Perhitungan Kohl membangunkan ekonomi Jerman Timur meleset. KANSELIR Helmut Kohl semakin terpojok. Setelah mendapat lemparan telur busuk dalam kunjungannya ke bekas Jerman Timur, sekarang ia tertohok di kandang sendiri. Partai Kristen Demokrat, partai Kohl yang sudah 44 tahun menguasai negara bagian Rhineland-Palatinate, keok dalam pemilu Senin pekan lalu. Memang, ini baru pemilihan lokal dan mestinya cuma berita kecil. Tetapi ternyata dampaknya luar biasa. Begitu berita kekalahan Kohl ini tersebar, pasar uang dunia mulai panik. Kurs Deusche Mark langsung melorot. Pekan lalu kurs mata uang Jerman bersatu ini tercatat 1,75 terhadap dolar Amerika. Jika dibandingkan dengan kurs 11 Maret lalu, DM sudah anjlok sampai 22 persen. Celakanya, bank sentral Jerman sendiri tak berani mematok, sampai seberapa jauh kurs akan melorot. Semua orang tahu, biang keladi kelesuan ekonomi ini adalah penggabungan Jerman Barat dan Timur yang dipelopori Kohl. Dari segi politik mungkin ini sukses besar. Namun, untuk ekonomi, ini cerita muram. Bayangkan, sebelum digabung, Jerman Timur ibarat si cebol jika dibandingkan dengan sang raksasa Jerman Barat. Produk domestik bruto Jerman Timur semester kedua 1990 lalu, hanya 105,3 milyar mark, atau tak sampai sepersepuluh dari yang dihasilkan di Barat. Persisnya, cuma 8,3 persen. Ketimpangan yang parah ini membuat sebagian politikus mulai patah arang. Di Jerman, sekarang mulai muncul kata baru dan semakin populer, mezzogiorno. Maksudnya, bekas wilayah Timur tak akan tumbuh menjadi kekuatan ekonomi yang kuat. Subsidi akan terus membanjir, dan wilayah ini akan menjadi lubang tanpa dasar yang terus menyedot uang para pembayar pajak. Bisnis tak akan ada yang berhasil kecuali mafia. Situasi ini mirip dengan apa yang terjadi di Italia Selatan, mezzogiorno yang sebenarnya. Kekhawatiran terjadi mezzogiorno di Timur bukannya tanpa alasan. Bahkan sumbernya datang dari memo intern Departemen Keuangan Jerman yang dibocorkan oleh majalah Der Spiegel. Arus dana yang mengalir dari Barat ke Timur setelah penyatuan sangat deras. Sampai kapan, belumlah jelas jawabnya. Tahun ini, misalnya, dana yang dihibahkan ke Timur oleh Bank Sentral Jerman mencapai Rp 150 trilyun, hampir tiga kali lipat APBN Indonesia. Diperkirakan, kalau mau berhasil, dana sebesar itu harus terus mengalir selama lima tahun berturut-turut. Tapi tak ada jaminan bahwa cara ini akan berhasil. Tokoh yang sangat dihormati di Jerman, bekas Menteri Ekonomi Karl Schiller, menilai banjir dana ke Timur ini sebagai penghamburan uang. "Lebih banyak merangsang orang Timur untuk menjadi boros," tutur ekonom yang semasa menjadi menteri dijuluki superminister ini. Kalau mau aman, katanya, seharusnya Barat lebih mengalirkan uang untuk investasi di bidang manufaktur. Usul ini tak digubris pemerintah Bonn, yang lebih mempercayakan investasi baru kepada pihak swasta. Dan ternyata swasta tak terlalu bergairah. Dari 8.000 industri yang hendak diswastakan, baru 1.000 yang diminati pemodal. Begitupun Kohl tetap optimistis bahwa bekas wilayah Timur akan menggeliat bangun. "Bekas Jerman Timur akan menjadi kekuatan ekonomi yang mandiri," katanya yakin. Salah satu upayanya adalah memindahkan ibu kota dari Bonn ke Berlin. Diperkirakan, dengan menjadikan Berlin sebagai pusat kegiatan, ia bisa menjadi lokomotif ekonomi. Tapi pagi-pagi sudah ada penentang. Menteri Keuangan Theo Waigel mengingatkan, "Pemindahan itu butuh uang tak sedikit, dan saya sekarang sedang tak punya uang." Nampaknya masih lama untuk memetik untung Jerman bersatu itu. YH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini