Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pertamina berencana memborong minyak mentah dan gasolin dari pasar dunia yang tengah ambruk.
Kinerja perseroan di hulu dan hilir terpukul Covid-19.
Kapasitas tangki timbun yang terbatas menyulitkan rencana impor.
BUKAN perkara gampang mencari tempat penampungan 1,5 miliar liter minyak mentah dalam waktu singkat. Bahkan PT Pertamina (Persero), perusahaan minyak dan gas bumi nasional milik negara, sekalipun kini kerepotan menyiapkan wadah untuk 10 juta barel crude yang akan diimpor memanfaatkan anjloknya harga minyak dunia.
Sadar butuh tangki raksasa, Pertamina mengirim surat kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Perseroan memohon agar boleh menggunakan fasilitas penyimpanan minyak mentah yang dikelola kontraktor migas lain. “Surat resmi mereka baru masuk awal April,” kata Penasihat Ahli Kepala SKK Migas Satya Widya Yudha, Jumat, 24 April lalu.
Tangki-tangki penyimpanan minyak mentah yang menempel di wilayah kerja blok migas itu milik pemerintah, yang diwakili SKK Migas. Namun pengelolaannya dipegang kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), perusahaan pemegang kontrak wilayah kerja migas, untuk menampung hasil pengeboran.
Kini Pertamina membutuhkannya. Perusahaan milik negara ini sedang mencari tempat tambahan buat menyimpan sedikitnya 10 juta barel minyak mentah—setara dengan 1,5 miliar liter—yang akan mereka impor. Sejak awal Maret lalu, Pertamina menggodok opsi memborong minyak dari luar negeri mumpung harga di pasar internasional sedang jatuh.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati membeberkan ulang strategi perusahaan itu dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa, 21 April lalu. “Kami lihat mana yang bisa ditambah lagi mumpung harga sedang murah,” ucap Nicke dalam rapat virtual dengan alat kelengkapan DPR yang membidangi urusan energi itu. “Jadi memanfaatkan time to buy.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati./ ANTARA/Puspa Perwitasari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal Maret lalu, harga minyak dunia mulai anjlok di kisaran US$ 30 per barel. Harga minyak jenis Brent, yang menjadi acuan minyak mentah Indonesia, untuk pengiriman Mei 2020, misalnya, terjungkal 24,69 persen menjadi US$ 34 per barel. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI)—minyak acuan Amerika Serikat—terpelanting lebih keras, anjlok 25,46 persen menjadi US$ 30,77 per barel.
Harga minyak mentah dunia melorot menyusul berkurangnya permintaan. Wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) menghentikan konsumsi. Penerbangan berkurang drastis, perjalanan terpangkas, dan industri pengguna bahan bakar tutup di sejumlah negara menyusul kebijakan jaga jarak untuk meredam penyebaran Covid-19. Sementara itu, negara-negara penghasil minyak tak kunjung sepakat memangkas produksinya, yang membuat pasokan makin membanjir. Walhasil, harga minyak dunia tambah babak-belur. Puncaknya, harga WTI dalam perdagangan di pasar berjangka New York Mercantile Exchange (NYMEX) ambles dan sempat mencapai US$ -37,63 per barel pada awal pekan lalu.
Dalam situasi inilah Pertamina melihat adanya peluang memborong minyak mentah. Minyak jadi dalam bentuk gasolin pun dibidik dengan target impor sebesar 9,3 juta barel lantaran kondisi di pasar juga sedang kekurangan pembeli.
•••
RAPAT dengan Komisi Energi pada Selasa, 21 April lalu, tidak hanya menjadi ajang Pertamina membeberkan rencana mereka di masa pandemi Covid-19. Persamuhan virtual itu justru dimanfaatkan sejumlah anggota DPR untuk mempertanyakan harga bahan bakar minyak di dalam negeri yang tak kunjung turun. “Harga minyak dunia turun, kok, bahan bakar minyak di Indonesia enggak turun-turun?” kata Sartono, anggota Komisi Energi dari Fraksi Partai Demokrat, membuka pertanyaan. Soal serupa diajukan berulang kali oleh anggota lain yang kebagian jatah bersuara.
Nicke Widyawati menjawab dengan telak. Menurut dia, formula penetapan harga BBM diatur pemerintah melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 62K Tahun 2020. Pertamina hanya menjalankannya. “Kami sudah berkomunikasi dengan pemerintah. Mudah-mudahan pemerintah segera mengambil keputusan tepat,” ucap Nicke.
Nicke menjelaskan, banyak pihak menganggap Pertamina untung besar dalam situasi sekarang. Harga BBM tidak turun, tapi perseroan mendapat pasokan bahan baku dengan murah. Namun dia mengingatkan, nilai dolar Amerika Serikat tengah naik. Terlebih penjualan BBM turun drastis. Potensi keuntungan yang seharusnya diperoleh Pertamina pun melayang. “Apakah kami dapat dampak positif dari kondisi hari ini? Negatif,” ujarnya. “Mau bagaimana pun, kalau enggak ada permintaan, enggak ada cerita profit itu.”
Sebanyak 80 persen pendapatan Pertamina selama ini bersumber dari bisnis hilir, penjualan BBM. Bisnis hulu, yang meliputi eksplorasi produksi, hanya menyumbang sisanya. Namun bisnis hilir selama ini hanya berkontribusi sebesar 20 persen terhadap keuntungan perseroan. Sebagian besar laba justru berasal dari bisnis hulu. Adapun dalam kondisi saat ini, Nicke melanjutkan, Pertamina seperti ditabok dari hulu hingga hilir.
Covid-19 dan anjloknya harga minyak dunia memaksa Pertamina, juga banyak KKKS lain, menurunkan proyeksi produksi hulu migas tahun ini. SKK Migas memperkirakan produksi minyak hanya mencapai 725 ribu barel per hari, turun 10 ribu barel per hari dari target awal. Revisi rencana produksi juga terjadi pada gas bumi, yang diperkirakan hanya akan mencapai 5.727 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dari rencana awal 5.959 MMSCFD.
Di sisi lain, Pertamina mencatat penurunan drastis penjualan BBM. Sepanjang April 2020, rata-rata penjualan BBM retail Pertamina anjlok 24 persen dibanding pada masa normal. Perseroan memperkirakan penjualan di sektor hilir ini turun 20 persen sepanjang 2020. Hal serupa terjadi pada kinerja penjualan BBM untuk industri dan aviasi yang diperkirakan bakal jeblok 30 persen.
Itu sebabnya Pertamina bahkan berencana mengurangi rencana pengolahan crude di kilang-kilang perusahaan. Pada Mei mendatang, perseroan akan menurunkan pengolahan minyak mentah hingga sebesar 43 persen. Produksi bulanan kilang Pertamina yang dalam situasi normal bisa mencapai 4,76 juta kiloliter akan dipangkas hingga separuhnya menjadi 2,72 juta kiloliter di masa pandemi Covid-19 .
Nicke bahkan sempat berujar bahwa menutup kilang bahkan lebih baik bagi Pertamina dalam kondisi saat ini. “Sekarang BBM impor lebih murah. Kalau lihat harga kayak begini, mending kami tutup semua kilang,” tuturnya. “Tapi kan tidak bisa seperti ini.”
•••
SEGERA setelah surat Pertamina tiba, tim SKK Migas langsung menghitung kesiapan kilang-kilang minyak mentah yang bisa digunakan untuk menampung tambahan minyak impor. Selama ini, kata Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, total kapasitas tangki di hulu mencapai 31 juta barel. Namun tangki yang aktif beroperasi hanya berkapasitas 25 juta barel. Dari 25 juta barel itu, sebanyak 13,6 juta barel berada di darat. Sisanya di lepas pantai.
Setelah memetakan kondisi, SKK Migas menemukan ada ruang sampai 12 juta barel yang bisa dimanfaatkan Pertamina, lebih dari cukup untuk menampung 10 juta barel tambahan minyak mentah yang akan diimpor Pertamina. Tempat penimbunan dengan kapasitas 5 juta barel tersebar di 16 tangki lepas pantai. Wadah lowong lain berkapasitas 7 juta barel berasal dari 30 terminal darat. Sisanya, Pertamina bisa memanfaatkan ruang 1,8 juta barel di tangki-tangki yang statusnya idle atau tidak aktif.
Terminal pengisian bahan bakar minyak Ujung Berung, Bandung, Jawa Barat./Tempo/Tony Hartawan
Masalahnya, Dwi melanjutkan, tidak semua tangki bisa digunakan untuk menampung minyak impor yang berasal dari kapal. Ada beberapa tangki yang hanya dapat menerima curahan minyak dari darat karena memang didesain untuk produksi dengan skema onshore. Banyak juga tangki yang hanya bisa disandari kapal kecil, bukan tanker raksasa pengangkut minyak impor. “Ini yang sedang dihitung tim operasi SKK Migas dan Integrated Supply Chain Pertamina,” ujar Dwi pada Jumat, 24 April lalu.
Untuk urusan biaya, Satya Widya Yudha mengatakan Pertamina bisa menggunakan tangki tersebut gratis. Hanya, Pertamina tetap harus mengurus perjanjian dengan KKKS yang juga sedang menggunakan tangki-tangki aktif itu. “Untuk urusan tanggung jawab pemakaian saja,” ucap Satya.
Selain menambah stok minyak mentah, Pertamina menimbun stok minyak jadi. Nicke Widyawati mengatakan perusahaannya akan menambah impor gasolin secara bertahap hingga 9,3 juta barel. Memanfaatkan harga yang juga sedang jatuh, Pertamina akan menambah stok Premium, Pertamax, dan sejenisnya itu untuk kemudian ditaruh di tangki-tangki perseroan.
Harga BBM impor belakangan justru di bawah harga minyak mentah karena sepinya pembeli. Pada pertengahan hingga akhir Maret lalu, Pertamina mengimpor minyak mentah dengan harga US$ 24 per barel. Sedangkan untuk pembelian gasolin perseroan hanya merogoh kocek US$ 22,5 per barel.
Namun rencana Pertamina mengimpor gasolin bukannya tanpa hambatan. Kapasitas timbun tangki BBM Pertamina saat ini hanya 6 juta kiloliter atau setara dengan 37,7 juta barel. Itu pun sebagian besar sudah terisi dan tak kunjung habis karena permintaan merosot di masa wabah Covid-19. Nyaris penuhnya tangki timbun itu tecermin dari stok BBM Pertamina yang kini melimpah, lebih dari hari biasa yang cukup untuk kebutuhan 20 hari—jauh di bawah standar negara murni pengimpor minyak yang minimal 90 hari.
Tertolong wabah, stok Premium masih 1,4 juta kiloliter atau setara dengan kebutuhan 25 hari. Adapun stok Pertamax tersedia 1,2 juta kiloliter (41 hari), solar 2 juta kiloliter (33 hari), Pertamina Dex 78 ribu kiloliter (77 hari), dan elpiji 347 ribu kiloliter (16 hari). Stok Avtur lebih melimpah, yakni sebanyak 514 ribu kiloliter atau setara dengan kebutuhan 91 hari. “Stok avtur sempat sampai 114 hari,” kata Nicke. Setelah operasi sejumlah kilang disetop, termasuk unit pengolahan di Balikpapan yang banyak memproduksi avtur, stok bahan bakar pesawat tersebut akhirnya turun.
Menurut Nicke, Pertamina sebetulnya sudah berupaya melepas stok ke pelanggan. Menjual dengan harga diskon hingga melayani pembayaran secara kredit, terutama untuk pengusaha stasiun pengisian bahan bakar umum dan pelanggan besar, adalah cara perusahaan menguras stok. Namun stok masih terhitung banyak dan kini menjadi masalah ketika perusahaan ingin memborong BBM impor.
Mau tak mau, Pertamina kini melirik potensi tangki BBM milik orang lain. Menurut Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman, Pertamina setidaknya membutuhkan tambahan kapasitas sampai 150 ribu kiloliter atau 943 ribu barel. “Apabila masih diperlukan, mungkin akan ada fasilitas-fasilitas eksternal yang bakal disewa,” ucap Fajriyah, Jumat, 24 April lalu.
Di mata Satya Yudha, pelajaran kali ini mengingatkan akan pentingnya mendongkrak kapasitas cadangan energi strategis. Seandainya daya tampung BBM nasional lebih besar dari yang saat ini tersedia, Pertamina bisa memborong gasolin lebih banyak. Seperti Amerika Serikat, yang kini berencana membeli 75 juta barel untuk mengisi cadangan strategis mereka. “Ini seharusnya jadi momentum pemerintah untuk menerapkan betul cadangan energi strategis,” ujarnya.
KHAIRUL ANAM, RETNO SULISTYOWATI, HENDARTYO HANGGI, CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo