Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tukar Kepala Dua Rudi

Badan Narkotika Nasional membebaskan tersangka penyelundupan narkotik yang melibatkan Koperasi Bais TNI. Sang "tumbal" malah divonis hukuman mati.

26 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEJA Harsoyo bungah menyambut Tim Pencari Fakta Testimoni Freddy Budiman yang menemuinya di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika Cipinang, Jakarta Timur. "Empat tahun saya menunggu bantuan seperti ini," kata anggota Tim, Effendi Gazali, Kamis pekan lalu, menirukan ucapan Teja, yang ditemui pada medio Agustus lalu.

Kepada Effendi dan kawan-kawan, Teja mengaku hanya menjadi tumbal dalam kasus penyelundupan 1,4 juta butir ekstasi asal Cina oleh jaringan Freddy Budiman. Dari sumber lain, Tim Pencari Fakta pun memperoleh informasi bahwa Teja telah dikorbankan. "Ada dugaan dia disuruh Freddy mengaku jadi Rudi untuk menyelamatkan orang lain," ujar Effendi. "Istilahnya tukar kepala."

Badan Narkotika Nasional menggagalkan penyelundupan 1,4 juta butir ekstasi yang disamarkan dalam kontainer aksesori akuarium pada akhir Mei 2012. Kasus ini menyeret Primer Koperasi Kalta, milik Badan Intelijen Strategis (Bais) Tentara Nasional Indonesia, yang memesan kontainer tersebut. Sersan Mayor Supriadi, anggota Bais yang jadi pengurus koperasi, divonis tujuh tahun penjara.

Kasus ini kembali ramai dibicarakan setelah Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar membuat tulisan berjudul "Cerita Busuk dari Seorang Bandit". Haris menuliskan "pengakuan" Freddy Budiman tentang kerja sama dengan aparat dalam peredaran narkotik. Catatan Haris itu beredar beberapa jam sebelum Freddy ditembak mati pada akhir Juli lalu.

Nah, ketika menelusuri testimoni Freddy itulah Tim Pencari Fakta mendapat informasi tentang skenario mengumpankan Teja. "Orang ini bahkan tak mendapat bantuan hukum yang layak," kata Effendi.

Tim BNN menangkap Teja pada 19 Juli 2012 di Jelambar Hilir, Jakarta Barat. "Saya dituduh memiliki barang tersebut," ujar Teja, seperti ditirukan kawan dekatnya kepada Tempo. Selasa pekan lalu, dua orang dekat Teja menjenguk dia di Cipinang. Tempo menitipkan beberapa pertanyaan kepada mereka.

Teja terseret kasus ini setelah Freddy Budiman meneleponnya pada medio Mei 2012. Freddy meminta Teja menemani Achmadi menyerahkan uang kepada Abdul Syukur. Uang tersebut, kata Teja menirukan Freddy, untuk mengurus impor aksesori akuarium. "Tapi Koh Freddy minta saya memakai nama Rudi dan berdandan seperti bos," ucap Teja.

Teja manut saja. Alasannya, Freddy sudah lama menjadi pelanggan dealer mobil tempat Teja bekerja. Sebelumnya, ia mengaku hanya berurusan dengan Freddy dalam jual-beli mobil. "Tidak pernah terkait narkoba," kata Teja.

Pada 16 Mei 2012, Teja dan Achmadi menemui Abdul di sebuah rumah makan Padang di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kala itu, sesuai dengan arahan Freddy, Teja mengenalkan diri sebagai Rudi. Di sana Achmadi menyerahkan uang Rp 30 juta kepada Abdul untuk mengurus kontainer "aksesori akuarium". Teja mengklaim tugasnya berhenti sampai di situ.

Setelah ditahan BNN, Teja baru tahu ada Rudi lain dalam kasus ini. Di ruang tahanan, ia bertemu dengan seorang lelaki bernama Rudi Suwandi alias Rudi Botak. Penyidik BNN menangkap Direktur PT Tripanca Sakti Utama ini pada 24 Mei 2012, sehari sebelum pembongkaran kontainer ekstasi. Kala itu BNN sudah menetapkan Rudi Botak sebagai tersangka. Namun ia hanya ditahan selama tiga bulan. Rudi bebas sebelum perkaranya masuk persidangan.

Mantan Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Benny Mamoto, yang memimpin pembongkaran kasus "ekstasi akuarium", membenarkan kabar penangkapan Rudi Botak. Namun ia mengaku tak terlalu ingat alasan BNN melepaskan Rudi. "Mungkin tidak cukup bukti," ujar Benny.

Sementara Rudi bebas sebelum sidang, lain lagi ceritanya dengan Teja. Penyidik BNN dan hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Barat selalu menyebut dia sebagai "Rudi" si pemilik ekstasi. Dokumen putusan hakim atas nama terdakwa Supriadi pun menyebutkan Teja sebagai pengedar narkotik di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat.

Putusan itu mengutip percakapan Teja dan Freddy melalui BlackBerry Messenger pada 27 Mei 2012—dua hari setelah penyitaan kontainer ekstasi.

+Teja: Kok ikan? Katanya ubi?
-Freddy: Iya memang ikan. 1,5 juta butir.
+Teja: Aduh, terus gimana tuh kelanjutannya. Padahal semuanya kelihatan mulus.

Teja membenarkan percakapan tersebut. Menurut dia, ikan merujuk pada ekstasi. Sedangkan ubi merupakan kata sandi untuk sabu-sabu. Teja berdalih tahu kontainer itu berisi narkotik setelah melihat berita di media massa. "Saya dulu juga makai, makanya tahu bahasa seperti itu," katanya. Namun Teja mengaku tak tahu ketika ditanya tentang komunikasi "Rudi" dengan Abdul yang menanyakan alamat pengiriman barang. Teja mengatakan ia tak pernah berhubungan lagi dengan Abdul setelah penyerahan uang itu. "Belakangan, saya baru sadar telah jadi umpan," ujar Teja.

Penyidik BNN sempat membidik Rudi Botak karena Tripanca, perusahaan ekspor-impor milik dia, mengikat kerja sama dengan Koperasi Bais TNI. Salah satu klausul kontrak menyebutkan Tripanca bisa menggunakan nama Koperasi Bais untuk mengirim atau mendatangkan barang. Kompensasinya, Koperasi Bais akan mendapat Rp 50 juta per bulan dari Tripanca plus biaya lain-lain sekitar Rp 10 juta.

Perjanjian kerja sama Koperasi Bais dengan Tripanca ini diteken Erwin Syafitri, yang waktu itu menjabat Direktur A Bais TNI. Tempo mengirimkan surat permohonan wawancara kepada Letnan Jenderal Erwin Syafitri, yang kini menjabat Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat, tapi belum dibalas.

Petunjuk tentang Rudi Botak juga datang dari Serma Supriadi. Dari balik Rumah Tahanan Militer Pusat Polisi Militer Angkatan Udara, Supriadi menulis testimoni. Kesaksian dalam beberapa lembar kertas itu antara lain berbunyi, "Pemesanan barang ini sudah jelas siapa karena hanya Primkop Kalta dan Tripanca." Menurut Supriadi, "Rudi Suwandi tahu lebih awal kontainer tersebut disegel." Ada juga catatan, "Hancurlah koperasi terkena ledakan bom karena ulah Tripanca." Di bagian lain, Supriadi menulis, "Rubot (Rudi Botak) sering menghadap orang-orang Bais untuk melancarkan usahanya."

Untuk mengklarifikasi testimoni tersebut, BNN pernah "meminjam" Supriadi dari Rumah Tahanan Militer Puspom pada 20 Juni 2012. Kepada penyidik BNN, Supriadi mengatakan Tripanca memiliki kewenangan penuh menggunakan nama Koperasi Bais. Apalagi, kata dia, Rudi Suwandi memiliki akses dengan beberapa petinggi Bais. "Barang itu datang atas sepengetahuan Rudi Botak," ujar Supriadi kepada penyidik.

Rudi belum bisa dimintai konfirmasi. Ia tak mengangkat telepon ketika beberapa kali dihubungi. Pesan WhatsApp hanya dia baca. Tempo juga menelusuri alamat Tripanca Sakti Utama di Jalan Enggano Nomor 5E, Jakarta Utara. Kantor tersebut sudah berganti nama menjadi PT Erawan Multi Perkasa Abadi. "Tripanca pernah berkantor di sini, tapi sudah lama pindah," kata seorang petugas keamanan.

Kepala Bais TNI sewaktu perkara ekstasi akuarium terungkap, Soleman Ponto, mengatakan pernah mendengar sepak terjang Tripanca dan Rudi Botak. "Tapi saya tak pernah bertemu langsung," tuturnya. Karena itu, Ponto pernah mengusulkan agar Koperasi Bais lepas dari Tripanca. "Agar lebih menguntungkan anggota," ujarnya.

Tersengat testimoni Freddy Budiman yang disebarkan Haris Azhar, Markas Besar TNI membuka ulang berkas pemeriksaan kasus penyelundupan narkotik ini. Beberapa tentara aktif yang pernah berada dekat pusaran kasus ini mulai diperiksa. "Tim kami masih bekerja di lapangan," kata Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Mayor Jenderal Tatang Sulaiman. "Dalam waktu dekat akan kami sampaikan hasilnya."

Adapun Teja Harsoyo sedang menyiapkan berkas untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) atas hukuman mati ke Mahkamah Agung. "Saya dihukum mati karena mengantar Achmadi," ujar Teja. Kepada kawan dekatnya, Teja menuturkan punya amunisi yang akan dia pakai sebagai novum (bukti baru) dalam memohon PK. "Novum" itu antara lain berupa kesaksian tertulis Freddy Budiman sebelum ditembak mati bahwa Teja memang telah "dikorbankan". "Saya berharap mendapat keringanan hukuman," ucap Teja.

Syailendra Persada, Linda Trianita, Abdul Manan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus