Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Mengadili Pornografi

Lima pemimpin redaksi jadi tersangka pengedaran pornografi. Seperti karet, kebebasan menjadi retas ketika ditarik terlalu jauh—seberapa jauh?

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI pimpinan Teater Koma, N. Riantiarno sudah terbiasa berurusan dengan polisi. Beberapa kali lakon dramanya terganjal karena dianggap terlalu keras sindiran politiknya. Meski begitu, urusan terakhirnya dengan polisi tetap membuatnya tak nyaman: selaku pemimpin redaksi majalah Matra, dia kini menjadi tersangka kasus pornografi.

Gambar sampul dua edisi terakhir majalah itu menampilkan artis Sarah Azhari dan Inneke Koesherawati—dalam pose yang menantang, dan dengan penutup tubuh paling minimal. Riantiarno dituduh melanggar Pasal 282 KUHP tentang "Penyiaran Gambar atau Tulisan yang Melanggar Kesusilaan".

"Saya jengah dimasukkan dalam keranjang pornografi," ujar Riantiarno. Dia menyebut dua gambar sampul itu sebagai foto seni. Majalahnya, yang sudah berusia 13 tahun itu, menurut dia juga lahir dengan konsep yang justru "menjauhi eksploitasi syahwat".

Riantiarno tidak sendiri dalam menghadapi ancaman hukuman dua tahun delapan bulan itu. Pemimpin sejumlah media seperti Popular, Pop, Liberty, dan Obyektif juga bernasib sama. Kadispen Mabes Polri Brigjen Togar Sianipar mengatakan, saat ini ada 11 media lain—termasuk Desah dan Toentas—yang juga diperiksa dengan tuduhan serupa.

Di Surabaya, Singgih Sutoyo, Pemimpin Redaksi Top, mendapat giliran pertama pemeriksaan polisi. Berbeda dengan Riantiarno, Singgih mengakui terus terang bahwa orientasi awal medianya, yang kini bertiras 50.000 itu, memang menyajikan berita seks. "Karena memang laku dijual," katanya.

Kelonggaran dalam perizinan penerbitan pers setelah reformasi memang memungkinkan banyak media bermunculan. Beberapa darinya terang-terangan menjual tema seks. Dengan makin ketatnya persaingan, hasilnya menjadi jelas: eksploitasi tema yang juga kian berani. Pameran seks itu memicu protes dan demonstrasi belakangan ini.

Di samping Top, ada Pop yang tak kurang seronoknya. Tak cukup menggelar foto kaum perempuan berbusana minim, Pop mencantumkan nomor telepon mereka (dengan dua nomor belakang dirahasiakan). Tentu saja para hidung belang mudah tergoda untuk menanyakan nomor telepon yang lengkap serta kemungkinan berkencan dengan perempuan-perempuan itu.

Heru Iskandar, Pemimpin Redaksi Pop, tak merasa bersalah. Dia melihat gelombang protes terhadap media porno yang marak belakangan ini lebih dipicu oleh persaingan bisnis yang tidak sehat, dengan maksud membatasi peredaran medianya yang laku. Benarkah?

Kadispen Togar Sianipar melihat kasus-kasus ini kuat karena ada bukti, keterangan saksi, dan keterangan ahli. Namun, dari Surabaya, Kapolda Jawa Timur Mayjen M. Dayat mengatakan proses pemeriksaan terhadap kasus ini menemui kesulitan. "Rumusan Pasal 282 itu terlalu abstrak," katanya.

Pengamat media Andi Muis mengatakan bahwa para pemimpin redaksi tersebut tak bisa dikenai Pasal 282. Masalahnya, mereka bukanlah pelaku langsung, kecuali mereka juga bertindak sebagai juru foto. Jerat yang tepat menurut Muis adalah Pasal 56 KUHP, yaitu membantu terlaksananya delik kejahatan, dalam hal ini kejahatan pornografi.

Atmakusumah, pengamat pers lain, menunjuk kesulitan yang lebih serius dalam kasus ini: sulitnya mendefinisikan pornografi. "Definisi pornografi selalu berubah," katanya. Dia memberikan contoh kasus-kasus serupa pada era 1950-an dan 1960-an (lihat tabel).

Tak mudah, memang. Tapi, sesungguhnya tak ada kebebasan yang tanpa batas. Masyarakat sebagai konsumen media layak melindungi diri dari pengaruh buruk media. Jika hukum tak bisa memberikan kata putus terhadap kontroversi itu, banyak orang akan tergoda mendesakkan pemberangusan secara politis. Dan jika itu terjadi, kebebesan pers secara keseluruhan akan menjadi korbannya.

Yusi A. Pareanom, Dwi Wiyana, Jalil Hakim (Surabaya), Tomi Lebang (Ujungpandang)

Beberapa Kasus Pornografi di Media Massa yang Diajukan ke Pengadilan
TahunMediaPenyebab KasusSanksi
1956Bikini (Yogya)Pemuatan cerpen Dan Achirnya Djatuhlah Aminah karya Jussac Mr. yang dianggap cabul (misalnya frase "dada mengembang kentjang").Denda Rp 500 subsider 5 hari kurungan untuk Pemred Tony Suprapto.
Denda Rp 350 subsider 4 hari kurungan untuk R. F.X. Soesilo, ilustrator cerpen.
1956New Look (Surabaya)Pemuatan kata-kata "tjium" dan "dada montok" serta gambar yang melukiskan adegan ciuman.Denda Rp 500 subsider 30 hari kurungan untuk Pemred Adhy Sukirno.
1957Roman (Jakarta)Pemuatan cerpen Tinah karya B. Jasa dan Induk Semang jarya Guy de Maupassant (terjemahan B. Soelarto), yang dianggap cabul.Denda Rp 1.600 atau kurungan satu bulan untuk Pemred Mr. Hussyn Umar.
1959Suara Andalas (Medan)Pemuatan cerpen Bukan jang Itu Bang, tapi jang Ini.Denda Rp 2.500 subsider 2 bulan kurungan untuk staf redaksi Hanomangan Tambunan, penulis cerpen tersebut.
1963Liberty (Surabaya)Pemuatan artikel Masalah Prostitutie.Hukuman satu bulan taklik enam bulan bagi Pemred Goh Tjing Hok dan Wapemred M.F. Liem Hok Liong.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus