MASYARAKAT negeri ini katanya sedang sakit. Gejalanya, kabar burung berseliweran di mana-mana. Setidaknya dua kali sudah gelombang desas-desus mengguncang negeri ini (dalam skala lebih kecil, tak terhitung lagi jumlahnya). Pertama, pada sekitar acara tujuh belasan, Agustus tahun lalu, dan kemudian pada akhir Januari kemarin, katanya bakal meledak huru-hara besar, melebihi kerusuhan Mei. Kenyataannya, namanya juga isu, ya, tidak ada kejadian apa pun. Belum cukup, sekarang santer lagi rumor soal skenario perang saudara sekitar Mei-Juni, yang akan menggagalkan pemilu dan meluluhlantakkan Republik.
Sesakit itukah bangsa ini dengan mempercayai semua desas-desus yang beredar? Syukurlah, menurut jajak pendapat TEMPO, ternyata keadaan belum separah itu. Memang, mayoritas warga mengaku pernah mendengar dua isu kerusuhan itu, tapi mereka meragukan kebenarannya, bahkan melihatnya tak lebih sebagai isapan jempol. Yang menaruh rasa percaya—apalagi sampai berkemas-kemas mengungsi, misalnya—amat sedikit, tak sampai sepersepuluhnya.
Kalangan ini melihatnya secara rasional. Setiap kali isu berembus, setiap kali pula tak terbukti kebenarannya. Fakta memang menunjukkan, berbagai kerusuhan yang sudah terjadi tak pernah didahului "pemberitahuan". Ia meledak begitu saja, sering kali cuma dipicu kejadian yang sebenarnya berlangsung sehari-hari, semacam minta duit palak. Bagi yang mempercayainya, rentetan amuk massa yang sudah terjadi sebelumnya merupakan penyebab utama keyakinan mereka atas kebenaran isu itu.
Ada satu pola menarik. Ternyata ada keseragaman dalam urutan alasan percaya maupun tidak-percaya publik terhadap kesahihan suatu kabar burung. Faktor yang paling menentukan adalah persepsi atau pengalaman publik sendiri atas "fakta lapangan". Berikutnya adalah kredibilitas pemerintah dan militer, lalu pemberitaan di media massa, dan terakhir kewibawaan tokoh masyarakat.
Mengenai asal muasalnya, sebagian besar mendengarnya melalui sas-sus dari mulut ke mulut kalangan terdekat, seperti keluarga atau teman, atau media massa yang menempati posisi nomor dua sebagai "biang isu". Artinya, publik mendasarkan dirinya pada sumber informasi yang mereka kenal dan punya identitas yang jelas. Sementara itu, kategori "tidak jelas sumbernya" dan internet (identitas sumber sering tidak bisa dipertanggungjawabkan, misalnya pada kasus e-mail pemerkosaan "Vivian") tidak banyak dipilih.
Namun untuk mengecek kebenarannya, mereka menoleh ke pemuka masyarakat, pemerintah, dan ABRI. Kalangan terdekat, yang menjadi "biang isu" utama, ternyata bukan pilihan untuk konfirmasi. Dari informasi ini jelas terselip harapan agar para tokoh dan pejabat negara selalu sigap menjernihkan situasi keruh akibat menyebarnya desas-desus. Cuma, sayangnya, selama ini mereka justru sering tidak tanggap, dan baru angkat suara ketika isu telah menggelembung, hampir-hampir menjadi suatu "realitas" yang siap meledak. Atau, kalaupun ada, tanggapan itu berupa pernyataan yang saling bertabrakan, sehingga bikin bingung dan malah menciptakan isu baru.
Lalu, setelah berkali-kali tak terbukti kebenarannya, bagaimana pendapat publik jika kemudian mendengar isu serupa? Pendapat mereka kebanyakan masih bersikap mendua atau ragu-ragu, suatu sikap yang masuk akal, mengingat kegamangan mereka atas kemampuan para pemimpin negeri ini dalam menanggulangi berbagai amuk massa. Juga, mungkin karena ini Tahun Kelinci, yang katanya ibarat "air yang tenang tapi bisa menghanyutkan."
Karaniya Dharmasaputra
INFO GRAFISPengalaman soal desas-desus kerusuhan? | Mendengar tapi meragukan kebenarannya | 42% | Mendengar dan tidak percaya | 36% | Tidak mendengar | 12% | Mendengar dan percaya | 8% | Mendengar, percaya, dan mengantisipasi | 12% | | Yang dipercaya untuk konfirmasi? | Tokoh masyarakat | 55% | Pemerintah/ABRI | 51% | Media massa | 40% | Kalangan terdekat | 19% | Internet | 10% | | Setelah dua kali tidak terbukti, bagaimana terhadap isu lain? | Ragu-ragu atas kebenarannya | 56% | Tidak percaya | 35% | Percaya | 8% | Percaya dan mengantisipasi | 1% | | Tidak percaya, karena: *) | Tidak pernah benar-benar terjadi | 83% | Pemerintah/ABRI masih bisa menanggulangi | 38% | Menurut pemberitaan, tidak ada kerusuhan | 36% | Masih ada tokoh yang mampu mencegah | 25% | | Percaya, karena: *) | Sudah ada berbagai kerusuhan | 61% | Pemerintah/ABRI tidak bisa menanggulangi | 40% | Menurut pemberitaan, akan ada kerusuhan | 32% | Tidak ada tokoh yang mampu mencegah | 21% | | Dari mana mendengarnya? *) | Kalangan terdekat | 73% | Media Massa | 46% | Tidak jelas sumbernya | 32% | Internet | 9% | *) Responden dapat memilih lebih dari satu jawaban | |
Metodologi jajak pendapat ini:
Penelitian ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 503 responden di lima wilayah DKI pada 2-9 Februari 1999. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling
error) diperkirakan 5 persen.
Penarikan sampel dilakukan dengan metode random bertingkat (multistages sampling) dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi antara wawancara tatap muka dan melalui telepon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini