Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Politikus veteran keturunan Kurdi, Abdul Latif Rashid, terpilih sebagai Presiden Irak yang baru pada Kamis,13 Oktober 2022. Parlemen menunjuknya sebagai kepala negara Irak untuk menggantikan Barham Saleh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai pemimpin Irak yang baru, Abdul Latif punya tugas memperbaiki hubungan antara pemerintah dengan kelompok minoritas Kurdi Irak. Tugas pertamanya sebagai presiden adalah membentuk pemerintahan dengan menunjuk Perdana Menteri Irak untuk menggantikan Mustafa Al-Kadhemi. Langkah itu akan mengisi kekosongan politik di Irak selama setahun sejak pemilihan umum Oktober 2021.
Abdul Latif memiliki pengalaman berharga dalam menavigasi politik yang kacau balau di Baghdad. Dia menjabat sebagai penasihat Presiden Irak sejak 2010 atau setelah tujuh tahun menjabat menteri.
"Kekuatan Abdul Latif adalah dia tidak asing dengan Baghdad (pemerintah). Tidak ada yang harus baru baginya, bahkan jika dia akan menjadi wajah baru bagi orang Irak yang lebih muda," kata analis politik Hamzeh Hadad dari Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa, seperti dikutip dari France 24, Jumat, 14 Oktober 2022.
Abdul Latif berasal dari Sulaimaniyah, yakni sebuah kota besar di wilayah otonomi Kurdistan utara Irak utara. Ia pandai berbahasa Kurdi, Arab, dan Inggris. Abdul Latif punya tiga anak. Dia punya ketertarikan di bidang melukis dan pernah membuka galeri di Sulaimaniyah pada 2014, untuk memamerkan karya seniman lokal.
Lahir pada 1944, Abdul Latif belajar di Inggris, mendapatkan gelar dari Liverpool dan Manchester. Dia memperoleh gelar doktor di bidang teknik hidrolik pada 1976.
Abdul Latif pernah memegang jabatan sebagai menteri sumber daya air pada 2003, bertugas di pemerintahan pertama yang diberlakukan setelah invasi pimpinan AS yang menggulingkan Saddam Husein. Dengan pengalamannya itu, dia bisa punya potensi berharga bagi Irak, negara yang menurut PBB telah dirusak oleh kekeringan dan dianggap sebagai negara kelima yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Saat menjadi menteri, Abdul Latif sempat terlibat perselisihan dengan Turki atas pembagian perairan sungai Efrat dan Tigris. Dia juga berpartisipasi dalam perjuangan untuk menyelamatkan rawa-rawa kering di Irak selatan, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO.
Sejak Saddam Hussein digulingkan pada 2003, sebuah pengaturan informal menyatakan bahwa seorang Muslim Syiah harus menjadi perdana menteri. Sementara seorang Sunni menjabat sebagai ketua parlemen dan seorang Kurdi memegang kursi kepresidenan.
Jabatan Presiden Irak yang sebagian besar bersifat simbolis telah dipegang sejak 2018 oleh Saleh dari Persatuan Patriotik Kurdistan (PUK). Abdul Latif, yang juga dari PUK tetapi mencalonkan diri sebagai presiden independen, dekat dengan pendiri partai, Jalal Talabani.
Sementara blok Muslim Syiah pro-Iran yang didorong oleh Kerangka Koordinasi untuk membentuk pemerintahan, Abdul Latif muncul di babak terakhir pemilihan presiden.
Pemilihan Abdul Latif terjadi pada saat faksi-faksi Syiah yang bersaing memperebutkan pengaruh di Baghdad. Pejabat yang dekat dengan Abdul Latif menyebut, di Irak yang multi-agama dan multi-etnis, sosok presiden sekarang memiliki reputasi yang baik dengan politisi Syiah dan Sunni.
Abdul Latif "dihormati" oleh faksi ulama Syiah berpengaruh Moqtada Sadr, pejabat itu menambahkan. Dia juga dekat dengan mantan perdana menteri Nuri al-Maliki, seorang tokoh terkemuka dalam Kerangka Koordinasi, yang berkuasa di parlemen.
FRANCE 24
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.