Menlu Baker mengadakan perjalanan keliling untuk perdamaian di Timur Tengah. Ia menghadapi oposisi kuat di Arab dan Israel. UPAYA Presiden George Bush mengusahakan perdamaian di Timur Tengah ternyata tak main-main. Selama minggu lalu Menteri Luar Negeri James Baker boleh dikatakan tidur di pesawat untuk mengupayakan perdamaian tersebut: dari Washington terbang ke Timur Tengah, lalu Moskow, dan kemudian balik lagi ke Timur Tengah. Kesibukan itu terputus karena Baker ketika berada di Israel, Sabtu pekan lampau, mendapat kabar bahwa ibunya meninggal, dan ia pun segera kembali ke Washington. Tak kurang dari enam negara dikunjungi Baker dengan jadwal perjalanan yang ketat itu. Mula-mula ia bertemu dengan Raja Hussein di Amman, lalu dengan Presiden Husni Mubarak di Kairo, setelah itu terbang ke Arab Saudi, Kuwait, Suriah, Uni Soviet dan terakhir Israel. Ada kesan kuat perjalanan Baker, sekalipun sudah ketiga kalinya, masih saja dalam tahap penjajakan. Beberapa "bocoran" dari rangkaian pertemuan Baker mengungkapkan adanya reaksi beraneka ragam dari kepala negara yang dikunjunginya. Di Riyadh, misalnya, Baker mendapatkan para pemimpin Saudi tak begitu antusias berpartisipasi dalam konperensi perdamaian Arab-Israel yang dirancang Amerika, walau secara prinsip mereka mendukung usaha itu. "Kami tak punya masalah khusus dengan Israel, kecuali soal pendudukan wilayah-wilayah Arab," kata seorang juru bicara pemerintahan Raja Fahd. Padahal, Amerika menginginkan agar Saudi aktif dalam konperensi itu, dan memegang peranan penting sebagai pihak paling moderat di kalangan negara-negara Arab. Sikap Saudi yang ogah-ogahan itu mungkin punya maksud ganda. Di satu pihak mereka tak mau dicap sebagai "boneka Amerika", sedangkan di pihak lain itu menunjukkan kesediaannya mengakui eksistensi Israel. Sikap mendua Saudi itu barangkali akibat sikap Palestina yang terang-terangan pro-Saddam Hussein ketika Perang Teluk berkecamuk, dan juga ungkapan terima kasih kepada Israel karena tak tergoda terjun ke dalam konflik ketika Irak menyerang mereka dengan rudal Scud. Sikap mendukung penuh dan positif juga disampaikan Yordania dan Mesir. Beda dengan Presiden Hafez Assad. Dalam konperensi pers yang diadakan bersama Menlu Suriah Farouk Shara di Damaskus, Rabu pekan lalu, terungkap bahwa pembicaraan empat mata Baker-Assad selama sepuluh jam pada hari sebelumnya tak banyak menghasilkan hal-hal kongkret. Assad bersikeras agar PBB memegang peranan penting dalam konperensi yang direncanakan itu. Ia juga menuntut agar pertemuan tersebut bukan sekadar seremonial belaka. Assad menambahkan, sebelum pertemuan besar antara Arab dan Israel diadakan, semua pihak yang terlibat, termasuk Israel, harus merujuk kepada kegagalan-kegagalan resolusi PBB mengenai Timur Tengah di masa lalu. Ia juga menuntut agar konperensi itu merupakan badan tetap bagi pembicaraan langsung Arab-Israel. Wakil-wakil PLO yang ditemui Baker di Yerusalem berpendirian sama dengan Assad. Ketika Baker mengadakan pendekatan dengan para pemimpin Arab dalam upaya menjembatani krisis Timur Tengah, tiba-tiba terdengar kabar bahwa pemerintahan Perdana Menteri Yitzak Shamir memberi lampu hijau pendirian permukiman Yahudi yang kedua di Tepi Barat. Maka, dalam konperensi pers bersama di Damaskus, Baker mengatakan, "Saya terpaksa mengatakan kepada Anda sekalian, kami sangat kecewa dengan adanya permukiman baru itu." Menlu Shara mencoba memanfaatkan itu, dengan mengatakan apa yang diucapkan Baker tersebut memperkuat bukti bahwa "kesukaran dan halangan masih saja terletak pada Israel". Ucapan itu hampir saja mengubah keadaan sedikit panas karena ketika akan bangkit dari kursinya untuk mengakhiri jumpa pers itu, Baker berujar, "Oh, yang saya maksudkan sama sekali bukan itu." Di Kislovodsk, Kaukasia, Baker bertemu dengan Menteri Luar Negeri Soviet Alexander Bessmertnykh. Ternyata, prakarsa Baker dengan mudah didukung Soviet yang sedang "sakit". Gorbachev sedang menghadapi kesulitan ekonomi dan politik di dalam negeri dan memerlukan bantuan Amerika. Malah Soviet pun memenuhi syarat yang diajukan Amerika: ia akan dilibatkan dalam proses pencarian perdamaian di Timur Tengah, asal mau menormalisasikan hubungan dengan Israel. Itu akan segera terlaksana, dan Bessmertnykh akan segera berkunjung ke Yerusalem. Namun, Israel tetap saja macam-macam. Mereka tetap tak bersedia melepaskan tanah-tanah Arab yang diduduki sebagai syarat adanya perdamaian di bawah prinsip "wilayah untuk perdamaian". Israel juga menolak peran dominan PBB karena berarti mereka harus tunduk pada resolusi-resolusi badan dunia itu. Walau dihadang berbagai kesulitan, Bush dan Baker tetap optimistis mengenai perdamaian di Timur Tengah. Jumat pekan silam, setelah berbicara lewat telepon dengan Baker, Bush mengatakan, "Walau kesukaran masih tetap ada, tak ada alasan untuk pesimistis. Usaha Baker telah memperoleh kemajuan." Kabar terakhir mengatakan, Israel mulai sedikit lunak dengan kesediaannya hadir dalam setiap pertemuan seperti dituntut Suriah, yang menghendaki pertemuan tersebut jadi wadah konsultasi tetap. Asal saja itu, sebagaimana syarat Yerusalem, akan menelurkan hasil positif. Namun, beberapa kritikus politik mengatakan, jalan yang harus ditempuh Amerika masih jauh. Penulis Leslie H. Gelb dalam artikelnya di International Herald Tribune, baru-baru ini, mengatakan bahwa Baker adalah orang yang tak cocok dengan tugas penjajakan itu. Menurut Gelb, paling cocok untuk tugas itu adalah Bush. Alasannya? Figur Bush "sangat ditakuti di Israel dan sangat dihormati di Arab". A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini