PERISTIWA 16 tahun lalu di Simla, India, seolah terulang di Islamabad Pakistan. Pekan lalu, Bhutto dan Ganhi kembali duduk berhadapan untuk membicarakan perdamaian. Keduanya tetap sebagai perdana menteri, yang mengepalai pemerintahan palin berpengaruh di kawasan Asia Selatan: India dan Pakistan. Tentu saja mereka bukan Ali Bhutto dan Indira Gandhi. Mereka anak kedua tokoh yang dulu tak bisa bertemu itu, Benazir Bhutto dan Rajiv Gandhi. Itulah peristiwa yang mengubah sejarah hubungan India dan Pakistan setelah Benazir dan Rajiv berembuk tiga hari, Kamis sampai dengan Sabtu pekan lalu, dalam konperensi puncak Asosiasi Negara-Negara Asia Selatan Untuk Kerjasama Regional (SAARC). Mereka mau menghidupkan persahabatan yang pernah dirintis kedua orangtua mereka pada tahun 1972 di Simla yang tak mulus, yang malah kemudian gagal. Yakni sejak Bhutto ditumbangkan oleh Mendiang Zia ul-Haq pada 1977, permusuhan kedua tetangga malah menghebat. Masing-masing mengkonsentrasikan kekuatan militer di perbatasan. Trauma perang bagi kedua pihak terjadi pada 1948, 1965, dan 1971 menelan korban ribuan jiwa adalah hantu yang hidup kembali kala itu. Perang pertama dan kedua meletus karena sengketa perbatasan. Sedangkan yang ketiga lantaran India menginm pasukan untuk mendukung kaum separatis di Bangladesh, yang kala itu masih merupakan bagian Pakistan. Tanpa bantuan India, hampir mustahil bagi para pejuang Bangladesh bisa bertahan melawan serdadu Pakistan -- setidaknya akan membutuhkan waktu yang lebih panjang bagi Bangladesh untuk berdiri sendiri sebagai negara. Di hadapan para pemimpin pemerintahan SAARC, Benazir dan Rajiv mencoba menghapus trauma itu. Itu memang memungkinkan, mengingat usia mereka. Ketika perang terakhir meletus, keduanya belum jadi politikus. Mereka masih berumur 13 tahun dan 23 tahun. Dengan demikian bisa ditebak: persoalan besar yang harus mereka tuntaskan adalah menundukkan para jenderal dan politikus senior yang masih terperangkap dalam sejarah lama. Tawaran pertama sudah dilontarkan. Dalam pidato pembukaan pertemuan puncak SAARC, kali ini Benazir mengimbau rekan-rekannya agar mengurangi dana anggaran militer. "Dana itu lebih baik dipakai untuk menanggulangi penyakit dan kemiskinan," kata Benazir. Alasannya: itu sesuai dengan kondisi Asia Selatan yang masih termasuk sebagai salah satu kawasan termiskin di dunia. Pernyataan Benazir itu, yang disambut hangat oleh rakyat Pakistan, tentu mengundang jengkel kubu militer. Ingat ketika Perdana Menteri Mohamad Khan Junejo dipecat oleh Presiden Zia, Mei 1988. Sebelum itu, Junejo berniat untuk memotong anggaran militer, yang mencapai 40% dari anggaran belanja negara. Memang kondisi ekonomi kawasan itu menyedihkan. Sebagian besar warga SAARC -- India, Bangladesh, Buthan, dan Nepal -- penghasilan per kepalanya masih di bawah US$200 per tahun. Cuma Sri Lanka, Pakistan, dan Maladewa yang mencapai antara US$350 dan US$470. (Sebagai perbandingan, penghasilan per kepala Indonesia dalam setahun adalah US$560). Toh sampai sekarang, lantaran saling curiga, negara-negara miskin itu masih berlomba untuk mengatrol anggaran militer masing-masing. Yang benar-benar di luar dugaan dari pertemuan itu, India dan Pakistan sepakat untuk tak saling menyerang instalasi nuklir mereka. Sebuah kesepakatan yang belum pernah tercapai, sekaligus memperkuat dugaan bahwa kedua negara itu punya simpanan bom nuklir, meski Rajiv dan Benazir sama-sama menyatakan bahwa proyek nulir mereka cuma untuk tujuan damai. Padahal soal bom nuklir adalah salah satu penyebab utama dari ketidakakraban kedua negara. Ketika pada 1974 India melakukan percobaan bom nuklir, secara resmi negeri itu menyatakan bahwa itu untuk menandingi Pakistan. Sementara Pakistan sampai sekarang tak mau mengaku memiliki bom pamungkas itu. Dalam konperensi ini, juga disepakati untuk saling menjauhkan latihan-latihan tempur di wilayah perbatasan. Seperti selama ini terjadi, latihan-latihan itu sering kali menjadi pangkal perang sungguhan. Sayangnya, penyelesaian masalah Kashmir belum terpecahkan. Padahal wilayah itulah yang dulu dijadikan salah satu alat bagi Zia untuk menarik simpati rakyat. Menurut Zia, wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam itu adalah wilayah Pakistan. Sebaliknya, pihak India berkeras bahwa Kashmir tetap wilayah India, termasuk wilayah pegunungan Karakorum di Pakistan. Bagaimanapun, pertemuan kali ini bisa diharapkan sebagai titik balik dalam riwayat hubungan politik India-Pakistan. Apalagi Rajiv dan Benazir -- setelah dua kali mengadakan pembicaraan empat mata di sela pertemuan -- tampak selalu akrab. Maka para pengamat menduga bahwa kedua tokoh yang cantik dan ganteng itu sukses dalam menyusun strategi bersama untuk mencapai persahabatan. Toh ada satu pertanyaan yang masih sulit ditebak. Yakni soal kiblat politik. Dengan alasan untuk menghadapi ancaman India dan komunis Afghanistan, selama ini Pakistan menjalin hubungan akrab dengan AS. Sedangkan India -- untuk menandingi kecanggihan mesin-mesin perang Pakistan -- memilih Soviet. Kini India adalah sobat Soviet paling akrab di Asia Selatan. Karena itu, sejak bulan September lalu, India menjadi satu-satunya negara nonkomunis yang punya pesawat tempur mutakhir Mig-29. Sementara Benazir, dalam masa kampanye, berjanji akan meningkatkan hubungan dengan AS. Maka pertanyaan yang masih memuyengkan: seberapa jauh perbedaan kiblat politik itu bisa mempengaruhi kesepakatan persabahatan kedua negara. Mungkin tak ada masalah serius dari pihak Soviet. Mungkin Soviet punya toleransi besar di zaman glasnost ini. Tapi tradisi sikap politik India perlu diperhitungkan. India dikenal selalu berupaya untuk menjadi saudara tua di Asia Selatan -- sehingga merasa wajar kalau ikut campur urusan negara tetangga dan tampil sebagai wakil wilayah itu. Bisakah Benazir menerima, seandainya sikap itu dilakukan oleh Rajiv nanti? Prg
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini