Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mahkamah Pidana Internasional sedang mempersiapkan proses adopsi konsep ekosida untuk pelaku kejahatan lingkungan.
Penggundulan hutan dan kerusakan lingkungan akibat penambangan kini bisa dikategorikan kejahatan besar.
Sayangnya, Indonesia tak bakal tersentuh Mahkamah Pidana Internasional karena tak meratifikasi Statuta Roma.
BAYANGKAN skenario seperti ini: kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera membuat asap tebal menyelimuti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Jumlah pasien infeksi saluran pernapasan sontak melonjak. Anak-anak dilarang bersekolah demi menghindari asap. Ketika ada bukti yang bisa mengaitkan bencana asap itu dengan pembakaran hutan oleh sejumlah perusahaan sawit di Indonesia, para pemilik perusahaan tersebut segera diburu di ratusan negara untuk diseret ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Skenario seperti itu sangat mungkin terjadi di masa depan. Pasalnya, hari-hari ini para pakar hukum lingkungan di Eropa tengah mengusulkan pemberlakuan klausul ekosida di Mahkamah Pidana Internasional. Ekosida adalah tindakan yang merusak lingkungan secara akut, dalam skala luas, dan berdampak panjang. Penggundulan hutan, kebocoran minyak dari tanker, dan kerusakan lingkungan akibat penambangan adalah sebagian bentuk kejahatan yang termasuk ekosida. Pelakunya pun kelak diadili layaknya penjahat perang atau pelaku genosida.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengakuan terhadap ekosida tentu menjadi angin segar buat pelindungan lingkungan di Indonesia. Namun, bagi para pemilik perusahaan tambang dan perkebunan yang kerap abai terhadap lingkungan, ini ancaman yang pasti membuat tidur tak nyenyak. Merusak alam demi keuntungan ekonomi memang sudah lama bisa berujung ke meja hijau. Namun kini hakimnya bukan hanya dari pengadilan lokal yang kerap meloloskan para perusak lingkungan, tapi Mahkamah Pidana Internasional, sebuah pengadilan yang pernah mengadili Presiden Serbia Slobodan Milosevic dengan tuduhan kejahatan perang dan kemanusiaan. Pelindungan oleh pemerintah Indonesia pun percuma saja karena dakwaan ekosida di mahkamah itu mengharuskan semua negara yang meratifikasi Statuta Roma ikut terlibat menangkap sang buron.
Jika kelak disahkan, aturan baru tentang ekosida jelas bakal berdampak besar buat negara-negara yang pendapatannya mengandalkan ekstraksi hasil alam seperti kita. Dari kacamata publik, regulasi ini juga positif karena mendorong konservasi alam yang penting untuk antisipasi krisis iklim. Masalahnya, sampai sekarang Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma. Dibutuhkan terobosan politik hukum agar aturan ekosida bisa berlaku di Indonesia. Jangan sampai dunia terus maju dan Indonesia jalan di tempat.
Selama ini, Jakarta selalu menolak meratifikasi Statuta Roma dan terlibat dalam Mahkamah Pidana Internasional karena dikhawatirkan pengadilan itu dapat menyeret banyak pejabat kita dalam perkara pelanggaran hak asasi manusia berat. Sebagai negara yang konstitusinya juga mengusung nilai penghormatan HAM dan kelestarian alam, ketakutan semacam itu jelas mengada-ada. Jika tak segera meratifikasi Statuta Roma, Indonesia justru kehilangan akses pada sebuah mekanisme hukum internasional yang dapat memperkuat pertahanan kita di hadapan pemodal jahat yang merusak kekayaan alam negeri ini.
Ironisnya, hukum lingkungan di Indonesia tak hanya jalan di tempat, tapi juga mundur. Tengok saja banyaknya pasal yang merugikan lingkungan hidup di Undang-Undang Cipta Kerja: dari penghapusan syarat 30 persen luas hutan di daerah aliran sungai dan pulau hingga pemangkasan hak masyarakat adat dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan. Ketika dunia bergerak maju, kita malah ketinggalan kereta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Opini ini terbit di edisi cetak dengan judul "Ketinggalan Kereta Ekosida"