Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Musim Ciduk Aktivis

Polisi menangkap dan mengintimidasi sejumlah aktivis. Dipenuhi banyak kejanggalan.

25 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ravio Patra (keempat dari kiri) dan Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus setelah dia dibebaskan di Polda Metro Jaya, Jakarta, kemarin. Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ravio Patra ditangkap setelah akun WhatsApp-nya digunakan untuk mengirim pesan provokasi.

  • Ravio sempat berstatus tersangka, lalu menjadi saksi.

  • Polisi menangkap dan mengintimidasi aktivis di berbagai wilayah.

BELASAN laki-laki tak berseragam mengepung Ravio Patra di depan gerai J.CO di Jalan Blora, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 22 April lalu, sekitar pukul 9 malam. Seorang di antara mereka langsung memiting lehernya dan seorang pria lain memegang tangannya. Makian diterima peneliti independen kebijakan publik itu berkali-kali. “Saya disebut ‘orang goblok’, ‘kriminal’,” kata Ravio menceritakan pengalaman tersebut melalui surat elektronik kepada Tempo, Sabtu, 25 April.

Menanyakan surat penangkapannya, pria 27 tahun itu malah disuruh diam dan berjongkok. Berlagak mengancam, seorang laki-laki lalu mengeluarkan beceng. Ravio diseret ke dalam mobil Avanza. Masker dan sepatu kirinya terlepas. Dikawal empat mobil polisi, ia diboyong ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Sepanjang perjalanan, seorang polisi bertanya tentang kiriman pesannya ke berbagai nomor telepon.

Saat itulah Ravio paham. Siang harinya, akun WhatsApp Ravio sempat diretas. Ia juga menerima sejumlah panggilan tak dikenal dari nomor berkode Amerika Serikat dan Malaysia. Ketika diidentifikasi, nomor tersebut milik seorang polisi berpangkat ajun komisaris besar dan tentara dengan pangkat kolonel. Berada di bawah kendali peretas, akun itu mengirimkan pesan bernada provokasi ke berbagai nomor lain. Isinya ajakan menjarah dan membakar pada pengujung April.

Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFEnet, lembaga pemerhati hak digital publik di jagat maya, sempat dihubungi Ravio. Damar meyakini pesan itu sengaja dibuat untuk memposisikan koleganya ini sebagai dalang kerusuhan. “Semacam plot untuk menuduh Ravio,” ujarnya. Ravio pun bercerita bahwa dia merasa diintai. Penjaga tempat kosnya mengatakan seorang pria bertampang sangar mencarinya. Damar meminta Ravio mematikan telepon seluler dan pergi ke sebuah rumah aman. Hingga akhirnya dia diciduk polisi.

Tak lama di Polda Metro Jaya, Ravio dibawa dengan tangan terikat borgol plastik ke kamar kosnya di kawasan Menteng. Polisi menggeledah kamar tersebut selama sekitar tiga jam dan membawa sejumlah catatan pribadinya. Kamis, 23 April lalu, sekitar pukul 3 dinihari, Ravio diperiksa dengan status tersangka. Karena polisi tak mengizinkan Ravio menghubungi kuasa hukumnya, dia ogah diperiksa.

Tujuh jam kemudian, Ravio diperiksa dengan status baru, sebagai saksi. Ia melihat laporan polisi yang menjadi dasar penangkapannya berkode A, yang artinya berasal dari dalam kepolisian. Menurut Ravio, laporan itu dibuat pukul 12.30 pada hari dia ditangkap. Padahal pesan autentikasi dari WhatsApp saat akunnya dibajak terkirim pada pukul 12.11. “Artinya, laporan polisi dibuat dalam rentang 19 menit,” ujarnya.

Sejumlah lembaga pegiat hak asasi yang tergabung dalam Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus meyakini Ravio ditangkap terkait dengan kritik yang sering disampaikannya. Lulusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran ini kencang mengkritik pemerintah, seperti isu data korban Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 dan konflik kepentingan staf khusus Presiden Joko Widodo.

Pada Selasa dinihari, 21 April lalu, sebelum ditangkap, Ravio mengirim pesan kepada anggota staf khusus Presiden, Gracia Josaphat Jobel Mambrasar. Ia menanyakan soal sejumlah proyek pemerintah di Papua dan Maluku yang digarap perusahaan milik Billy—panggilan Gracia Mambrasar. Sekitar pukul 6 pagi, Ravio membaca balasan dari Billy bahwa dia sudah mundur. Ravio meminta bukti pengunduran diri itu, tapi Billy menjawab bahwa pengunduran diri itu dilakukan secara verbal. Dimintai tanggapan, Billy tak merespons panggilan telepon dan tak membalas pertanyaan yang diajukan Tempo lewat nomor WhatsApp-nya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah Ravio ditahan, koalisi pegiat hak asasi yang berisi antara lain SAFENet, Amnesty International Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan sempat mencari-cari keberadaannya. Baru pada Kamis sore, 23 April lalu, mereka tahu dari berita. Saat itu, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan Ravio ditahan karena diduga menyebarkan ujaran kebencian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dapur umum Solidaritas Pangan Jogja di kampung pemulung, Jogjakarta. TEMPO/Shinta Maharani

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian RI Brigadir Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan Ravio ditangkap bersama warga Belanda berinisial RS saat akan masuk ke kendaraan berpelat CD atau korps diplomatik Kerajaan Belanda. Juru bicara Kedutaan Belanda untuk Indonesia, Brechtje Klandermans, membenarkan adanya komunikasi antara diplomatnya dan seorang aktivis hak asasi manusia. “Aktivis itu sempat melompat ke dalam mobil diplomat diikuti petugas kepolisian berpakaian preman,” ujar Klandermans. Belakangan, polisi membebaskan RS. Adapun Ravio dibebaskan setelah ditahan 33 jam.

Polisi belum memberikan jawaban tentang kronologi penangkapan dan tuduhan terhadap Ravio. Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Asep Adi Saputra, ketika dimintai konfirmasi, menyarankan Tempo bertanya kepada Polda Metro Jaya. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus tak merespons permintaan wawancara melalui telepon dan WhatsApp.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. meminta polisi lebih menahan diri dalam melakukan penangkapan. “Kalau tidak ada bukti kuat, anggap itu sebagai kritik,” ujarnya. Namun Mahfud juga meminta publik lebih berhati-hati dalam melontarkan kritik.


•••

PENANGKAPAN terhadap para aktivis juga terjadi di Malang, Jawa Timur. Kepolisian Resor Malang menangkap tiga mahasiswa yang dituding sebagai anggota Anarko Sindikalis pada Ahad, 19 April lalu. Mereka adalah Ahmad Fitron Fernanda, M. Alfian Aris Subakti, dan Saka Ridho. Kepala Kantor Lembaga Bantuan Hukum Surabaya Pos Malang, Lukman Hakim, mengatakan penangkapan itu cacat prosedur. “Polisi menangkap tanpa menunjukkan surat penahanan. Mereka diperlakukan seperti teroris,” ujar Lukman.

Menurut Lukman, Fitron adalah aktivis pers kampus Universitas Negeri Malang. Fitron aktif dalam Komite Aksi Kamisan yang menyuarakan penuntasan kasus hak asasi manusia setiap Kamis sore di depan Balai Kota Malang. Ia juga sering meliput aktivitas petani menolak tambang di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi. Sedangkan Alfian dan Saka, selain ikut aksi kamisan, turut mendampingi petani Desa Tegalrejo, Sumbermanjing Wetan, dalam konflik agraria dengan PT Perkebunan Nusantara.

Kepala Kepolisian Resor Malang Kota Komisaris Besar Leonardus Simarmata menyatakan mereka ditangkap karena melakukan aksi vandalisme berbau penghasutan di enam lokasi pada 4 April lalu, yaitu membuat coretan mengajak masyarakat melawan kapitalisme. Ihwal polisi yang dituding melakukan penangkapan tak sesuai dengan prosedur, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Argo Yuwono mempersilakan para korban menggugat melalui mekanisme praperadilan.


 

“Polisi menangkap tanpa menunjukkan surat penahanan. Mereka diperlakukan seperti teroris.”

 



Polisi juga diduga mengintimidasi sejumlah aktivis penanggulangan wabah corona di Yogyakarta. Dapur umum Solidaritas Pangan Jogja di Ngadiwinatan, Yogyakarta, disatroni polisi tak berseragam pada Sabtu sore, 18 April lalu. Tanpa surat tugas, anggota Kepolisian Sektor Ngampilan, Yogyakarta, memaksa memotret kegiatan dapur. Menurut inisiator dapur umum Solidaritas Pangan Jogja, Ita Fadia Nadia, polisi juga meminta dia menyerahkan daftar anggota, alamat dapur, dan pendiri gerakan. “Saya tidak mau memberikan,” kata Ita pada Rabu, 22 April lalu.

Rumah Ita menjadi satu dari sebelas dapur umum Solidaritas Pangan Jogja. Ini adalah gerakan membantu masyarakat miskin yang kena dampak pandemi corona dengan cara membagikan nasi bungkus, bahan kebutuhan pokok, vitamin, dan masker kepada pengayuh becak, pemulung, buruh gendong, pedagang pasar tradisional, dan eks tahanan politik 1965. Sebagian besar relawannya berasal dari mahasiswa dan pegiat Aliansi Rakyat Bergerak, yang aktif menolak rancangan undang-undang bermasalah dalam aksi Gejayan Memanggil.

Pada Sabtu malam itu pula kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia di Kotagede digeruduk anggota Kepolisian Sektor Kotagede dan sejumlah warga. Polisi dan penduduk sekitar membubarkan pertemuan para relawan yang sedang mengevaluasi pelaksanaan dapur umum. Polisi beralasan rapat itu melanggar surat edaran Wali Kota Yogyakarta tentang larangan berkerumun. “Padahal kami rapat sambil memakai masker dan menjaga jarak,” kata juru bicara Walhi Yogyakarta, Himawan Kurniadi.

Kepala Bidang Humas Polda Yogyakarta Komisaris Besar Yulianto membantah ada intimidasi terhadap aktivis ataupun relawan Solidaritas Pangan Jogja. Dia menyebutkan pendataan polisi itu dilakukan rutin untuk menjaga keamanan dan ketertiban. “Tidak ada intimidasi,” ujar Yulianto. Sedangkan Kepala Polsek Kotagede Komisaris Dwi Tavianto mengklaim kehadiran institusinya di kantor Walhi itu untuk menengahi warga dan relawan yang bersitegang.

Aktivis mahasiswa dari Aliansi Rakyat Bergerak yang juga relawan dapur umum Solidaritas Pangan Jogja, Azhar Jusardi Putra dan Syahdan Husein, mengalami kejadian yang serupa dengan Ravio Patra. Kamis subuh, 23 April lalu, WhatsApp dua mahasiswa Universitas Gadjah Mada itu diretas dan digunakan untuk mengirimkan pesan berisi ancaman atau kalimat tak senonoh. Menurut Syahdan, peretasan terjadi sebelum dan setelah aksi demo yang mengkritik kebijakan pemerintah. “Sepatutnya negara melindungi privasi, bukan malah mengkriminalisasi”.

DEVY ERNIS, MUSTHOFA BISRI (MADURA), SHINTA MAHARANI (DIY), EKO WIDIANTO (MALANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Devy Ernis

Devy Ernis

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, kini staf redaksi di Desk Nasional majalah Tempo. Memimpin proyek edisi khusus perempuan berjudul "Momen Eureka! Perempuan Penemu" yang meraih penghargaan Piala Presiden 2019 dan bagian dari tim penulis artikel "Hanya Api Semata Api" yang memenangi Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Alumni Sastra Indonesia Universitas Padjajaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus