Menlu AS dan US gagal menggiring Arab-Israel ke meja perundingan damai. Bangsa Palestina makin sengsara. Israel menolak peran PBB. DAMAI tampaknya memang susah dicapai. Misi Menlu AS James Baker di Timur Tengah boleh dikatakan gagal. Padahal, Uni Soviet sudah ikut mendukungnya, dengan mengirim Menlu Alexander Besmernykh ke kawasan itu. Baker benar-benar kelelahan, bolak-balik mengunjungi Israel dan negara-negara Arab yang terlibat. Dalam waktu dua bulan, ia sudah empat kali terbang dari Washington ke Timur Tengah. Kamis pekan lalu, setelah berunding berjam-jam dengan PM Israel Yitshak Shamir yang tak menghasilkan terobosan apa pun -- - dengan lesu Baker pulang ke negerinya. Maka, "jendela perdamaian" seperti sering didendangkan Presiden George Bush pun tertutup lagi setelah Perang Teluk itu. Padahal, semua pihak sempat berharap banyak bahwa perdamaian Timur Tengah mudah diraih. Saat itu Washington tampak optimistis bakal bisa menggiring Israel dan pihak Arab -- khususnya Syria, Yordania, Mesir, negara-negara Arab Teluk dan perwakilan Palestina -- ke meja perundingan. Karena itulah Baker bersemangat menjadi duta berunding dengan para pemimpin Arab dan Israel. Dan setelah mendapat lampu hijau dari PLO, ia juga sempat berunding dengan para wakil Palestina (di wilayah pendudukan Israel), di Yerusalem. Besmernykh pun, setelah berembuk ke Kairo, Amman, dan Damaskus, terbang ke Jenewa untuk menemui Yasser Arafat. Namun, baik Baker maupun Besmernykh gagal menjembatani perbedaan pandangan antara pihak Arab dan Israel. Khususnya soal peranan PBB dalam konperensi perdamaian dan masalah berapa kali seharusnya konperensi dilangsungkan. Syria, negara Arab kunci yang diharapkan ikut dalam konperensi damai, menuntut agar PBB berperan dalam konperensi damai. Damaskus juga ingin konperensi berkelanjutan beberapa kali, terutama jika menghadapi jalan buntu. Pemerintah Kairo, Amman, dan para wakil Palestina pun mendukung tuntutan Suriah. Namun, Israel bersikap sebaliknya. Ia menolak campur tangan PBB. Konperensi diadakan sekali saja dan disusul dengan perundingan bilateral dengan semua negara Arab yang terkait. Presiden Suriah Hafez Assad, setelah berunding cukup lama dengan Baker dan Bessrtnykh, tetap tak mau mundur dari tuntutannya soal peranan PBB. Begitu pula PM Shamir tetap ngotot menampik campur tangan badan dunia itu, yang katanya sejak awal sudah memusuhi Israel. "Kami katakan (pada Baker) negara Israel punya pengalaman buruk sejarah dengan PBB," kata Shamir Sabtu pekan lalu. Para pejabat AS, yang kesal atas kekerasan sikap Damaskus dan Tel Aviv, menganggap isu peran PBB dan apakah konperensi berlanjut atau tidak semata alasan belaka. Israel enggan ikut konperensi damai karena sadar pada akhirnya akan sampai pada masalah barter pengembalian wilayah pendudukan untuk perdamaian dengan pihak Arab. Shamir, kerap bersumpah, tak bakal mundur sedikit pun dari Tepi Barat dan Jalur Gaza, tempat tinggal 1,75 juta bangsa Palestina. Dengan mengulur-ulur atau menghambat penyelenggaraan konperensi damai, sebenarnya pihak Israel lebih diuntungkan. Sebaliknya, warga Palestina di wilayah pendudukan makin sengsara. Pasalnya, Tel Aviv makin gencar berupaya mengusir mereka. Berbagai cara sudah dipraktekkan Israel. Mulai dari membantai warga Palestina, mengucilkan ke Libanon, sampai "cara halus" membangun permukiman warga Yahudi di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Bahkan, selagi Baker gencar berdiplomasi mengupayakan konperensi damai pun, pembangunan permukiman berjalan terus. Nasib bangsa Palestina makin tak menentu. Apalagi, sejumlah pengamat berpendapat, diplomasi perdamaian Timur Tengah AS praktis sudah tamat. Farida Sendjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini