Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Wajah dan beban sang naga baru

Belum tampak tokoh sekharismatik untuk menggantikan deng xiaoping. masalah baru, di samping persoalan bagaimana melanjutkan reformasi, mulai muncul. dari soal kriminalitas sampai politik.

28 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIM panen tahun ini bakal merupakan petikan terakhir di sawah yang diolah Deng Dayao, seorang petani di Distrik Yangchun, kawasan pantai Provinsi Guangdong. Lahan sepetak yang diolah keluarga Deng dalam beberapa generasi itu akan dijadikan tempat pembangunan kompleks vila. Untuk itu Deng, 48 tahun, telah memperoleh ganti rugi pemerintah setempat sebanyak 20 ribu yuan (sekitar Rp 7 juta). Deng memang tidak sendiri karena lahan untuk proyek vila mewah tersebut akan melahap sawah-sawah yang dikelola banyak rekannya. Beberapa pekan silam, sembari memandangi teman-temannya menuai padi, Deng tampak masygul, lalu ia meludah dan berkata, ''Partai Komunis tidak adil.'' Sebenarnya proyek pengembangan properti seperti vila di Yangchun itu merupakan salah satu dari yang terkena penundaan (pembatalan) sesuai dengan program pengetatan anggaran yang digariskan oleh Gubernur Bank Sentral Zhu Rongji. Tapi tampaknya proyek milik Bank Pembangunan Rakyat Cina cabang setempat itu akan tetap diteruskan, setelah mengalami sedikit penyesuaian. Para birokrat lokal tampaknya tak akan menggubris regulasi dari Beijing. ''Kalau proyek ini dihentikan, kami malah tak bisa mengembalikan pinjaman ke bank,'' kata mereka. Harapan mereka, vila itu akan disewakan kepada para turis asing atau kalangan bisnis yang ke Guangdong. Hasil reportase Julia Leung dan Kathy Chen dari koran Asian Wall Street Journal itu merupakan salah satu kasus betapa Partai Komunis Cina dan pejabat Pemerintah Pusat sudah makin tidak digubris oleh pejabat di daerah-daerah. ''Mengikuti aturan Partai adalah penderitaan,'' kata Lei Dabei, 56 tahun, seorang warga di daerah itu. Kecenderungan pengingkaran Partai dan segala aturan dari Beijing sebenarnya sudah merasuk ke pelbagai daerah. Pemerintah Beijing sendiri sejak Juli 1992 sudah mengeluarkan deregulasi bahwa para BUMN di daerah sudah makin bebas untuk memutuskan sendiri dalam banyak hal, dari menggalang kerja sama ekspor dengan pihak luar sampai ke investasi baru. Beleid itu sebenarnya didasari pada kepentingan agar mereka tidak kehilangan kesempatan emas, mengikuti gerak pertumbuhan kegiatan bisnis dalam suasana ekonomi pasar. Para pejabat lokal menjadi tak mau kalah gaya dengan kalangan wiraswasta, petantang-petenteng keliling kota sembari telepon sana-sini dengan telepon genggam atau telepon mobil. Di Yangchun, kota kecil berpenduduk 200.000 orang, 400 orang yang memiliki telepon mobil dan 4.000 orang menggunakan radio panggil (pager). Mayoritas dari pemakai itu adalah para pegawai pemerintah dan kader Partai lokal, yang kantornya saling berdekatan dalam satu kawasan. Sejak reformasi ekonomi menyentuh segala sektor industri dan kemakmuran terhidang di depan mata untuk direbut, ideologi para kader adalah hedonisme. Marxisme, Leninisme, dan Maoisme kemudian mereka anggap sebagai beban saja karena tidak bisa memberikan jawaban atas kegelisahan mereka untuk menikmati kemajuan yang dirintis oleh Deng Xiaoping. Maka dari itu, daripada membiarkan mereka untuk terlibat dalam manipulasi dan korupsi, para pengambil keputusan di Beijing akhir tahun 1992 mengeluarkan aturan baru. Yaitu bahwa para birokrat dan kader Partai dibolehkan bergiat sebagai wiraswasta sembari tetap mempertahankan posisi resminya di pemerintahan. Ada pula yang malah memilih keluar. Seperti dilakukan oleh Bo Xicheng, anak Boyibo, salah seorang veteran Long March atau pendiri RRC. Bo muda semula memimpin badan pariwisata pemerintah di Beijing. Setelah ada aturan baru itu, ia justru memilih menjadi wiraswasta yang bergerak di bidang industri pariwisata. Soal modal tentu tidak jadi masalah baginya. Sebab, bagi yang jabatannya tidak setinggi Bo dan bukan anak tokoh pun tidak akan mengalami kesulitan. Lazimnya, birokrat yang memulai bisnis akan mengadakan pesta peresmian atas usahanya. Undangannya, selain diberikan kepada para rekannya sesama pejabat, juga dibagikan kepada barisan pengusaha yang bidang bisnisnya berkaitan dengan departemen tempat si pejabat-pengusaha itu bernaung. Dan, menurut hasil investigasi belum lama ini oleh Obrolan Dwimingguan, salah satu majalah milik pemerintah, pada undangan kepada kalangan bisnis itu ada aba-aba bahwa pengundang tidak bersedia menerima kado, tapi di pojoknya ada nomor rekening milik si pengundang. Ini artinya, setiap wiraswasta yang datang dipersilakan membawa cek atau langsung mentransfer dana ke rekening itu. Kabarnya, setiap cek bisa berisi 100.000 yuan sampai 200.000 yuan (sekitar Rp 70 juta). Buntut dari konsep pemerataan kemakmuran itu adalah munculnya pemujaan terhadap Deng, yang dianggap sebagai dewa penyelamat bangsa. Kendati Deng sejak dulu menolak adanya kultus individu, sekarang ia menjadi tak berdaya menghentikannya. Slogan-slogan yang muncul antara lain berbunyi, ''Deng telah menunjukkan jalan kepada kita'' dan ''Persenjatai Partai dengan teori-teori Deng.'' Bayang-bayang Deng lalu seperti ada di mana-mana. Deng sebagai pendatang kekayaan, bukan Deng sebagai tokoh Partai. Dan sesungguhnya Partai makin kehilangan getarnya. Jumlah anggota memang dikabarkan meningkat, ada tambahan sebanyak dua juta orang tahun lalu, hingga total sekarang jumlah anggota Partai Komunis Cina 52 juta. Permohonan untuk bergabung mencapai 12,8 juta atau meningkat 20% dibandingkan dengan tahun 1991. Sementara itu, Liga Komunis Muda, dengan jumlah anggota 56 juta orang, tampaknya tetap sebagai organisasi pemuda dengan anggota terbanyak di dunia. Tapi ada gejala, niat menjadi anggota Partai sekarang ini lebih banyak didasari pada kebutuhan mencari payung, supaya lebih lancar mencari nafkah. Para anggota liga pemuda itu mayoritas berasal dari pedalaman, bukan lagi didominasi kelompok-kelompok terpelajar dari kota karena yang disebutkan terakhir itu belakangan lebih tertarik mengikuti kursus peningkatan karier ketimbang mendekam dalam rapat-rapat indoktrinasi. Apa pun kondisinya, Partai sebagai satu-satunya alternatif pemersatu bangsa akan tetap menjadi penentu warna dan arah pemerintahan. Sebagaimana layaknya partai-partai monolitik yang menguasai pemerintahan di negara-negara Asia lainnya kecuali di Jepang, yang baru saja berubah. Hanya pola geraknya saja yang berubah seiring dengan kebijaksanaan reformasi. Dan sejak Kongres Partai Oktober tahun lalu, tampaknya reformasi menjadi pegangan resmi. Penentuan para tokoh pemegang kunci, di Politbiro dan Komite Sentral, sebagai hasil Kongres itu misalnya, komposisinya memberikan kepastian bahwa reformasi tetap jalan tanpa harus mengorbankan ikatan lama dalam Partai. Pendek kata, komposisi itu merupakan hasil kompromi, sekaligus untuk membuktikan kepada dunia luar bahwa Partai tetap utuh kendati di antara mereka masih ada yang bersikap kaku mempertahankan pola lama dan kurang semangat menjalankan reformasi. Misalnya, yang paling menonjol, adalah Perdana Menteri Li Peng sendiri. Mungkin karena itu, peran Li Peng sebagai perdana menteri belakangan ini dikurangi. Sebagian porsi pekerjaannya sudah dipercayakan oleh Deng kepada Zhu Rongji, sang wakil. Tapi Li Peng, 65 tahun, tetap dipertahankan kedudukannya dalam Politbiro untuk, mungkin, mencegah terjadinya ''guncangan'' di tubuh Partai itu sendiri. Kini Politbiro beranggotakan 22 orang itu memang bisa dikatakan bernapaskan reformasi. Memang kelompok reformis tidak mayoritas, tapi mereka menjadi kuat oleh dukungan yang disebut-sebut sebagai kelompok moderat. Dan kelompok moderat itu cukup penting mengingat tokoh-tokohnya. Antara lain, Qiao Shi, 68 tahun, kepala intelijen yang dikabarkan tidak setuju atas pembantaian mahasiswa di Tiananmen Juni 1989. Atau Li Ruihuan, 58 tahun, bekas wali kota Tianjin yang sangat anti-pembangkangan dalam Partai, tapi ia pendukung setia reformasi ekonomi. Jika mereka bisa menggalang persatuan dalam mengelola negara, antara kelompok reformis dan moderat, stabilitas Cina akan terjaga, dan tak mustahil negeri luas dan besar ini bakal menjadi kekuatan terbesar di Asia Pasifik. Di samping karena perkembangan di dalam negeri, Cina juga memperoleh dukungan modal dari para keturunan Tionghoa yang sukses di negara lain. Terutama dari kawasan Asia. Para pengusaha dari Hong Kong dan Taiwan sudah sejak tahu 1980-an masuk Cina Daratan. Kemudian belakangan ini disusul dengan para konglomerat dari Singapura, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Dari Malaysia, misalnya, yang masuk ke sana ada kelompok usaha Robert Kuok, yang mengembangkan bisnis properti di Shanghai dan Beijing serta sudah membangun enam Hotel Shangrila di Cina. Lalu Grup Berjaya, milik Vincent Tan, yang memperoleh hak pengelolaan lotere di Guangzhou. Dari Indonesia, yang paling kelihatan adalah Liem Sioe Liong (dari pabrik sepatu sampai properti), Eka Tjipta Widjaja (di bidang perbankan dan melalui anaknya, Oei Hong Leong, telah membeli sedikitnya 40 BUMN RRC), dan Mochtar Riady, yang menggarap infrastruktur (pembangkit listrik dan pelabuhan) dan kawasan industri. Nilai investasi mereka mencapai miliaran dolar, didukung oleh jaringan lembaga keuangan internasional milik mereka juga dan mitra usahanya. Pada tingkat perkembangan sekarang, bagi negara-negara di Asia Pasifik, Cina tidak hanya memberikan tawaran kesempatan untuk pengembangan bisnis. Tapi bisa juga merupakan ancaman ekonomi dan politik. ''Dalam dua atau tiga dasawarsa ke depan, Cina akan menjadi kekuatan besar dalam segala dimensinya. Itu jika reformasi masih terus berjalan dan kesatuan politik tetap terjaga,'' kata Robert A. Scalapino, sinolog kondang dari Universitas Berkeley California, dalam konferensi internasional ''Indonesia, Asia Pacific, and A New World Order'' di Bali, 8-10 Agustus lalu. Yang mungkin bisa menimbulkan ketegangan, peningkatan modal akibat reformasi telah memungkinkan Cina meningkatkan kekuatan militernya. Di samping melakukan bisnis persenjataan besar-besaran ke Irak, Iran, maupun Pakistan, di dalam negeri Tentara Pembebasan Rakyat juga membuat dirinya sangat efisien personel dikurangi, tapi persenjataan dipermodern. Bahkan ada kabar, dalam beberapa tahun mendatang ini sepanjang pesisir Cina akan dijaga oleh kapal-kapal baru dengan persenjataan lebih ampuh. Suatu perkembangan yang mesti diantisipasi negara-negara tetangga, terutama. Itulah gambaran Cina yang bakal dikelola oleh, tampaknya, pendukung-pendukung Deng Xiaoping. Problemnya, di antara mereka belum tampak ada yang memiliki prestasi dan karisma seperti Deng. Tapi bila dicari-cari, generasi baru pemimpin Cina yang bakal berkembang tampaknya itu adalah Zhu Rongji. Tokoh muda itu kini punya akses pada politik dan ekonomi sebagai wakil perdana menteri dan gubernur bank sentral. Jika ia berhasil menyelamatkan reformasi, perkembangan ekonomi tak menjadi kacau, ia masih punya satu tantangan: sanggupkah Zhu membuat kompromi dengan para pendekar tua yang juga punya pengaruh pada orang-orang muda. Lebih dari itu, para penguasa baru itu pun harus mengatasi kritik-kritik yang kini tentunya sedang tumbuh, yang bisa jadi muncul setelah Deng tiada. Kritik yang muncul karena kesadaran baru akibat reformasi. Editorial surat kabar Asian Wall Street Journal, edisi Jumat pekan lalu, mendaftar kritik-kritik itu. Antara lain soal kebebasan berbicara. Misalnya kebebasan mahasiswa memperingati peristiwa 4 Juni 1989, ketika tentara membubarkan demonstrasi mahasiswa dengan peluru. Soal mulai terasanya kaya-miskin, dan maraknya kriminalitas. Soal mengelola semangat ingin otonomi, bahkan mungkin merdeka, yang kabarnya mulai hidup di provinsi-provinsi. Kabarnya, bagi warga provinsi, politik adalah politik lokal, Beijing silakan beracara sendiri. Sebuah karikatur melukiskan bagaimana pejabat di daerah menanggapi telepon dari Beijing. ''Katakan saja saya sedang tugas di luar kantor,'' kata pejabat yang sedang main catur itu kepada pegawainya yang menerima telepon. Dan, sampai pada masalah Tibet misalnya, yang oleh dunia luar Cina dianggap menindas gerakan minta otonomi di sana, hingga Dalai Lama berada di pengasingan, di India. Juga perlunya menimbulkan citra bahwa Cina bukanlah ancaman bagi tetangga dekat maupun jauhnya. Itulah, terutama soal provinsi-provinsi, masalah khas negara yang begitu luas, yang terdiri dari berbagai etnis yang berbeda-beda budayanya. Tampaknya tugas para penguasa sesudah Deng tak lebih ringan. MC

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus