Blagoje Adzic. Kadijevic bersikeras tidak mau melanggar UU karena takut langkah ini bakal menghentikan bantuan ekonomi dari negara-negara Barat. Namun, Pangab Adzic, tokoh komunis garis keras, konon berhasil meyakinkan Menhan Kadijevic. Jika keadaan darurat diberlakukan sekalipun, menurut Pangab, paling banter pihak Barat bakal mengecam selama 90 hari, dan selanjutnya menerima keadaan. Karena itulah militer berhasil mendesak dewan kepresidenan agar menyimpang dari UU dengan tidak memilih Mesic. Rupanya pihak tentara sudah siap menghadapi aksi kekerasan, yang pasti akan datang. FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini