Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Menjelang revolusi sesudah deng

Bila benar politik di cina ditentukan oleh tokoh-tokoh tua, uzurnya apalagi tiadanya deng xiaoping membuka peluang percaturan politik baru. di antara "tujuh pahlawan", masih ada chen yun, penganut politik garis keras. siapkah para pemimpin cina menghadapi zaman pasca- deng, tokoh reformasi yang pekan ini genap 89 tahun ini?

28 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU lomba bertahan hidup sedang berlangsung di Cina. Yakni antara para tokoh angkatan lama yang dihormati sebagai sesepuh. Ini bila sinyalemen para pengamat Cina benar adanya. Yakni, politik di negeri yang tengah berubah warna itu, dari sosialis ke kapitalis gaya Cina, tak ditentukan oleh lembaga-lembaga, tapi oleh tokoh-tokoh berpengaruh dan koneksinya. Dan tokoh berpengaruh di Cina adalah para sesepuh itu. Itulah mengapa tak munculnya Deng Xiaoping sekitar tujuh bulan belakangan ini menjadikan hari ulang tahun ke-89-nya, 22 Agustus kemarin, diperhatian orang. Di Hong Kong tersebar kabar bahwa sang pembawa reformasi itu, menjelang hari ulang tahunnya, jatuh sakit dan dalam keadaan koma. Dicemaskan, di sekitar hari ulang tahunnya sesuatu terjadi pada Deng. Ia muncul terakhir Februari lalu, hanya secara singkat lewat televisi yang melaporkan kunjungannya ke Shanghai. Waktu itu ia diduga sudah sangat lemah, tampak tangannya gemetar, dan harus dipapah. Meski Deng kini, di antara tujuh tokoh tua, boleh dikata berada di depan, tak ada jaminan ''koneksi'' Deng, tokoh-tokoh muda reformis yang ia masukkan ke dalam Politbiro Partai Komunis Cina, bisa tetap bertahan. Memang, komposisi ''tujuh pahlawan itu'', demikian mereka disebut, menguntungkan reformis. Ketika mereka masih berdelapan, komposisi dianggap seimbang. Tapi, Juni tahun lalu, Li Xiananian meninggal dalam usia 83 tahun. Maka, pendukung garis keras tinggal Chen Yun, kini 88 tahun, dan Song Reaqing, 84 tahun. Memang masih ada bekas presiden Yang Shangkun, 86 tahun, dan Wakil Ketua Komite Penasihat Pusat Bo Yibo, 84 tahun, yang dinilai cenderung mendukung Chen Yun. Tapi sebagian pengamat mengatakan, dua orang ini oportunis, mendukung siapa yang sedang di atas angin. Dua sisanya, Peng Zhen, 91 tahun, dan Wang Zhen, 85 tahun, pendukung reformis yang cukup gigih. Jadi, komposisi itu: tiga pendukung reformis, dua penentang, dan dua lainnya tak jelas. Dua yang tak jelas inilah tampaknya yang mesti diperhitungkan bila saja Deng mendahului rekan-rekannya naik ke langit. Sebab, dari enam yang tinggal, sesepuh terkuat adalah Chen Yun, Ketua Komite Penasihat Pusat kira-kira sama dengan DPA di Indonesia. Naiknya wibawa Chen Yun terang bakal memberi angin pada pendukungnya, dan tidak mustahil bakal menyingkirkan para reformis yang sudah dipasang Deng di Politbiro. Dugaan berkiprahnya kelompok Chen Yun ini didukung oleh munculnya foto-foto Perdana Menteri Li Peng di surat-surat kabar Cina, Kamis pekan lalu, di halaman pertama. Tampak Li Peng, pendukung garis keras itu, berkacak pinggang, bertelanjang dada, bertopi, dan berkacamata, berdiri di depan sebuah pantai. Keterangan foto di semua surat kabar sama: foto perdana menteri tertanggal 5 Agustus di Pantai Beidaihe, pantai tempat para eksekutif berlibur. Foto ini dimunculkan seolah membantah berita tentang kesehatannya yang menurun. Sejak menerima kunjungan Perdana Menteri Australia, Paul Keating, 24 Juni lalu, Li Peng memang tak muncul-muncul. Tapi, bersamaan dengan publikasi fotonya itu, dikabarkan Rabu pekan ini ia bakal menemui Perdana Menteri Chuan Leekpai dari Thailand yang datang ke Beijing. Tampaknya, bukan tak ada kesengajaan foto itu dilansir dekat menjelang ulang tahun Deng. Seperti diketahui, Chen Yun berada di belakang Li Peng. Tapi itu hanya sebuah kemungkinan. Para pengamat yang optimistis mengatakan, Cina dengan atau tanpa Deng akan tetap berjalan di rel reformasi. Seandainya terjadi semacam selingan, kekuatan para reformis terganggu, diduga tentara akan ambil bagian dan, buntutnya, kekuasaan akan dikembalikan kepada kelompok reformis. Salah satu alasannya, pada masa reformasi kini, salah satu BUMN yang sangat diuntungkan adalah BUMN militer (lihat Luar Negeri). Apalagi massa tampaknya sudah kadung demam reformasi. Itu dimulai ketika Deng Xiaoping mengunjungi kawasan industri khusus di selatan, Januari 1992. Kunjungan yang mula-mula disabot oleh media massa yang semuanya dikuasai garis keras itu, entah mengapa, beberapa pekan kemudian diberitakan lengkap dengan ucapan Deng, antara lain tentang pentingnya reformasi. Lalu, negeri yang masih suka menghitung waktu dengan patokan peristiwa-peristiwa kunci itu kini tak lagi menyebut masa sebelum atau sesudah long march juga tak lagi dijadikan patokan: apa yang disebut dengan Revolusi Kebudayaan 1966. Kini, di setengah tahun kedua tahun 1993, segala sesuatunya ditandai dengan sebelum atau sesudah ''Deng Xiaoping mengunjungi selatan''. Dan itu bukan sekadar menyesuaikan waktu dengan peristiwa terdekat. ''Deng Xiaoping mengunjungi selatan'' menjadi semacam pintu gerbang perubahan. Sejak itu, orang tak lagi tertarik pada politik dan kekuasaan, tapi berupaya dengan berbagai jalan untuk menjadi kaya. Pembalikan opini masyarakat ini sukses, dan tampilnya kelompok garis keras setelah Peristiwa Tiananmen Juni 1989 tampaknya terganjal. Ini terbukti dalam Kongres Partai, Oktober 1992. Politbito yang terbentuk dari kongres mencerminkan semangat reformasi. Masuknya Zhu Rongji, bekas Wali Kota Shanghai, dalam Komite Tetap Politbiro dipandang sebagai makin kukuhnya reformasi Deng dijaga. Dan sebagai wakil perdana menteri, Zhu Rongji tampaknya bisa mengimbangi dan mungkin malah lebih berperan daripada Perdana Menteri Li Peng sendiri, yang mungkin baru pulih kesehatannya belakangan ini. Lebih meyakinkannya politik reformasi pada masa sesudah ''Deng mengunjungi selatan'', awal bulan lalu Zhu Rongji diangkat pula sebagai gubernur bank sentral. Kini, praktis jalannya birokrasi dan ekonomi di Cina berada di tangan administrator berusia 65 tahun usia yang tergolong muda dalam jajaran para tokoh di Cina itu. Kebijaksanaannya yang pertama menunjukkan betapa cermat pandangan Zhu Rongji: ia meminta agar semua bank di daerah menukar sertifikat berharga milik petani dengan uang tunai. Seperti diketahui, sertifikat itu merupakan pengganti uang tunai dari dana mereka di bank. Dengan cara ini, dana kontannya bisa dimanfaatkan para bankir untuk kegiatan investasi dan spekulasi di bursa saham. Tapi, di sisi lain, ini memacetkan kemampuan belanja masyarakat. Dengan kata lain, penswastaan, sebagai bagian penting dari reformasi, terancam tersendat-sendat. Dikembalikannya uang itu ke petani, ke masyarakat, diharapkan bisa meramaikan lalu lintas uang di usaha swasta dan menjaga proses reformasi selanjutnya. Ini semua boleh dibilang berkat perjuangan satu orang: Deng Xiaoping. Tanpa perjuangan gigih Deng, yang bersedia menebus gagasan reformasi itu dengan nasibnya, tampaknya reformasi Cina belum tentu segemuruh sekarang ini. Karena gagasan-gagasannya mengenai perbaikan ekonomi dan peningkatan taraf hidup rakyat, Deng secara politis selalu dianggap tidak menyenangkan Mao dan menjadi korban Revolusi Kebudayaan 1966. Deng mulai menyemaikan reformasinya. Lelaki yang lahir di tengah keluarga tuan tanah di Paifangchun, kota di Provinsi Sichuan, itu memang lebih akrab dengan kemakmuran daripada penderitaan. Masa kecilnya bahagia. Dari namanya ketika ia kecil, Xiansheng, agaknya orang tuanya berharap anaknya yang ber-shio naga itu kelak menjadi pendeta. Yang terjadi kemudian, Deng memang peka terhadap penderitaan rakyat. Tapi, berbeda dengan Sidharta Gautama pangeran yang melihat penderitaan dan kemudian merasakan empati, lalu mencarikan jalan pemecahannya dengan menghindarkan duniawi Deng melihat penderitaan untuk diatasi. Tampaknya, inilah dasar pribadi Deng yang tak lapuk oleh ideologi Marxisme. Inilah yang membuat suatu saat ia membuat pernyataan yang kemudian sangat populer dan membuat Mao Zedong marah: ''Tidaklah penting apakah kucing itu berwarna hitam atau putih. Sejauh kucing itu mampu menangkap tikus, itulah kucing yang baik.'' Maka, ketika Cina mengalami ancaman kelaparan pada awal 1960-an, bersama Presiden Liu Saoqi yang berpandangan sama, Deng sebagai Sekjen Partai Komunis tak ragu membeli enam juta ton gandum dari pasar internasional. Konsekuensinya, sejumlah proyek terpaksa diciutkan anggarannya, bahkan sejumlah yang lain ditunda, apalagi yang dianggapnya ''tak mungkin dilaksanakan dan merugikan irigasi''. Bagi Deng, ''komunisme bukanlah kemelaratan''. Bila masa kecil menentukan sikap seseorang, tampaknya Deng ingin melihat seluruh rakyat Cina bahagia sebagaimana dirinya di Paifangchun. Mungkin di sinilah sebenarnya kekuatan reformasi Cina sekarang ini, dan sekaligus kelemahannya, yakni ketergantungannya pada Deng. Kini, masalahnya, adakah pendukung reformasi Cina sekuat Deng? Atau, seberapa dalam Deng menularkan semangat reformasinya itu kepada para pendukungnya hingga mereka bisa melawan para penghalang reformasi? Pada masa Deng, lawan itu berat. Mao, dengan kekuasaan dan karismanya, bagaikan dewa yang tak bisa dibantah. Tembok ''politik sebagai panglima'' sangatlah kukuh. Dan Deng pun terbentur ke tembok. Maka, ketika pergolakan politik di Beijing memuncak dalam Revolusi Kebudayaan, para Pengawal Merah (di bawah pengaruh Jiang Qing), tahun 19661967, menghujat Deng dan Liu Saoqi. Deng ditahan, dilucuti semua jabatannya, tapi ini konon berkat sobatnya, Perdana Menteri Zhou Enlai, yang pernah belajar bersama di Paris ia tak dipecat dari keanggotaan Partai. Kemudian, Zhou Enlai pula yang melobi Mao Zedong untuk merehabilitasi Deng. Menurut ahli Cina, Harrison E. Salisbury, dalam bukunya, The New Emperors (1992), Zhou ingin menyelamatkan Deng karena ia melihat tokoh ini sangat diperlukan oleh Negara Cina. Dan yang mungkin menjadi alasan utama, Zhou menemukan kawan untuk melawan komplotan Jiang Qing dan Mao. Tapi bagaimana Zhou membujuk Mao agar tak menghabisi Deng, tak jelas. Bisa jadi Mao pun, tulis Salisbury, tak ingin Deng habis. Mao hanya ingin menghukum kekerasan kepala Deng yang, sebagaimana umumnya orang Sichuan, suka berterus terang dan berlidah tajam. Mao tak memperlakukan Deng sebagaimana ia menjatuhkan vonis terhadap Liu Saoqi. Mana pun yang benar, hukuman bagi Deng sangat berat. Karena siksaan Pengawal Merah, anaknya, Deng Pufang, ketika itu berusia 25 tahun, mahasiswa jurusan fisika yang brilian, lumpuh seumur hidup. Dalam masa-masa perawatan Deng Pufang itulah, ketika keluarga Deng menjalani pengasingan di Nanchang, sekali lagi tercermin pribadi Deng yang bukan semata manusia ideologi. Hampir setiap hari ia mengurut kaki dan punggung anaknya. Bila tak banyak orang melihat segi ini dalam diri Deng Xiaoping, itu tak mengherankan. Bahkan, Deng Pufang baru saat itu menyadari bahwa bapaknya bukan hanya mesin partai, tapi juga seorang manusia yang peka terhadap penderitaan. Tahun 1973 Deng kembali ke Beijing. Tahun 1974 Zhou Enlai meninggal. Deng, sebagai wakil perdana menteri, mulai melakukan reformasi politik secara tertutup, tanpa banyak bicara: ia lakukan itu dalam Tentara Pembebasan Rakyat. Singkat kata, begitu Mao meninggal, September 1976, terbukalah jalan bagi Deng maju ke depan, dan melakukan keputusan politik: reformasi ekonomi. Bila kemudian reformasi itu menggelinding dan menyebabkan dunia tercengang, salah satu sebabnya adalah si pengendali itu bisa dikatakan identik dengan reformasi itu sendiri. Deng dan reformasinya adalah satu. Dari sebuah negeri yang pernah dijuluki sebagai planet mati, Cina diperkirakan pada awal abad ke-21 nanti akan menjadi raksasa ekonomi. Para pengamat ekonomi menilai, pendapatan perkapita Cina menurut Bang Dunia, US$ 370, itu dalam kenyataannya bisa dua kali, bahkan tiga kali. Kemakmuran, yang pada tahun 1980-an hanya dinikmati kawasan pesisir, terutama daerah Kawasan Ekonomi Khusus, belakangan sudah menjalar ke pelbagai pelosok negeri. Para pejabat Bank Dunia bahkan optimistis, pada tahun 2020 nanti Cina secara ekonomi bakal melampaui Jepang atau AS. Reformasi secara kongkret sudah menjadi keputusan Kongres XIV Partai Komunis Cina, Oktober 1992. Keputusan itu menegaskan diberlakukannya tatanan ekonomi pasar. Memang, dalam teks pernyataan itu, kata ''ekonomi pasar'' masih ditambahi dengan kata ''sosialistis'' di belakangnya. Hanya, sebagaimana telah dikutip bahwa Deng mengatakan ''kapitalisme bukan monopoli Barat'', imbuhan ''sosialistis'' itu boleh dianggap sekadar menunjukkan bahwa itu keputusan Partai Komunis yang mungkin tinggal namanya saja komunis, setidaknya bukan lagi komunis pada awal kemenangan revolusi Mao tahun 1949. Deng memang sangat berbeda dengan Mao Zedong. Mao mempelajari sosialisme lebih banyak dari perpustakaan. Deng dan Zhou Enlai memahami sosialisme, teori dan praktek, dari lahan yang tampaknya lebih terbuka, yakni Perancis. Betapapun reformisnya Deng, ia manusia biasa yang hidup dalam negara sosialis dengan segala baik-buruknya. Ditambah pada masa mudanya ia tak pernah memberontak, dan mungkin karena itu ia pun tak suka diberontak. Akhir tahun 1970-an ia mendirikan Dinding Demokrasi untuk menampung segala unek-unek warga Cina, termasuk kritik terhadap pemerintah. Pelan-pelan kritik-kritik yang tertempel di situ pun menyerang Deng. Rupanya, telinga Deng pun merah. Ketika ia berkunjung ke AS, Februari 1979, ia mengeluarkan perintah menangkapi para pemrotes. Akhir tahun 1979, Dinding Demokrasi tiada lagi. Sepuluh tahun kemudian sisi gelap Deng itu muncul lagi, ketika terjadi demonstrasi mahasiswa di Tiananmen, awal Juni 1989. Denglah yang memerintahkan tentara bergerak. Orang yang peka terhadap penderitaan itu pun punya sisi gelap bisa jadi ini terbentuk pada masa revolusi. Ketika para tuan tanah sudah ditahan, Deng memerintahkan mereka dihukum mati. Alasannya sederhana, agar harta mereka bisa dibagikan kepada kaum tani. Sikap itulah mungkin yang muncul kembali ketika Deng harus menghadapi demonstrasi mahasiswa pro-demokrasi. Deng tak ingin mengorbankan reformasinya, yang baginya demi kepentingan rakyat banyak. Maka, demonstrasi Tiananmen diselesaikan dengan peluru dan tank. Tapi itu baru sebuah analisa dari sebuah jarak. Mungkin, seperti apa Deng sebenarnya bisa terbaca dalam biografi, rencananya dua jilid, yang ditulis oleh anak bungsunya, Deng Rong, kini 43 tahun. Buku itu disebut-sebuat sebagai buku pertama yang mengungkapkan dengan terus terang tokoh politik Cina biasanya disembunyikan. Tapi seberapa berterus terangkah Deng Rong dalam buku yang edisi Inggrisnya baru beredar bulan depan itu? Dalam dunia yang berubah kini, komunisme runtuh di Eropa, Cina adalah satu-satunya negeri komunis yang bertahan dan berkembang. Betapapun kelompok garis keras mempengaruhi reformasi, Cina tak bakal kembali ke masa Mao. Kalau toh terjadi pergeseran, mungkin hanya kecepatan reformasi yang diperlambat. Cita-cita Deng sendiri tak pernah padam, untuk melihat Cina yang kaya dan makmur. Dua tahun lalu ia menyimpan harapan: ''ingin melihat saat-saat penting penyatuan Hong Kong ke pangkuan Cina kembali, tahun 1997 nanti, kendati hanya dari kursi roda''. Mohamad Cholid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus