Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Negeri setan yang dingin

Wapres iran ayatullah mohadjerani mengimbau agar dilangsungkan dialog langsung iran-as.kelompok konservatif mengecam mohadjerani. percaturan politik di dalam negeri jadi penghalang berhubungan dengan as

12 Mei 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENEBAK warna Iran tak semudah menebak Eropa Timur. Di negeri para mullah itu, angin kemenangan bertiup tak menentu. Sebentar berpihak pada pihak moderat, sebentar mendukung kubu konservatif. Lihat saja. Dua pekan lalu di harian Ettelaat, koran yang dekat dengan kubu moderat, Wakil Presiden Iran Ayatullah Mohadjerani mengajukan gagasan berani: mengimbau agar dilangsungkan dialog langsung Iran-AS. Inilah untuk kali pertama sejak revolusi Islam Iran 1979, seorang pemimpin teras Teheran mendesak negosiasi langsung dengan AS, negeri yang oleh almarhum Ayatullah Rohullah Khomeini disebut "negeri setan". Menurut Mohadjerani, dengan negosiasi langsung banyak hal bisa diperoleh. Antara lain pembebasan tawanan Arab di Israel, pembicaraan damai Iran-Irak yang kini mandek, serta rencana pembangunan kembali ekonomi Iran. Kubu garis keras langsung menyambar "makanan empuk" ini. Selang dua hari melalui koran Jomhoori Islami, kelompok konservatif mengecam pedas Mohadjerani. Artikel sang wapres disebut sebagai "obral murah untuk si setan akbar". Badai kecaman dari kelompok garis keras, yang menolak sama sekali rekonsiliasi dengan AS karena dinilai mengkhianati cita-cita revolusi Islam, makin kencang bertiup. Tokoh garis keras Ali Akbar Mohtashemi, bekas menteri dalam negeri, menyatakan rakyat Iran seharusnya tidak memaafkan Mohadjerani, bahkan jika artikel kontroversial itu dicabut. Awal pekan lalu mahasiswa Universitas Teheran turun ke jalan-jalan mengajukan aksi protes dan kecaman. Ada dugaan, Mohadjerani sampai berani mengajukan usul kontroversial itu karena mendapat lampu hijau dari Presiden Ali Akbar Rafsanjani. Selasa pekan lalu, Mohadjerani menyatakan bahwa Rafsanjani menyetujui debat publik atas isu panas itu. Rafsanjani sendiri, yang berulang kali mengimbau dihentikannya krisis sandera dan perlunya hubungan lebih baik dengan Barat, sejauh ini tak memberikan komentar apa pun. Tampaknya, Mohadjerani makin terdesak. Pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei, Rabu pekan lalu, mengeluarkan fatwa terlarangnya hubungan dengan Amerika. "Mereka yang berpikir bahwa kita mesti membuka negosiasi dengan Amerika, kalau tidak berpikiran sempit, pasti pengecut," kata Khamenei, seperti dikutip kantor berita Iran IRNA. Tapi keesokan harinya Khamenei meminta maaf pada Mohadjerani. Khamenei, yang menyebut Mohadjerani sebagai tokoh jujur itu, mengatakan tak berniat menghina wakil presiden tersebut. Sebenarnya artikel Mohadjerani erat berkait dengan masalah pembebasan sandera AS di Libanon. Tiga hari sebelum artikel itu turun, Robert Polhill, salah seorang sandera, dibebaskan. Waktu itu Washington bukannya menyatakan terima kasih pada Iran, melainkan pada Pemerintah Syria. Padahal, Iran berperan besar dalam pembebasan sandera itu. Karena itulah Mohadjerani menurunkan artikelnya. Perlunya negosiasi langsung Iran-AS, kata dia, agar Iran bisa memanen hasil pembebasan para sandera. Agar tidak terulang pengalaman yang merugikan: Teheran yang kerja keras dalam masalah sandera, tapi Damaskus yang mendapat pujian Amerika. Tentu saja bukan kata pujian itu yang diharapkan Iran, melainkan buntutnya: yakni bantuan ekonomi. Soalnya, dengan inflasi mencapai 60% dan tingkat pengangguran membengkak hingga 25%, Iran memerlukan utang luar negeri (dari Barat) US$ 50 milyar. Rafsanjani sadar, tanpa membereskan perkara sandera Barat di Libanon -- Iran dituduh membantu aksi penyanderaan kelompok Syiah militan Libanon -- ia tak bisa mengharapkan bantuan Barat. Sulitnya, parlemen Iran masih didominasi kelompok anti-Amerika. Serangan atas artikel Mohadjerani bisa dijadikan contoh betapa repot posisi kubu moderat. Sikap AS tak cuma mencemaskan Mohadjerani. Seorang pejabat Iran yang dekat dengan Rafsanjani menyatakan kepada koresponden Reuters, "Barat harus menolong Rafsanjani." Kenapa? "Jika ia gagal, demi Tuhan, Anda tahu tokoh macam apa yang bakal mengambil alih kekuasaan," jawabnya. Sebenarnya AS bukannya tak mau berhubungan dengan Iran. Washington menginginkan semua sandera AS dibebaskan lebih dulu tanpa syarat, sebelum dialog langsung dibuka. Presiden AS George Bush mungkin tak ingin tersandung oleh masalah sandera seperti pendahulunya. Sikap "dingin" AS inilah yang membuat kelompok garis keras Iran mendapat angin. Maka, Rafsanjani Kamis pekan lalu merasa perlu mengecam Washington, yang "bersikap seperti anak manja". Tapi benarkah Bush hanya "bersikap dingin"? Perundingan antara pejabat Iran dan AS di Den Haag, Belanda, adalah kenyataan lain lagi. Dalam perundingan itu topik yang dibicarakan soal sengketa keuangan, antara lain hal dibekukannya simpanan uang Iran di bank-bank di AS. Pertemuan yang berakhir Kamis pekan lalu itu tentu bisa digunakan sebagai sarana "pernyataan terima kasih AS atas pembebasan kedua sandera AS". Maka, seorang pengamat Timur Tengah mengatakan percaturan politik di dalam negeri Iran sendirilah yang jadi penghalang Bush. Farida Sendjaja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus