Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengenakan kemeja putih lengan panjang dan celana hitam, Thana-thorn Juangroongruangkit, jutawan dan pemimpin Partai Future Forward, keluar dari kantor polisi Pathumwan di Bangkok, Sabtu siang, 6 April lalu. Dia melambaikan tangan kepada ratusan pendukungnya yang berdiri di belakang barikade polisi di depan pengadilan. Sebanyak 620 polisi wanita berjaga di sekitar area itu.
Sambil menggenggam segenggam mawar, Thanathorn berbicara di hadapan pendukung dan sejumlah diplomat. “Saya khawatir karena kasus ini berada di bawah pengadilan militer, bukan pengadilan pidana,” katanya. “Itu sangat meresahkan.”
“Rezim ini menciptakan ketakutan di masyarakat untuk membungkam kami,” dia melanjutkan. “Saya tidak bersalah dan siap menghadapi pengadilan. Saya mendesak semua warga Thailand dan komunitas internasional menyerukan hak-hak sipil dan membela hak asasi manusia untuk perbaikan masyarakat kami.”
Thanathorn dikenai Pasal 116 Undang-Undang Hukum Pidana tentang penghasutan, Pasal 189 tentang membantu tersangka kabur, dan Pasal 125 tentang larangan berkumpul lebih dari sepuluh orang. Jika terbukti bersalah, dia terancam hukuman sembilan setengah tahun penjara. Tuduhan itu mengacu pada kehadiran Thana-thorn dalam unjuk rasa anti-junta militer pada 2015 dan aksinya menyediakan kendaraan bagi para demonstran untuk kabur dari penangkapan. Dia membantah semua tuduhan dan akan memberikan pernyataan tertulis pada pertengahan Mei mendatang.
Thanathorn dan anggota Future Forward lain juga akan berhadapan dengan dakwaan di bawah Undang-Undang Kejahatan Komputer karena menyebarkan informasi palsu. Tuduhan yang juga mereka bantah. Menurut Human Rights Watch, dakwaan Thanathorn karena komentar kritisnya terhadap junta di Facebook Live adalah contoh pembatasan tidak adil atas kebebasan berbicara.
Para diplomat yang hadir itu adalah duta besar dan penjabat duta besar Australia, Belgia, Kanada, Finlandia, Prancis, Jerman, Selandia Baru, Uni Eropa, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat. Kehadiran mereka membuat pemerintah Thailand kebakaran jenggot.
Kementerian Luar Negeri Thailand mengecam keras tindakan para ambasador. Kementerian menuduh mereka mencampuri masalah domestik Negeri Seribu Pagoda dan menunjukkan keberpihakan. Kementerian juga memanggil mereka satu per satu pada Rabu, 10 April lalu. “Tindakan itu menciptakan suatu gambaran yang dapat ditafsirkan sebagai dukungan moral kepada Thanathorn dan keberpihakan dalam konteks politik Thailand saat ini,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri di situs resminya.
Kedutaan Besar Amerika Serikat menyatakan pengiriman wakilnya dalam proses penuntutan hukum adalah praktik diplomatik standar. “Ketertarikan Amerika pada kasus ini, seperti juga pada banyak kasus lain, adalah untuk memantau proses hukum dan mendapat informasi dari tangan pertama tentang penanganan kasus,” tutur Jillian Bonnardeaux, juru bicara kedutaan, seperti dikutip The Nation.
THANATHORN Juangroongruangkit lahir di Bangkok pada 25 November 1978 dari keluarga keturunan Cina-Thailand. Dia adalah Wakil Presiden Thai Summit Group, pabrik suku cadang mobil terbesar di negeri itu, sebelum mendirikan partai. Perusahaan itu milik keluarganya dan kini dipimpin ibunya, Somporn Juangroongruangkit. Keluarga Juangroongruangkit juga pemegang saham terbesar Matichon Publishing Group, konglomerasi media negeri itu. Ketika Thanathorn mulai meniti karier politik dan mundur dari direksi Matichon serta Thai Summit, sang ibu menjual semua sahamnya di Matichon.
Paman Thanathorn, Suriya Juangroongruangkit, juga politikus dan pernah menjabat Menteri Transportasi selama 2002-2005. Suriya kini menjadi salah satu pemimpin Palang Pracharat, partai terbesar pendukung junta.
Thanathorn sebenarnya sudah mulai berpolitik sejak kuliah di teknik mesin Thammasat University. Dia menjadi presiden perhimpunan mahasiswa kampus itu dan kemudian menjabat Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Mahasiswa Thailand.
Sebagai pengusaha dan politikus muda, ia dibandingkan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau oleh sejumlah media. Media Thailand menyebutnya sebagai “jutawan rakyat” karena keterlibatannya dalam berbagai organisasi nonpemerintah yang menyerukan reformasi sosial dan ekonomi. Dia juga berkampanye menuntut hak atas tanah dan kompensasi bagi warga desa yang terkena dampak pembangunan bendungan Pak Mun di Provinsi Ubon Ratchathani. Generasi milenial pendukungnya suka memanggilnya dengan sebutan “Ayah”.
Upaya menyeret Thanathorn ke meja hijau ini diduga hanya taktik junta militer untuk menghentikan Future Forward, partai muda yang menjadi bintang dalam pemilihan umum Maret lalu. Partai politik yang dibentuk Thanathorn pada 2018 itu meraih 18 persen suara dan menduduki posisi ketiga daftar partai dengan suara terbanyak, setelah Palang Pracharat, partai pendukung junta; dan Pheu Thai, partai yang berhubungan dengan mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra.
Posisi Future Forward kini penting karena menjadi partai kunci dalam koalisi Front Demokratik pimpinan Pheu Thai, yang berusaha mencegah Palang Pracharat membentuk pemerintah. Palang Pracharat kini dipimpin Prayut Chan-o-cha, perdana menteri yang ingin kembali berkuasa pada periode berikutnya.
Koalisi Front Demokratik mengklaim sudah memiliki cukup kursi untuk menjadi mayoritas sederhana di majelis rendah parlemen. Tapi undang-undang bentukan junta menggariskan bahwa perdana menteri tak hanya membutuhkan dukungan mayoritas sederhana di majelis rendah, tapi juga di majelis tinggi. Separuh kursi Senat sekarang secara otomatis dipegang orang-orang pilihan junta sehingga Front Demokratik akan sulit menggeser Prayut.
“Thanathorn dan Future Forward mewakili kebangkitan politik pemuda, dan rasa frustrasi atas politik oligarki tampak dari 6 juta orang lebih yang memberikan suara untuk mereka,” kata Prajak Kongkirati, Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan Thammasat University, di Bangkok kepada Bangkok Post. “Mereka menjadi sasaran karena muncul sebagai pengubah permainan.”
Politik Negeri Gajah Putih selama ini didominasi duel perebutan kekuasaan oleh elite militer dan pendukung kerajaan dengan Thaksin dan sekutunya, yang mendapat banyak dukungan di perdesaan. Partai-partai yang berhubungan dengan Thaksin selalu menang dalam setiap pemilihan umum sejak 2001, tapi pemerintahnya selalu digulingkan lewat kudeta atau pengadilan.
Yutthaporn Issarachai, guru besar ilmu politik di Sukhothai Thammathirat University, menilai berbagai dakwaan terhadap Thanathorn sebagai bentuk intimidasi politik. “Dakwaan itu akan berdampak pada statusnya sebagai anggota parlemen dan partainya. Jika terbukti bersalah, dia harus melepas status keanggotaannya di parlemen dan arah politik partainya akan dipertanyakan,” ucap Yutthaporn kepada South China Morning Post.
Tapi pemerintah militer menyatakan tuduhan penghasutan terhadap Thanathorn bukanlah kasus partai politik, melainkan diajukan pejabat hukum junta dalam kapasitas pribadi. “Mereka khawatir akan banyaknya suara yang Future Forward kumpulkan,” tutur Thanathorn. “Tidaklah mengejutkan bila mereka mencari cara untuk menghancurkan kami. Sikap kami tegas akan melawan musuh-musuh demokrasi.”
Winthai Suvaree, juru bicara Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban—nama resmi pemerintah junta militer—mengatakan hal tersebut bukanlah upaya menghancurkan partai mana pun. “Tugas kami adalah menjaga perdamaian dan ketertiban negara,” katanya. “Kami tidak menargetkan atau mencoba merusak siapa pun atau kelompok politik apa pun.”
IWAN KURNIAWAN (BANGKOK POST, THE NATION, SOUTH CHINA MORNING POST, BENAR NEWS)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo