Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mengungkap Dosa Delapan Tahun

Presiden Barack Obama tak pernah berniat mengungkit keburukan pendahulunya. Kontroversi di CIA yang bocor ke publik memaksa presiden kulit hitam Amerika Serikat pertama ini mengambil langkah lain.

20 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semua berawal tatkala Direktur Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA) Leon Panetta, yang baru empat bulan menjabat, membeberkan misi rahasia antiteror kepada Komite Intelijen Kongres, 24 Juni lalu. Menurut dia, atas perintah mantan Wakil Presiden Dick Cheney, badan mata-mata tersebut diminta tidak memberi tahu Kongres soal misi tersebut.

Hampir delapan tahun program antiteror itu berjalan tanpa persetujuan dan sepengetahuan Kongres. ”Ini sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi dan tak akan pernah terjadi lagi,” ucap Senator Dianne Feinstein dari Distrik California kepada Fox News pekan lalu. ”Saya kira ini adalah masalah besar.”

Program antiteror digulirkan setelah terjadi serangan terhadap Washington dan menara kembar World Trade Center di New York pada 11 September 2001. Menurut sumber di CIA, program tersebut tak sepenuhnya berjalan mulus. ”Panetta akhirnya menutup program rahasia ini pada 23 Juni lalu,” katanya.

Dalam program yang tergolong top secret itu, sebuah tim khusus dibentuk. Tugas mereka adalah memburu, menangkap, dan membunuh para petinggi senior jaringan Al-Qaidah, yang dituding Bush sebagai dalang serangan 11 September, meski hingga kini tuduhan tersebut tak pernah terbukti. ”CIA tak pernah mendiskusikan program ini karena sifatnya tertutup,” ujar Paul Gimigliano, juru bicara CIA.

Semasa pemerintahan Bush, program yang menelan dana US$ 1 juta ini sempat tersendat-sendat. Sebagai Direktur CIA pada 2004, George Tenet menghentikan misi ini dengan alasan tak ada petunjuk praktis secara detail pelaksanaan di lapangan. Tapi penerus Tenet melanjutkan program ini.

Porter Goss, yang menggantikan Tenet pada 2005, menghidupkan kembali program antiteror ini. Namun, setahun kemudian, ketika Michael Hayden menduduki jabatan Direktur CIA, misi ini kembali terhenti. Alasannya, memburu petinggi Al-Qaidah tak semudah yang diperkirakan. Lokasi mereka tak pernah terdeteksi secara pasti, termasuk pemimpinnya, Usamah bin Ladin.

Menurut Seymour Hersh, jurnalis investigasi senior New York Times yang mengungkap kasus ini, tim tersebut memiliki kewenangan sangat besar. Mereka bisa masuk dengan leluasa ke berbagai negara tanpa harus membicarakannya dengan duta besar atau kepala CIA setempat. Mereka mencari orang yang ada di dalam daftar tersangka, membunuh, dan membiarkannya begitu saja. ”Itu semua dilakukan dengan alasan demi keamanan nasional,” ucap Hersh.

Masalahnya, Kongres menganggap misi tersebut tergolong sebagai pembunuhan berencana di luar hukum. Cara seperti itu sudah dilarang sejak 1970-an. Namun Peter Hoekstra, Ketua Fraksi Republik di Kongres, mengatakan bahwa seandainya program ini disodorkan kepada Kongres sesaat setelah serangan 11 September, pasti akan disetujui.

David Gergen, pengamat politik senior CNN, mengatakan pemerintah Barack Obama boleh saja menempatkan masalah ini sebagai prioritas di urutan terakhir karena Obama tak mau mengungkit kebijakan yang dibuat pendahulunya. ”Tapi kasus ini sudah berkembang jauh. Saya kira akan ada investigasi dari kubu Demokrat,” ucap Gergen.

Senator John Cornyn dari Texas berpendapat apa yang dilakukan CIA seharusnya atas sepengetahuan Kongres. Ia menduga kasus ini akan dijadikan kubu Demokrat sebagai alasan untuk membela diri atas kinerja yang menurun. ”Mereka akan menggunakan isu ini untuk menyalahkan pemerintah Bush-Cheney atas ambruknya ekonomi,” ucap Cornyn kepada Fox News.

Mencuatnya kasus misi antiteror ini akhirnya melebar ke mana-mana. Jaksa Agung Eric Holder segera menunjuk seorang jaksa penuntut khusus untuk melakukan investigasi atas kebijakan pemerintah Bush dalam menangani tahanan teroris. Selama ini, pemerintah Bush dikecam telah melanggar hak asasi manusia dalam menerapkan teknik interogasi di penjara.

Langkah Jaksa Agung ini tak bisa diintervensi Gedung Putih. Presiden hanya bisa memberikan masukan. Presiden Obama menyadari betul kondisi tersebut. Ketika ditanya apakah ia akan membiarkan Jaksa Agung mengusut tuntas apa yang pernah dilakukan pemerintah Bush, pada dasarnya Obama setuju. ”Itu tugas Jaksa Agung. Dia yang memutuskan.”

Bila Jaksa Agung tetap menjalankan penyelidikan tersebut, ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi Departemen Kehakiman. Presiden Obama, pada awal Februari lalu, pernah mengatakan, ”Tak ada yang kebal hukum. Semua harus menjalani proses pengadilan seperti warga biasa. Tapi saya lebih tertarik melihat ke depan daripada melihat ke belakang.”

Terbongkarnya kasus ini membuat Obama meminta pihak keamanan nasional menyelidiki secara menyeluruh aksi-aksi intelijen kontroversial semasa pemerintahan Bush, termasuk dugaan adanya pembantaian terhadap ratusan tahanan Taliban pada 2001. ”Ini menarik perhatian saya,” kata Obama. ”Yang saya inginkan adalah mereka mengumpulkan bahan. Setelah itu, akan kami pertimbangkan apa yang akan kami lakukan.”

Firman Atmakusuma, Yophiandi (CNN, New York Times, Reuters, The Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus