Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cina memprotes pengeboran minyak dan gas alam di Laut Natuna Utara.
Kapal-kapal Cina membayang-bayangi aktivitas minyak dan gas di sana sejak Juli lalu.
Indonesia tidak punya sengketa perbatasan dengan Cina.
TAK ada angin tak ada hujan, tiba-tiba pemerintah Cina dikabarkan mengirimkan surat protes ke pemerintah Indonesia. Beijing meminta Jakarta menghentikan pengeboran minyak dan gas alam di Laut Natuna Utara, yang dianggap sebagai bagian dari Laut Cina Selatan yang mereka klaim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu Premier Oil Natuna Sea BV, anak perusahaan minyak Inggris, Harbour Energy Plc, yang didukung Zarubezhneft, perusahaan negara Rusia, sedang mengebor di Blok A Natuna. Blok yang dekat dengan perbatasan Malaysia dan Vietnam itu menjadi pemasok gas utama ke Singapura melalui Sistem Transportasi Natuna Barat. Ada tujuh ladang minyak dan gas di sana, yakni Anoa, Gajah Baru, Pelikan, Naga, Bison, Iguana, dan Gajah Puteri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Protes Cina itu pertama kali dilansir Reuters pada Rabu, 1 Desember lalu. Kantor berita berbasis di Inggris itu mengutip keterangan Muhammad Farhan, anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, mengenai surat tersebut. Di surat lain, Cina juga memprotes latihan militer bersama Garuda Shield antara Indonesia dan Amerika Serikat di Sumatera Selatan, Kutai Kartanegara, dan Sulawesi Utara pada Agustus lalu.
Tempo berusaha menghubungi Kedutaan Besar Cina di Indonesia untuk meminta konfirmasi mengenai surat dan protes tersebut. Namun, hingga artikel ini ditulis, tak ada tanggapan dari Kedutaan.
Kementerian Luar Negeri memastikan lokasi pengeboran sumur minyak dan gas alam di Laut Natuna Utara itu berada di wilayah Indonesia. Lokasinya, "(Berada) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia," kata Teuku Faizasyah, juru bicara Kementerian, kepada Koran Tempo.
Eddy Pratomo, guru besar dosen tidak tetap ilmu hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, mengatakan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara sudah memiliki dasar perjanjian dengan Malaysia dan Vietnam serta diratifikasi oleh DPR. Dengan begitu, "Kita punya hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasinya karena itu hak berdaulat. Itu kan hak kita yang diatur oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS)," ucap Eddy kepada Tempo pada Jumat, 10 Desember lalu.
"Bila Cina memprotes pengeboran minyak dan gas di laut kita sendiri, itu kan aneh sebenarnya," tutur Eddy. Lokasi pengeboran itu berada di landas kontinen Indonesia. Laut Natuna Utara, kata dia, juga sangat jauh, mencapai 370 mil dari Cuarteron Reef, karang terdekat di gugus Kepulauan Spratly yang diklaim Cina. Vietnam, dan Filipina.
Cuarteron Reef juga hanya sebuah karang, bukan pulau. Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), pulau terbentuk secara alami dan dapat dihuni manusia. Ibaratnya, "Orang masuk ke pulau itu tanpa membawa apa-apa bisa hidup," ujar Eddy. Hanya pulau yang dapat dijadikan fitur maritim sehingga dapat memiliki zona maritim 200 mil ke laut.
Indonesia, Eddy menambahkan, juga tidak punya sengketa dengan Cina baik menegnai Laut Natuna Utara maupun Laut Cina Selatan. "Kita berpandangan bahwa Indonesia sebagai honest broker dan tidak ada klaim atas Laut Cina Selatan," kata mantan Direktur Jenderal Hubungan Internasional Kementerian Luar Negeri tersebut. Honest broker atau "perantara yang jujur" adalah entitas yang diterima oleh semua pihak dalam negosiasi karena tidak memihak.
Asia Maritime Transparency Initiative dan Center for Strategic and International Studies melaporkan, sejak Juli lalu, kapal-kapal Cina berseliweran di tengah aktivitas minyak dan gas Indonesia dan Malaysia di kawasan sekitar Laut Natuna. Kapal Cina terus hadir di lokasi pengeboran Indonesia di Natuna sejak awal Juli dan sebuah kapal surveinya mensurvei dasar laut di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen Indonesia. Kapal Cina lain dilaporkan juga mensurvei dasar laut di landas kontinen Malaysia.
Kapal coast guard Cina saat di Natuna Utara, 11 Januari 2020. (ANTARA/M Risyal Hidayat)
Ketika Premier Oil Natuna Sea BV mulai mengebor di Laut Natuna Utara pada 30 Juni lalu, beberapa hari kemudian kapal Cina sudah berpatroli di dekatnya. Badan Keamanan Laut mengirim Kapal Negara atau KN Pulau Dana untuk berjaga di sekitar aktivitas pengeboran, bergantian dengan kapal-kapal lain. Sejauh ini tidak ada insiden dari aktivitas kapal-kapal tersebut.
Kepala Badan Keamanan Laut Laksamana Madya Tentara Nasional Indonesia Aan Kurnia mengatakan sikap Indonesia jelas dalam menjaga Laut Natuna Utara. "Jika mengganggu secara fisik, misalnya kapalnya berhenti dan mengatakan 'stop', 'berhenti', baru kita bertindak. Dia tidak. Hanya membayang-bayangi. Ibarat rumah, dia bolak-balik di depan rumah kita," kata Aan kepada Tempo pada Selasa, 7 Desember lalu.
Cina selama ini mengklaim sebagian besar kawasan Laut Cina Selatan berdasarkan nine-dash line, sembilan garis putus-putus yang mengikuti kawasan pencarian ikan nelayan tradisionalnya. "Sejak Menteri Luar Negeri Ali Alatas, kita beberapa kali mengirim surat menanyakan bagaimana Anda (pemerintah Cina) menerjemahkan nine-dash line, tapi tidak pernah dijawab sampai sekarang," tutur Eddy.
Dalam putusan mengenai sengketa antara Cina dan Filipina pada 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda, menyatakan nine-dash line tidak diakui dalam UNCLOS sehingga tidak bisa digunakan sebagai landasan hukum penetapan batas wilayah laut. Pemerintah Cina menolak putusan ini dan tetap kukuh pada klaim sepihak tersebut.
Cina terus-menerus memperkuat kehadirannya di Laut Cina Selatan dengan memperbanyak kapal patroli dan mengerahkan milisi maritimnya, milisi yang didanai pemerintah yang tampak sebagai nelayan biasa. Cina juga membangun pulau buatan di atas Mischief Reef, karang di dekat Kepulauan Spratly, yang dijadikan pangkalan militer lengkap dengan landasan pacu untuk pesawat terbang berat, fasilitas penyimpanan bahan bakar, radar, dan sistem misil.
Kehadiran Cina kadang memicu insiden. Pertengahan November lalu, kapal penjaga pantai Cina memblokir dan menembakkan meriam air ke dua kapal Filipina yang membawa pasokan makanan untuk personel militer di Ayungin Shoal, salah satu pulau dari Kepulauan Spratly milik Filipina. Kawasan itu masuk Zona Ekonomi Eksklusif Filipina yang juga diklaim oleh Cina.
Filipina memprotes hal tersebut. “Tindakan kapal penjaga pantai Cina adalah ilegal,” kata Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin seperti dikutip Al Jazeera. “Cina tidak memiliki hak penegakan hukum di dalam dan di sekitar wilayah ini. Mereka harus waspada dan mundur.”
Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang dulu berusaha lebih dekat dengan Cina, dikritik karena tidak mengambil sikap yang lebih tegas terhadap aktivitas Cina di Laut Cina Selatan. Namun kali ini dia mendukung respons kementerian luar negerinya. “Kami akan terus menegaskan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksi kami atas wilayah kami,” ujar penjabat juru bicara kepresidenan, Karlo Nograles.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo