Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Malaysia memberlakukan status darurat nasional untuk menekan laju penularan Covid-19.
Perdana Menteri Muhyiddin Yassin dinilai hanya ingin mempertahankan kekuasaan.
Pembekuan parlemen selama periode darurat membuka peluang Muhyiddin memiliki kekuasaan lebih besar tanpa kontrol parlemen.
PANDEMI Covid-19 kian mendera Malaysia. Jumlah kasus mencapai sekitar 144 ribu dan lebih dari separuhnya terjadi sejak awal Desember 2020. Angka penularan sudah menembus 3.000 kasus per hari. Pemerintah Malaysia pun mendeklarasikan status darurat di seluruh negeri pada 12 Januari lalu demi menekan lonjakan angka kasus baru. Ini pertama kalinya darurat nasional berlaku dalam lima dekade terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan itu keluar setelah Perdana Menteri Muhyiddin Yassin bertemu dengan Raja Malaysia Sultan Abdullah Ahmad Shah dan menyarankan penerapan darurat. Periode darurat yang disetujui Sultan Abdullah itu bakal berlangsung hingga 1 Agustus mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhyiddin mengungkapkan, status darurat nasional diperlukan karena pandemi telah mengoyak sistem kesehatan negeri jiran itu. Dia menekankan bahwa kebijakan ini bukanlah kudeta militer dan tidak akan ada penerapan jam malam. Masyarakat pun diminta tetap tenang. “Saya menjamin pemerintahan sipil tetap berfungsi,” katanya dalam pidato yang disiarkan langsung lewat televisi pada 12 Januari lalu.
Menurut pemimpin Partai Pribumi Bersatu Malaysia itu, pemilihan umum nasional dan negara bagian tidak akan digelar selama masa darurat. Meski demikian, dia mengaku tidak berniat menghalang-halangi pemilihan umum. Keputusan tentang pemilihan berada di tangan komite khusus yang akan menilai situasi pandemi. “Begitu komite menyatakan kondisi membaik dan terkendali, pemilihan umum bisa digelar,” tuturnya.
Muhyiddin mengakui keputusan itu berkaitan dengan pemilihan anggota parlemen di Negara Bagian Sabah pada September 2020 yang memicu melejitnya jumlah kasus Covid-19 di seantero negeri. Para politikus dan pemilih yang bolak-balik antara Semenanjung Malaysia dan Sabah mempercepat laju penularan virus. Sabah menjadi negara bagian pertama dengan lebih dari 10 ribu kasus Covid-19. Pemilihan di Sabah juga menjadi pemicu infeksi Covid-19 gelombang ketiga di Malaysia.
Aturan status darurat sudah beberapa kali digunakan di Malaysia dengan pertimbangan keamanan dan keselamatan warganya. Biasanya, status itu diterapkan di tingkat negara bagian, seperti di Kelantan pada 2005 ketika kabut asap kebakaran hutan menyelimuti wilayah tersebut. Terakhir kali status darurat nasional berlaku pada 1969, setelah kerusuhan rasial pecah di Kuala Lumpur.
Pemilihan umum negara bagian Sabah, Malaysia, September 2020. Malaysiakini/ALYAA ALHADJRI
Status darurat kali ini tidak berdampak besar pada aktivitas masyarakat, yang sudah diperketat melalui aturan pembatasan pergerakan. Sehari seusai deklarasi darurat nasional, pemerintah mengumumkan aturan pembatasan pergerakan baru. Regulasi ini memperketat perjalanan antar-negara bagian. Sejumlah aktivitas sosial, dari pameran, reuni, rapat, hingga acara pernikahan, juga dilarang.
Masyarakat kini diwajibkan tinggal di rumah jika tak ada keperluan mendesak, seperti membeli bahan pangan, obat, dan bahan kebutuhan dasar. Radius bepergian maksimal 10 kilometer dari tempat tinggal, kecuali barang yang dicari hanya ada di luar jarak itu. Meski demikian, sektor ekonomi masih diberi kesempatan “bernapas” dibanding ketika pembatasan pertama kali diterapkan pada Maret tahun lalu. Tempat usaha, seperti toko, pasar swalayan, dan restoran, masih bisa beroperasi hingga pukul 8 malam.
Pembatasan ini seharusnya berakhir pada 26 Januari, tapi kemudian diperpanjang hingga 4 Februari. Menteri Senior Malaysia Ismail Sabri Yaakob menyatakan periode pembatasan aktivitas masyarakat diperpanjang karena kasus harian Covid-19 masih tinggi. Wilayah yang terkena aturan ini adalah Negara Bagian Penang, Selangor, Johor, Sabah, Malaka, dan Kelantan. Aturan ini juga meliputi wilayah federal Putrajaya, Kuala Lumpur, dan Labuan.
Namun keputusan darurat ini dikritik banyak pihak karena diduga bersifat politis. Muhammad Rafique, anggota Dewan Pengacara Malaysia, mempertanyakan kebijakan tersebut ini. Kalau alasannya menangani pandemi, kata dia, terdapat banyak regulasi lain yang mumpuni. Status darurat ini ditengarai justru dapat menimbulkan masalah baru, seperti peluang eksekutif untuk memiliki kekuasaan lebih besar tanpa kontrol dari parlemen. Demokrasi pun bisa terganggu. “Bahkan, jika secara legal diizinkan, status darurat ini tetap tidak tepat,” ucap Rafique ketika dihubungi Tempo pada Jumat, 22 Januari lalu.
Menurut Rafique, Muhyiddin sudah tidak dalam posisi tepat untuk memberikan saran kepada Sultan Abdullah. Pasalnya, ia telah kehilangan kepercayaan dan suara mayoritas Dewan Rakyat, parlemen negeri itu. “Pertanyaan besar selanjutnya adalah status darurat nasional ini apakah memang benar untuk rakyat atau kepentingan politiknya,” ujarnya.
Selama masa darurat nasional, kegiatan parlemen pusat dan daerah dibekukan. Kondisi ini dinilai sejumlah politikus sebagai cara Muhyiddin untuk mengamankan kekuasaannya. “Ini cuma cara bagaimana mempertahankan kekuasaan. Mekanisme seperti ini tak mungkin terjadi tanpa pandemi,” tutur Bridget Welsh, peneliti Asia Research Institute di Nottingham University, Inggris, kepada VOA News.
Kubu oposisi mengecam langkah Muhyiddin memberikan saran penerapan darurat nasional kepada Sultan Abdullah. Motivasi dan legitimasi Muhyiddin dipertanyakan. Pemimpin kelompok oposisi, Anwar Ibrahim, mengklaim sebagian besar anggota parlemen telah memohon kepada Raja Malaysia agar membatalkan persetujuannya terhadap darurat nasional.
Dalam konferensi pers virtual pada Rabu, 20 Januari lalu, Anwar mengatakan surat yang dikirim oleh anggota parlemen ke Istana juga berisi permintaan agar Raja menggelar pertemuan khusus untuk membahas pandemi. Jumlah anggota Dewan yang meneken surat itu sudah melebihi suara mayoritas di parlemen. “Ini bukan untuk memprotes, tapi memohon kebijaksanaan Raja agar meninjau ulang alasan yang diberikan Perdana Menteri untuk status darurat ini,” ucap Presiden Partai Keadilan Rakyat tersebut.
Anwar juga mengkritik langkah pemerintah membekukan parlemen. Menurut dia, keberadaan parlemen justru sangat dibutuhkan untuk mengimbangi kekuasaan pemerintah yang “nyaris absolut” di masa darurat. Dia meyakini posisi Muhyiddin dan pemerintahannya yang tidak stabil menjadi motif untuk mengajukan status darurat. Apalagi Muhyiddin tidak lagi memperoleh dukungan suara mayoritas di parlemen—syarat seseorang dapat menjadi perdana menteri.
Kritik terhadap Muhyiddin juga datang dari mantan perdana menteri Mahathir Mohamad. Menurut dia, pemerintah memiliki kemampuan yang cukup untuk menangani pandemi tanpa harus mendeklarasikan darurat nasional. Status darurat, kata Mahathir, membuat Muhyiddin punya kekuasaan absolut untuk memerintah dengan cara baru. “Kekuasaan darurat ini tidak tepat dipakai untuk menangani pandemi,” tulis Mahathir di blognya pada Senin, 18 Januari lalu.
Gugatan hukum pun sudah menunggu Muhyiddin di Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur. Khairuddin Abu Hassan, bekas petinggi Organisasi Nasional Malaysia Bersatu (UMNO), menggugat Muhyiddin karena ia dinilai tak layak memberikan saran kepada Sultan Abdullah setelah tak lagi memiliki dukungan suara mayoritas di parlemen. “Legitimasinya sebagai perdana menteri dipertanyakan,” ujar Rafique, yang juga menjadi kuasa hukum Khairuddin.
Sebagai perdana menteri, Muhyiddin harus memiliki dukungan minimal 111 dari 220 anggota Dewan Rakyat. Namun, pada 9 Januari lalu atau dua hari sebelum Muhyiddin menemui Sultan Abdullah, Ahmad Jazlan Yakuub, politikus UMNO dari Machang, menyatakan menarik dukungannya.
Anggota parlemen dari Padang Rengas, Nazri Aziz, juga mengumumkan penarikan dukungan untuk Muhyiddin dalam konferensi pers di kantor pusat UMNO di Kuala Lumpur pada 12 Januari lalu. Menurut Nazri, seperti dilaporkan Malay Mail, keputusannya sudah mendapat persetujuan partai. Nazri juga mengindikasikan bahwa UMNO bakal keluar dari koalisi partai pemerintah pimpinan Muhyiddin.
Nazri mengecam langkah Muhyiddin yang menyarankan penerapan status darurat nasional demi mengamankan kekuasaannya. Untuk bisa mendapat dukungan parlemen lagi, menurut Nazri, Muhyiddin harus tetap mengandalkan pemilihan umum. “Bagaimana mau menggelar pemilihan umum di tengah Covid-19 seperti ini?” ucapnya.
Pengacara senior Malaysia, Haniff Khatri, mengatakan Muhyiddin seharusnya langsung memberi tahu Raja ketika dia kehilangan dukungan suara mayoritas di parlemen. Pilihan Muhyiddin setelah itu akan terbatas. Dia bisa meminta pemilihan umum digelar, opsi yang mungkin akan ditolak Raja karena kondisi pandemi, atau mundur sebagai perdana menteri. “Itu yang seharusnya dia lakukan, tapi tidak dilakukannya,” tutur Haniff kepada Tempo melalui sambungan telepon pada Jumat, 22 Januari lalu. “Kalau untuk menetapkan status darurat, Raja punya diskresi, tidak membutuhkan masukan perdana menteri dulu.”
Menurut Haniff, peraturan dalam status darurat nasional memungkinkan eksekutif mendapat kekuasaan lebih besar. Pembekuan parlemen juga membuka peluang penyimpangan baru di masa darurat. “Mungkin saja ada penyelewengan kekuasaan. Perdana Menteri bisa membuat aturan baru tanpa melibatkan parlemen,” kata Haniff, yang beberapa kali menjadi kuasa hukum Mahathir Mohamad.
Politik Malaysia gonjang-ganjing selepas pemilihan umum 2018. Saat itu, Partai Keadilan Rakyat bersama Partai Pribumi Bersatu Malaysia yang didirikan Mahathir Mohamad dan partai lain membentuk koalisi partai Pakatan Harapan untuk menghadapi rezim Najib Razak yang tengah didera skandal korupsi 1MDB. UMNO, koalisi partai pendukung Najib, kalah dalam pemilihan dan mengantarkan Mahathir ke kursi perdana menteri.
Baru dua tahun berkuasa, Mahathir digoyang oleh sejumlah faksi di Pakatan Harapan dan UMNO. Mahathir dipaksa lengser dan Pakatan Harapan pecah. Pada Maret tahun lalu, Raja Malaysia akhirnya menunjuk Muhyiddin Yassin sebagai perdana menteri baru yang disokong koalisi partai Perikatan Nasional. Pada September, Anwar Ibrahim membuat manuver baru dengan menggalang dukungan parlemen. Dia mengklaim telah mendapat dukungan mayoritas anggota Dewan Rakyat sehingga berhak membentuk pemerintahan baru. Tekanan kepada Muhyiddin makin besar setelah sejumlah petinggi UMNO mengancam akan menarik dukungan dari Muhyiddin dan Perikatan Nasional.
Namun Sultan Abdullah belum memberi restu untuk pergantian pemerintahan. Pada Oktober 2020, Sultan akhirnya meminta para politikus “tidak harus mengakhiri perbedaan pendapat dengan cara yang bermusuhan, tapi menyelesaikan masalah dengan negosiasi dan menggunakan ketentuan konstitusional”. Saat itu posisi Muhyiddin menguat setelah Perikatan Nasional menang dalam pemilihan umum parlemen di Negara Bagian Sabah.
Human Rights Watch menilai status darurat di Malaysia sudah berlebihan. Kebijakan itu membuka peluang bagi militer untuk mendapatkan kekuasaan lebih besar. Mereka juga berpeluang menyita properti tanpa memberikan kompensasi. Dalam pernyataan tertulisnya pada Kamis, 21 Januari lalu, organisasi hak asasi ini menilai status darurat perlu direvisi agar sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.
Wakil Direktur Human Rights Watch Asia Phil Robertson menuturkan, aturan keadaan darurat di Malaysia ini membuat pejabat negara mendapat imunitas. Kondisi itu juga membuat militer memperoleh kekuasaan untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan sehingga memperbesar risiko pelanggaran hak-hak sipil. “Penangguhan sidang parlemen dan pemilihan umum tanpa batas waktu dapat mengancam hak politik warga negara,” ujarnya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (MALAYSIAKINI, FREE MALAYSIA TODAY, NEW STRAIT TIMES, THE RAKYAT POST, REUTERS)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo