Politik adalah urusan yang sangat membingungkan dan pelik di kawasan Timur Tengah.
Bayangkan, ketika negara Barat menuduh Presiden Saddam Hussein memerintah dengan tangan besi, rakyat Irak tetap memujanya. Berkali-kali Amerika berusaha mendongkel Saddam lewat gerakan oposisi Irak, tapi selalu gagal. Justru ketika Amerika dan sekutunya meratakan beberapa kota di Irak dengan rudal, rakyat Irak berdiri di belakang Saddam. Begitu juga halnya Presiden Hafez al-Assad. Rakyat Suriah menghadiahkan suara 99,99 persen kepada pria berusia 63 tahun yang setiap saat terancam serangan jantung ini, dalam sebuah referendum Kamis dua pekan lalu. Di seluruh penjuru Suriah, rakyat menari-nari dan berteriak kegirangan menyambut kemenangan Assad.
Ini merupakan kemenangan kelima selama 35 tahun sejak ia mengambil kekuasaan lewat kudeta militer tak berdarah pada 1971. Assad menggalang kekuasaannya lewat Front Nasional Progresif yang terdiri dari Partai Baath dan empat kelompok di luar Partai Baath. Ia berhasil menyusun konstitusi yang permanen untuk mengukuhkan otoritas kepresidenannya. Meskipun demikian, rezim Assad bukannya tak mengalami ketegangan politik yang bersumber dari perbedaan yang bersifat sektarian antara mayoritas Muslim Suni dengan minoritas sekte Shiah Alawi. Mayoritas Sunni menginginkan Islam dicantumkan sebagai agama negara dalam konstitusi, dan menentang pengakuan terhadap sekte Alawi sebagai muslim. Assad sendiri adalah penganut sekte Alawi. Oposisi garis keras Sunni kemudian membentuk kelompok Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim) yang selalu bentrok dengan militer. Tahun 1982, militer menyerbu kota Hammah untuk menumpas pembangkang Ikhwanul Muslimin. Diperkirakan 10 ribu hingga 25 ribu orang tewas. "Ini merupakan pembantaian terbesar dalam sejarah Suriah di bawah Presiden Assad," ujar Riza Sihbudi, pengamat Timur Tengah dari LIPI.
Selain kelompok garis keras Sunni, Assad juga menghadapi oposisi dari kaum intelektual dan profesional yang lebih moderat. Mereka menuntut kebebasan pers, kebebasan berpolitik, pemberlakuan undang-undang sipil untuk mengakhiri keadaan darurat, dan pemilu yang bebas. Namun, tetap saja Assad memberangusnya. Untuk itu, rezim Assad memiliki Direktorat Keamanan Nasional yang mengandalkan 25 ribu aparat intelijen. Laporan Amnesti Internasional menyebutkan, Suriah memiliki sejumlah jaringan pasukan keamanan terdiri dari cabang, sel tahanan, dan pusat interogasi yang langsung bertanggung jawab kepada Assad.
Sebagian negara Arab modern bersumber dari gerakan nasionalis Arab yang berpusat di Mesir, lewat figur Gamal Abdul Nasser. Gerakan ini mewujudkan bentuknya berupa Federasi Republik-Republik Arab, yang terdiri dari Suriah, Mesir, dan Libia, pada April 1971. Kelompok nasionalis Arab ini merupakan gerakan sekuler yang sebenarnya tak mendasarkan diri pada sentimen agama. Mereka memimpikan Pan Arabisme, persatuan dunia Arab di bawah bendera sosialisme yang terdiri dari perwira militer muda revolusioner yang sangat bernafsu menggulingkan penguasa monarki Arab.
Gamal Abdul Nasser masih berpangkat Letnan Kolonel ketika menggulingkan Raja Faruk pada 1952. Muammar Khadafi di Libia bersama klik perwira muda menggulingkan Raja Idris pada 1969. Bahkan setelah Khadafi mengendalikan kekuasaan dari balik tenda, ia mengobarkan elemen revolusioner di masing-masing negara Arab yang masih berbentuk kerajaan. Penguasa monarki Arab Saudi dan para Emir di kawasan Teluk sangat khawatir dengan sepak terjang Khadafi. Tak mengherankan kalau kemudian banyak tuntutan demokrasi justru mulai diakomodasi para penguasa monarki ini untuk menjaga stabilitas politik.
Meski negara-negara Arab berbentuk republik itu melahirkan lembaga demokratis?semacam parlemen dan sistem banyak partai?tapi parlemen dibuat mandul dan oposisi dibungkam dengan represi politik dan militer. "Assad, Saddam, dan Khadafi menggunakan mesin kekuasaan berupa dinas intelijen yang begitu menakutkan dan efektif," kata Riza. Sistem pemilihan presiden pun berupa referendum yang hanya menyediakan dua pilihan terhadap calon tunggal: ya atau tidak. Bukan hal yang luar biasa jika setiap kali referendum, Assad atau Saddam mendapat dukungan di atas 90 persen.
Ironisnya, penguasa Arab modern itu justru mengadopsi model suksesi monarki?musuh bebuyutan mereka. Ketika usia mereka saat ini rata-rata di atas 60 tahun, mereka diduga akan mewariskan kekuasaan ke putra masing-masing: Assad kepada Bashar, Saddam kepada Uday, Khadafi kepada Muhammad. Nasib demokrasi di negara modern Arab sangat tergantung pada para suksesor yang umumnya anak mereka sendiri. Memang, mereka memiliki basis pendidikan Barat. Namun, menurut Riza, karena kekuasaan yang diterima tidak berasal dari proses demokrasi, para penerus itu cenderung juga akan menjadi otoriter untuk mempertahankan kekuasaan.
R. Fadjri, Ahmad Fuadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini