Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berita Tempo Plus

Limbah Medis Hanyut sampai Laut

Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menemukan 16 persen sampah yang hanyut di Teluk Jakarta berupa alat pelindung diri. Kurangnya pengolah limbah medis memungkinkan terjadinya kebocoran ke lingkungan.

23 Januari 2021 | 00.00 WIB

Sejumlah anak bermain di antara tumpukan sampah di Teluk Jakarta, Kawasan Cilincing, Jakarta Utara,  23 Januari 2021. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Perbesar
Sejumlah anak bermain di antara tumpukan sampah di Teluk Jakarta, Kawasan Cilincing, Jakarta Utara, 23 Januari 2021. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menemukan 16 persen dari limbah yang ada di muara sungai di Teluk Jakarta berupa limbah medis, seperti alat pelindung diri bekas pakai.

  • Limbah medis tersebut diduga dibuang oleh masyarakat yang abai terhadap pengelolaan limbah berbahaya infeksius.

  • Kurangnya jumlah dan kemampuan pengolah limbah medis di rumah sakit dan fasilitas kesehatan mungkin menyebabkan bocornya limbah medis ke lingkungan.

MUHAMMAD Reza Cordova tak mengira akan menemukan fenomena baru saat melakukan pemantauan sampah bulanan yang bertumpuk di muara sungai yang menuju Teluk Jakarta. Peneliti di Kelompok Penelitian Pencemaran Laut dan Bioremediasi pada Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu mendapati jenis sampah yang tak ditemukan sebelumnya, yakni berupa beragam alat pelindung diri. “Waktu penelitian itu kebetulan pada bulan diumumkannya pasien Covid-19 pertama,” kata Reza, Sabtu, 16 Januari lalu.

Di antara limbah alat pelindung diri (APD) yang ditemukan Reza di muara Sungai Marunda dan Cilincing pada Maret-April 2020 itu, yang paling banyak adalah masker, baik yang berbahan kain, masker scuba, maupun masker medis (N95 dan bedah). Ada juga sarung tangan, pelindung wajah, serta baju hazmat. Menurut dia, APD yang hanyut di sungai itu merupakan model yang banyak dipakai masyarakat. “Saat awal pandemi sempat viral pemakaian hazmat ke pasar, mal, hingga bermain skateboard,” ujar Reza, yang meraih master dari Program Studi Ilmu Kelautan IPB University.

Reza menaksir jumlah limbah APD yang tergolong limbah medis infeksius itu sebesar 16 persen dari total sampel sampah yang diambil. Per hari, terdapat sekitar 780 item sampah dengan berat sekitar 130 kilogram yang Reza ambil sebagai sampel penelitian. Dari jumlah itu, rata-rata per hari ada 138 sampah berupa APD dengan berat sekitar 20 kilogram. Reza menduga APD tersebut dibuang oleh orang-orang yang abai terhadap pengelolaan lingkungan. Namun, Reza menambahkan, ada pula kemungkinan asalnya dari fasilitas kesehatan. “Yang kami pahami, fasilitas kesehatan memiliki aturan yang ketat dan lebih terkontrol. Namun ada juga kemungkinan ‘bocor’ ke lingkungan,” ucapnya.

Aktivis lingkungan hidup dan pendiri Nexus2 Foundation, Yuyun Ismawati Drwiega, sependapat dengan Reza mengenai kemungkinan bocornya limbah medis dari rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain ke lingkungan. Menurut Yuyun, kurangnya pengolah limbah medis di rumah sakit dan fasilitas kesehatan memungkinkan kebocoran limbah medis. “Saat ini, dari total 2.838 rumah sakit di seluruh Indonesia, hanya 5 persen yang memiliki insinerator (pembakar sampah). Dari 940 rumah sakit rujukan Covid-19, hanya 20 rumah sakit yang punya insinerator berizin,” tutur Yuyun, Kamis, 21 Januari lalu.

Sebagian besar rumah sakit, Yuyun melanjutkan, mengandalkan pihak lain untuk mengolah limbah medisnya, yakni perusahaan jasa pengolahan limbah serta perusahaan jasa pengangkutan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, terdapat 14 perusahaan pengolahan limbah B3 dan 130 perusahaan pengangkutan limbah B3. “Data terbaru saat ini, ada 17 perusahaan pengolah limbah B3, sebagian besar berlokasi di Jawa,” ujar Yuyun, yang meraih Goldman Environmental Prize pada 2009 atas ide dan usahanya berupa program pengelolaan limbah berbasis masyarakat yang mengaryakan penduduk berpenghasilan rendah serta memberdayakan mereka untuk meningkatkan kualitas lingkungan.

Bukan hanya fasilitas kesehatan, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta pun menyerahkan urusan limbah medis kepada pihak ketiga. Menurut Kepala Seksi Pengelolaan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Rosa Ambarsari, petugasnya memilah-milah dan mengumpulkan limbah infeksius, seperti masker bekas pakai dari rumah tangga. Untuk memusnahkannya, limbah B3 itu diangkut oleh perusahaan jasa pengangkutan limbah B3, PT Wastec International, dan diserahkan ke perusahaan pengolah limbah B3 berizin. “Masker bekas tergolong limbah infeksius. Pemusnahannya dengan cara diinsinerasi,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus