Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI-HARI ini bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaannya yang ke-55. Meskipun berulang setiap tahun, peringatan kali ini terasa berbeda ketimbang yang dulu-dulu. Begitu banyak persoalan kebangsaan yang muncul secara bersamaan belakangan ini, terutama masalah ekonomi, hukum, dan politik.
Beberapa indikator dengan jelas menunjukkan betapa perekonomian Indonesia dalam sembilan bulan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tak membaik, setidaknya di mata ekonom seperti M. Ikhsan dari Fakultas Ekonomi UI dan Umar Juoro dari Cides. Harga dolar, misalnya, dalam beberapa bulan terakhir tetap mahal, bertengger di kisaran Rp 8.500-9.200—terburuk dalam 18 bulan terakhir. Indeks bursa Jakarta juga turun sampai di titik 400-500. Selain itu, peran pemerintah memajukan perekonomian sangat kecil. Dalam istilah Ikhsan, tanpa ada pemerintahan pun, sebetulnya roda perekonomian sudah bisa jalan sendiri.
Semua itu menunjukkan bahwa kepercayaan pelaku ekonomi dan masyarakat terhadap pemerintahan Abdurrahman merosot tajam. Ini diperkuat oleh hasil survei yang dilakukan Danareksa. Menurut survei itu, indeks kepercayaan publik terhadap pemerintahan ini, dari 68,5 pada Desember 1999, tinggal 58,8 pada Juni lalu.
Di mata Kepala Riset Nomura Securities, Goei Siauw Hong, menurunnya kepercayaan investor dan pelaku pasar terjadi sejak Presiden mencopot dua menterinya, Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla, pada akhir April 2000.
Bagaimana responden jajak pendapat TEMPO menyikapi situasi perekonomian tersebut? Responden di lima kota besar (Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, dan Makassar) punya indikator sendiri—yang lebih sederhana—untuk mengukur baik-buruknya perekonomian, yakni kondisi keuangan rumah tangga mereka. Menurut sebagian besar peserta jajak pendapat ini, kondisi itu sama saja dibandingkan dengan tahun lalu.
Di mata responden, isu-isu ekonomi yang dianggap penting hingga akhir tahun ini masih sama dengan apa yang mereka hadapi sekarang. Begitu pula masalah gejolak nilai tukar uang dan harga barang, krisis energi/bahan bakar, krisis pangan, serta ketergantungan terhadap utang luar negeri dan kemampuan membayarnya, yang tetap merisaukan responden.
Melihat semua persoalan itu, optimisme responden tampaknya tidak terlalu tinggi. Jumlah responden yang menganggap penanganan pengangguran akan sama saja pada masa datang kurang-lebih sama dengan mereka yang menilai penanganan pengangguran bakal lebih baik. Sebagai ilustrasi, saat ini terdapat 36 juta penganggur di Indonesia. Dari angka itu, 26 juta di antaranya penganggur semu atau seminggu bekerja kurang dari 40 jam dan 10 juta orang penganggur penuh. Ini bisa diartikan sebagai keraguan publik terhadap kemampuan pemerintah mengelola orang tanpa pekerjaan.
Begitu juga halnya dengan masalah gaji buruh dan pegawai negeri sipil, kemampuan memberantas KKN, serta kemampuan membayar utang luar negeri. Rasio antara responden yang optimistis dan pesimistis imbang. Responden juga tidak semuanya yakin bahwa daya beli masyarakat akan lebih baik dibandingkan dengan sekarang. Maklum, saat ini saja pendapatan per kapita Indonesia turun dari sekitar US$ 1.000, pada masa sebelum krisis, menjadi tinggal US$ 600.
Secara khusus, mayoritas responden menyebut gejolak nilai tukar uang dan harga barang, krisis energi/bahan bakar, tingkat pengangguran, dan ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri bakal memburuk di masa depan. Pendapat ini tampaknya dipengaruhi oleh kasus raibnya bahan bakar minyak (BBM) bulan lalu yang sempat membuat orang terpaksa antre di beberapa kota besar.
Kalaupun responden layak optimistis, itu karena beberapa faktor, di antaranya kekayaan sumber daya alam Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang merambat naik, dan kondisi politik yang diharapkan mendingin. Kerusuhan yang mereda juga ditunjuk responden sebagai pendorong optimisme. Asumsi mereka, ekonomi akan membaik bila tak ada lagi orang bertikai.
Di sektor hukum, responden sangat prihatin. Mereka melihat tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum lebih buruk dibandingkan dengan tahun lalu. Pendapat ini sangat wajar mengingat contohnya begitu kentara. Salah satunya adalah kemunculan semacam budaya kekerasan di masyarakat. Hukum tidak lagi menjadi pilihan untuk menyelesaikan persoalan kejahatan. Sebagai gantinya, massa memilih main hakim sendiri, misalnya dengan mengeroyok atau membakar pelaku tindak kriminal. Sepanjang tahun ini saja, di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) tercatat tak kurang dari 42 orang tewas akibat pengeroyokan dan pembakaran—sesuatu yang jarang, setidaknya satu atau dua tahun lalu.
Contoh lain adalah berlarut-larutnya kasus korupsi besar seperti yang terjadi di Bank Bali, Bulog, dan belakangan di lingkungan tentara. Daftar ini semakin panjang bila kasus hukum yang berbau politis ditambahkan, misalnya korupsi Soeharto, penembakan mahasiswa Trisakti, dan kerusuhan 27 Juli.
Tak aneh bila responden menyatakan bahwa isu hukum yang tetap aktual dan penting sampai akhir tahun ini antara lain soal KKN oleh sisa-sisa Orde Baru, mafia peradilan, dan hamba hukum yang korup.
Untunglah belakangan ini ada organisasi swadaya semacam Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Government Watch (Gowa) yang rajin mengontrol kinerja lembaga hukum, pers yang independen dan terbuka, mahkamah dan jaksa agung yang makin berani, serta komisi semacam Ombudsman. Kepada merekalah responden meletakkan optimisme perbaikan sektor hukum Indonesia di masa depan.
Di khazanah politik dalam negeri, responden melihat ada beberapa hal akan menjadi isu penting sampai akhir tahun: konflik horizontal di berbagai daerah, sistem pemilihan presiden langsung, otonomi daerah, dan lain-lain.
Namun, publik optimistis persoalan politik itu bakal terselesaikan. Menurut responden, optimisme itu berasal dari tegaknya supremasi hukum, adanya proses belajar berdemokrasi, DPR yang kuat dan independen, dan juga pers yang berperan sebagai alat kontrol.
Pendapat responden agaknya cukup masuk akal. Secara perlahan tapi pasti, memang ada beberapa elemen dasar tatanan politik yang mulai berubah. Sifat monolitis yang antara lain ditandai oleh sistem kuasi-partai-tunggal (Golkar), organisasi partai tunggal, dan asas tunggal Pancasila, umpamanya, digusur jauh-jauh. Sifat pluralistis makin dilirik. Tanda-tandanya bisa dilihat dari adanya kecenderungan multipartai, multiorgani-sasi, serta terjaminnya kebebasan memakai asas dan keinginan yang lebih besar untuk memperteguh identitas.
Sistem sentralisasi, semua diurus pusat, kini juga lebih ter-desentralisasi. Pusat berfungsi sebagai fasilitator dan daerah diberi otonomi lebih besar. Etatisme, semua diurus negara, perlahan ditinggalkan. Otoritarianisme, kekuasaan di tangan seseorang tanpa kontrol, dipreteli—memungkinkan terjadinya mekanisme check and balance.
Nah, demi terpenuhinya semua optimisme di atas, dan karena kinerja pemerintahan juga tidak bagus-bagus amat, responden berpendapat Presiden Abdurrahman Wahid sebaiknya diganti saja. Adapun orang yang paling difavoritkan untuk menggantikannya adalah—siapa lagi kalau bukan—Megawati Sukarnoputri.
Wicaksono
Faktor apa saja yang membuat Anda layak optimistis terhadap kondisi perekonomian Indonesia? | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Kekayaan sumber daya alam | 51%Kerusuhan mereda | 41% | Pertumbuhan ekonomi membaik | 41% | Situasi politik mendingin | 37% | Tingginya kualitas sumber daya manusia | 29% | Laju inflasi terkendali | 17% | Cadangan devisa masih mencukupi | 16% | Penegakan hukum | 0,2% | Pendapatan dari pajak meningkat | 0,1% | Adanya pemimpin yang dipercayai rakyat | 0,1% | Stabilitas keamanan lebih terjamin | 0,1% | Responden boleh memberikan lebih dari satu jawaban | | Apakah hal-hal yang disebut di bawah ini tetap menjadi isu hukum yang penting sampai akhir tahun ini? | Kasus KKN sisa Orde Baru | 49% | Rendahnya kepatuhan masyarakat kepada hukum | 37% | KKN di kalangan penegak hukum | 37% | Hukum berpihak kepada penguasa | 32% | Kedudukan yang tidak sama di muka hukum | 26% | Mafia peradilan | 15% | Lembaga peradilan yang tidak mandiri | 13% | Masalah narkoba | 0,5% | Kasus tanah | 0,2% | Aparat hukum kurang tegas dalam kasus KKN | 0,2% | Pelanggaran hak asasi manusia | 0,1% | Pemilihan Ketua Mahkamah Agung | 0,1% | Tidak ada jaminan keamanan | 0,1% | | Faktor apa saja yang membuat Anda layak optimistis terhadap kondisi penegakan hukum di Indonesia? | Kualitas penegak hukum membaik | 47% | Ada lembaga resmi (Komisi Antikorupsi, Ombudsman) yang berfungsi sebagai alat kontrol | 43% | Pers yang independen sebagai alat kontrol | 37% | Ada lembaga swadaya (ICW, Gowa) yang berfungsi sebagai pengontrol | 36% | Mahkamah Agung makin independen | 29% | Jaksa Agung makin independen | 0,4% | Sisa-sisa Orde Baru sudah terbasmi | 0,1% | Mutasi pejabat pengadilan tinggi | 0,1% | Responden boleh memberikan lebih dari satu jawaban | | Apakah hal-hal yang disebut di bawah ini tetap menjadi isu ekonomi yang penting sampai akhir tahun ini? | Gejolak nilai tukar dan harga barang | 48% | Tingginya tingkat pengangguran | 43% | Kemampuan pemerintah dalam memberantas KKN | 36% | Krisis energi/bahan bakar | 22% | Ketergantungan terhadap utang luar negeri | 21% | Rendahnya daya beli masyarakat | 21% | Rendahnya gaji buruh dan pegawai negeri | 18% | Krisis pangan | 17% | Kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola ekonomi | 11% | Kemampuan membayar utang luar negeri | 11% | Kemampuan mengelola sumber daya alam | 7% | Kemampuan bersaing dalam era perdagangan global | 5% | Tingginya biaya pendidikan | 0,2% | Krisis moneter | 0,2% | Aset negara sudah jadi milik pihak asing | 0,2% | Devisa negara berkurang | 0,2% | Pihak asing tidak mau berinvestasi di Indonesia | 0,2% | Responden boleh memberikan lebih dari satu jawaban | | Apakah hal-hal yang tersebut di bawah ini masih menjadi isu politik sampai akhir tahun ini? | Konflik horizontal di pelbagai daerah | 46% | Pemilihan presiden langsung | 43% | Otonomi daerah | 34% | Demokratisasi | 25% | Kemerdekaan pers | 19% | Bentuk negara kesatuan | 15% | Amendemen UUD 1945 | 13% | Sidang Tahunan MPR | 0,5% | Akan digantinya Gus Dur sebagai presiden | 0,3% | Kebijakan pemerintah yang tak konsisten | 0,2% | Kasus KKN Orde Baru | 0,2% | Daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia | 0,15% | Banyaknya provokator di tengah masyarakat | 0,1% | Gus Dur tak tegas/plin-plan | 0,1% | Perseteruan antara Gus Dur dan Amien Rais | 0,1% | Responden boleh memberikan lebih dari satu jawaban | | Faktor apa saja yang membuat Anda layak optimistis terhadap membaiknya situasi politik di Indonesia? | Tegaknya supremasi hukum | 41% | DPR yang kuat dan independen | 37% | Proses belajar berdemokrasi berjalan | 37% | Perekonomian yang menguat | 33% | Pemerintahan yang kuat | 32% | Ada pers yang berperan sebagai alat kontrol | 29% | Sistem multipartai | 18% | Sikap saling menghormati dan menghargai sesama partai | 0,1% | Responden boleh memberikan lebih dari satu jawaban | | Apakah Presiden Abdurrahman Wahid perlu diganti sekarang? | Ya | 51% | Tidak | 48% | Tidak tahu | 1% | | Bagaimana kondisi ekonomi keluarga Anda dibanding-kan dengan tahun lalu? | Sama saja | 48% | Lebih baik | 25% | Lebih buruk | 27% | | Bila Anda menjawab ya, siapa yang paling layak menggantikan Gus Dur? | Megawati Sukarnoputri | 34% | Amien Rais | 25% | |
---|