MIMPI buruk kedua anak Prancis itu pun berakhir setelah 13 bulan berada dalam tahanan kelompok Komando Revolusi Fatah pimpinan Abu Nidal. Kamis pekan lalu mereka dibebaskan. Menlu Prancis Roland Dumas menyatakan kegembiraannya dan mengucapkan terima kasih kepada pemimpin Libya Muammar Qhadafi. Muammar Qadhafi? Orang yang dituduh Reagan membangun pabrik senjata kimia? Benar. Dan ini satu isyarat lagi bahwa pemimpin Libya itu tampaknya sedang berubah. Sejak tahun lalu, Qadhafi menunjukkan perangai yang lain. Misalnya, ia membuka persahabatan dengan Italia, dengan negeri Afrika Utara (antara lain Tunisia dan Alajazair), dan menghentikan permusuhannya dengan Chad. Dan bukankah ia tak melakukan pembalasan apa pun setelah dibom oleh AS, April 1986? Maka, tak salah bila pemerintah Prancis sejak terjadinya pembajakan kapal penangkap ikan Silco yang membawa 6 orang dewasa dan dua anak-anak, November 1987 lalu, terus berusaha melakukan pendekatan diplomatiknya dengan pemerintah Libya. Soalnya, dekat setelah pembajakan, sementara pemerintah Prancis tak tahu-menahu nasib ke-8 penumpang Silco, Qadhafi menyatakan bahwa mereka dibajak Abu Nidal. Maka, tak kurang dari bekas Mendagri Prancis Charles Pasqua dan penasihatnya bolak-balik ke Tripoli untuk meminta kesediaan Qhadafi membujuk kelompok Abu Nidal agar membebaskan penumpang Silco. Sang Pemimpin memang punya hubungan baik dengan tokoh yang dicap teroris oleh Barat itu, yang hingga kini masih bermarkas di Benghazi, Libya. Tak jelas diketahui, imbalan yang dijanjikan pihak Prancis. Yang jelas, menurut koran Prancis Liberation, sebelumnya ada pertemuan antara penguasa tinggi militer Libya, Kolonel Younes, dan para perwira tinggi militer Prancis. Isi pertemuan tak diketahui. Baru kemudian terbetik berita dari Tripoli bahwa Prancis tampaknya bersedia membicarakan penjualan senjata dan sekitar seratus helikopter bikinan Prancis yang diminta Libya. Jual-beli senjata kepada Libya inilah yang sejak 1984 dibekukan oleh Prancis, yang tampaknya dijadikan imbalan bagi pembebasan sandera. Sejak 1970 Prancis memang menjadi pemasok senjata nomor satu untuk Libya. Selain itu, pembebasan kedua anak itu bertepatan dengan penyelenggaraan reli motor tahunan Paris-Dakar yang untuk pertama kalinya bakal memasuki wilayah Libya. Yang terakhir ini tentulah menjadi propaganda yang menguntungkan Libya. Memang, kasus penyanderaan penumpang Silco tak lalu berakhir. Kelompok Abu Nidal masih menahan ibu kedua bocah itu, Jacqueline Valente -- sempat melahirkan seorang bayi perempuan bernama Liberte di dalam tahanan -- dan 5 orang lagi. Mereka adalah orang yang berkebangsaan dobel: Prancis-Israel dan Belgia-Israel. Malangnya, satuan kapal laut Al Fatah yang bermarkas di tepi pantai Jalur Gaza mencurigai mereka sebagai mata-mata Israel, karena kefasihan mereka berbahasa Ibrani. Sebenarnya mereka hanyalah orang yang berupaya mencari penghidupan yang lebih layak, yang berniat pindah ke Australia. Jacqueline, ibu kedua anak yang dibebaskan itu, hanyalah seorang pembantu rumah tangga. Fernand Houtekins, pacarnya, cumalah seorang koki di sebuah kota kecil Prancis. Jacqueline pernah dihukum in absentia, karena dituduh membawa kabur kedua putrinya dari suaminya yang sah. Tak jelas, mengapa pembebasan kedua anak sampai makan waktu 13 bulan, dan belum semua sandera dilepaskan. "Saya meminta maaf kepada para keluarga yang masih disandera, karena tak dapat merayakan Natal bersama," kata Muammar Qhadafi. Yang pasti, setelah menginap semalam di sebuah rumah sakit, Marie, 7 tahun, dan Virginie, 6 tahun -- kedua anak yang dibebaskan -- dinyatakan sehat rohani dan jasmani. Mereka menjadi tanda perubahan sikap pemimpin Libya. Sapta Adiguna (Paris) & Didi P. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini