RIBUAN mahasiswa dengan dukungan masyarakat, Minggu pekan lalu, berteriak-teriak dijalanan Kota Taipei. "Kalau militer berkuasa, demokrasi tak bakal datang" -- "Tolak intervensi militer dalam pemerintahan". Bentrokan para demonstran yang tergabung dalam gerakan mahasiswa prodemokrasi dengan polisi antihuru-hara tak terelakkan. Menurut saksi mata, mula-mula seorang pelajar digebuk oleh polisi hingga babak belur di dekat stasiun kereta api. Lalu kerusuhan merambat ke mana-mana hingga di dekat Istana Presiden di pusat kota. Peristiwa itu merupakan reaksi atas keputusan Presiden Lee Teng Hui. Rabu pekan lalu, Presiden menunjuk Menteri Pertahanan Jenderal Hau Pei-tsun sebagai perdana menteri menggantikan Lee Huan. Tindakan Lee Teng Hui -- akan dikukuhkan kembali sebagai presiden 20 Mei mendatang -- sangat mengejutkan masyarakat, khususnya partai oposisi, para mahasiswa, dan orang-orang yang menganut aliran politik liberal. Menurut seorang pengamat, kehadiran Hau merupakan campur tangan militer dalam pemerintahan sipil. Perdebatan sengit pun terjadi dalam badan legislatif: antara partai yang berkuasa, Kuomintang (KMT), dan oposisinya, Partai Progresif Demokratik (DPP). Pihak DPP, yang hanya menduduki 23 kursi dari 269 kursi di parlemen, berhasrat keras menggagalkan nominasi Hau kendati tidak bakal menang. "Tak satu pun dari kami menerima pencalonan itu dan akan berusaha menolaknya dengan dalih apa pun," ujar Lu Hsiu-yi, anggota partai oposisi. Namun, KMT tidak menggubris. Tampaknya Jenderal Hau tetap bakal dilantik menjadi perdana menteri akhir bulan ini meskipun harus menunggu pengesahan dari Legislatif Yuan (DPR). Apalagi Lee Huan dan ketua badan yudikatif, Lin Yang-kang, mendukungnya. Analisa pengamat menunjukkan bahwa Lee memaksakan memilih Hau hanya untuk meredakan persaingan yang kuat di kalangan faksi-faksi Kuomintang. Itu bisa mengancam kedudukan presiden yang tidak mempunyai dukungan militer. "Lee gagal melindungi kekuatan pribadinya karena jeleknya hubungannya dengan partai dan militer," ucap Hu Fu, seorang profesor di Universitas Taiwan yang dekat dengan pemerintah serta dengan oposisi. "Lee mengorbankan proses demokratisasi, dan ini sangat berbahaya karena bisa menimbulkan konflik antara pemerintah dan mahasiswa serta kaum intelektual. Itu bisa menimbulkan kekacauan kelak," tambahnya. "Banyak contoh di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, tempat seorang militer duduk dalam pemerintahan," kata Jenderal Hau, 71 tahun, dalam sebuah wawancara televisi. Pada 40 tahun yang lalu ia mendukung keluarga Chiang dengan kekuatan militer. "Saya akan menjalankan pemerintahan, bukan untuk mendominasinya." Pandangan-pandangan Hau yang dikenal sangat konservatif diduga malah akan menjauhkan golongan pribumi Taiwan yang berjumlah 80 persen. Hau mengungsi ke Taiwan bersama-sama dengan Pemerintah Kuomintang setelah kemenangan komunis di Daratan Cina pada 1949. Ia mengutuk keras gerakan kemerdekaan Taiwan dan berpendirian hari depan Taiwan hanyalah penyatuan kembali dengan Daratan Cina di bawah Kuomintang. Tak mengherankan kalau gelombang demonstrasi yang menolak Hau berkepanjangan. "Kami melakukan aksi protes ini agar segenap lapisan masyarakat Taiwan mengetahui bahwa kami menentang kehadiran militer dalam jajaran kabinet yang baru nanti," ujar Fan Yun, mahasiswa sosiologi pada Universitas Nasional Taiwan (National Chengchi University). Aksi protes ini akan terus berlangsung hingga 20 Mei mendatang. Kecuali jika Pemerintah menarik penunjukan Hau. Tapi itu tampaknya mustahil. Rudy Novrianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini