MANUSIA memang kejam, demikian agaknya kesimpulan yang bisa diambil setelah menyaksikan berbagai jenis hewan milik Chandra Gunawan Hendarto yang ditangkar di Sawangan, Bogor. Demi untuk mendapatkan binatang-binatang cacat, pengusaha yang menernakkan satwa langka itu secara rutin melakukan kawin silang di antara hewan peliharaannya. Sebagai obyek kawin silang, hewan-hewan itu sama sekali tak berdaya. Sebabnya, tak lain, karena sebagai makhluk hidup pun, tidak ada ketentuan hukum yang melindungi mereka.
Jadi, Chandra Gunawan pun bebas mengembangkan usahanya, yang seratus persen bertopang pada selera aneh manusia yang tergila-gila pada hewan cacat. Lebih gila lagi, orang-orang ini bersedia membayar mahal. Adapun hewan cacat yang dibesarkan di penangkaran milik Chandra adalah satwa yang kulit dan bulunya lebih terang daripada binatang sejenisnya. Tak beda dengan manusia, mereka disebut hewan albino. Binatang tanpa pigmen ini bisa saja terlahir dari perkawinan yang alami, tapi jumlahnya amat sedikit. Lantaran itulah, hewan albino diperebutkan oleh kolektor satwa langka dan dijadikan primadona dalam dunia hiburan. Maskot yang sering dibawa-bawa ilusionis kondang David Copperfield, misalnya, adalah seekor harimau belang putih.
Tak jelas, berapa banyak Copperfield membayar untuk mendapatkan harimau putih itu, tapi harga hewan albino memang tak kalah dengan harga barang antik. Seekor kera buntut panjang (Macaque fascicularis) yang berwarna keemasan atau putih dengan mata merah, misalnya, bisa laku sampai US$ 10 ribu atau Rp 90 juta, dengan patokan kurs akhir Februari ini. Sedangkan ular piton (Python reticulatus) putih, sampai US$ 30 ribu. Bandingkan dengan kera abu-abu kehitaman, yang paling banter dihargai Rp 100 ribu, atau piton hitam yang cuma US$ 100. Seorang pengusaha Jepang dan Hong Kong bahkan berani memborong kera bule milik Chandra--semuanya delapan ekor--seharga US$ 200 ribu atau Rp 1,8 miliar.
Pasar satwa albino bukanlah cerita baru, terutama di Eropa dan Amerika. Peluang itulah yang diintip Chandra. Begitu pula rekannya, Hendra Kusnadi, di Kebonjeruk, Jakarta. Chandra, yang telah lama menekuni dunia jual beli reptil dan pernah memopulerkan iguana ini, sejak tahun 1990-an mulai merintis penangkaran satwa bule. Kini koleksinya mencapai 30-an ekor dari pelbagai jenis: tarsius, kera, kukang, musang, landak, penyu, jalak bali, kakak tua, gagak, biawak, sampai katak.
Saat ini Chandra tengah mempersiapkan sejumlah "upacara perkawinan" untuk hewan peliharaannya. Dari situ ia mengharapkan lahir anak bule--sebuah sifat resesif (tidak dominan). Sejauh ini proyeknya baru menghasilkan seekor tarsius albino, hasil dari kawin silang sepasang jenis bule dan normal. Bagian tersulit adalah mendapatkan bibitnya, dan mencarikan lawan jenisnya yang cocok. Adapun makanan dan pemeliharaannya tak jauh beda dengan satwa normal, kecuali mereka harus diberi pelindung agar tak kena matahari langsung. Untuk biaya operasional bulanan, ia harus merogoh kocek sampai Rp 8 juta.
Chandra sangat memahami bahwa bisnis yang digelutinya itu tidak langsung bisa dipetik hasilnya. Perlu kesabaran dan investasi jangka panjang. "Paling cepat lima sampai tujuh tahun lagi baru kelihatan hasilnya," tutur "peternak" ini. Soalnya, satu-satunya cara pembiakan adalah dengan kawin silang alamiah, sesuai dengan hukum Mendel. Kawin silang melalui rekayasa genetik--dengan teknologi atau obat-obatan--cuma menghasilkan "bule aspal" yang disebut mutan. Hasilnya, kulit hewan itu jadi lebih terang, tapi paling lama tahan lima bulan. Setelah itu, kembali lagi ke warna aslinya. Kalaupun terus dipaksakan, pencernaan hewan itu bisa rusak dan umurnya pendek. Selain itu, keunikan pada struktur indera, seperti warna mata dan hidung yang merah, tidak akan muncul.
Seperti disebutkan pada awal tulisan ini, tidak ada perlindungan hukum bagi hewan-hewan albino itu. Jual beli binatang cacat itu pun tidak melanggar hukum. Masalahnya sederhana saja: tak ada sebuah hukum pun yang mengaturnya. Menurut Direktur Bina Kawasan Suaka Alam dan Konservasi Flora dan Fauna PHPA, Heru Basuki, kepada Hendriko Wiremmer dari TEMPO, mereka cuma mengacu ke Peraturan Pemerintah No. 9/1989, yang mengatur satwa langka secara umum. Hukumnya: jual beli di tingkat F2 (keturunan setingkat cucu) halal. Yang diharamkan, F1 (anak) ke atas. Tampaknya, dalam hal perikebinatangan ini perangkat hukum di zaman Republik masih kalah dibandingkan dengan perangkat hukum masa penjajahan Belanda. Waktu itu, mengangkut ayam potong secara terbalik--kepala ke bawah, kaki ke atas--bisa dikenai denda beberapa gulden. Denda juga dikenakan kalau mengangkut hewan potong bertumpuk dan berdesak-desak di dalam truk--seperti yang sering kita lihat di sepanjang jalur pantai utara Jawa.
Karaniya Dharmasaputra, Hani Pudjiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini