IA baru saja menyelesaikan sebuah surat pernyataan. Surat yang mengabarkan kesediaannya menjadi kurator pameran seni rupa kotemporer Indonesia di Contemporary Art Centre, Adeleide, Australia tahun 1993, tak sempat dikirimnya. Kamis dini hari pukul 01.00, pekan lalu, ia mengembuskan napas terakhir di ambulans yang melarikannya ke Rumah Sakit Advent, Bandung. Sanento Yuliman Hadiwardoyo, kritikus dan ahli seni rupa modern paling terkemuka di Indonesia, berpulang ketika sejumlah kegiatan seni rupa masih membutuhkan keahadirannya. Ia pergi meninggalkan istri dan tiga anaknya yang masih kecil-kecil, Banung Brahita (9 tahun), Danuh Tyas Pradipta (5 tahun), dan Puja Anindita (1 tahun). Ia sedang menyusun kurasi Jakarta Art and Design Expo 1992, yang akan diselenggarakan September mendatang. Dan ia, sebagai penasihat, masih harus menyiapkan serentetan saran untuk Queensland Art Gallery's AsiaPacific Triennial, yang direncanakan berlangsung di Brisbane, Australia, September tahun depan. Kepergiannya mungkin akan mempengaruhi perkembangan seni rupa Indonesia. Bukan hanya karena berbagai kegiatan seni rupa kehilangan perannya yang menentukan. Kehilangan terbesar adalah kemungkinan penyusunan sejarah seni rupa modern Indonesia. Keahliannya dalam hal ini nyaris tidak tergantikan. Pada usia 51 tahun, Sanento pergi tiba-tiba. Tak pernah terdengar ia mengeluh sakit. Ia tidak mengidap sakit berat. Berbagai kegiatannya sampai saatnya yang terakhir berlangsung seperti biasa. Selasa, pekan lalu, ia masih mengajar di Fakutas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB) dan mengunjungi kantor biro TEMPO -- dari sini ia biasanya mengirimkan ulasannya yang terbit di majalah ini. Rabu, saatsaat akhir hidupnya berlangsung cepat. Siang, pukul 15.00, ia merasakan kepala dan perutnya sakit. Istrinya, R.A. Siti Subandinah membawanya ke R.S. Boromeus, Bandung. Tekanan darahnya tinggi. Sanento diperbolehkan pulang. Ia diminta datang esoknya untuk pemeriksaan keseluruhan. Rabu malam, pukul 23.00 sakit kepala menyerangnya lagi. Ia terbangun dan merasa saatnya telah tiba. Dalam kesakitan itu ia bertanya pada istrinya, "Kamu kuat mengurus sendiri anak-anak." Inilah kata-katanya yang terakhir. Setelah itu ia pingsan. Dalam perjalanan ke rumah sakit detak jantungnya berhenti. Sanento meninggal karena pendarahan otak. Ia sosok kesenian yang kompleks. Pada masa studinya di FSRD ITB ia tercatat sebagai mahasiswa jurusan seni lukis. Namun, di akhir studi ia tidak memilih ujian seni lukis. Sebagai tugas akhir ia menulis skripsi tentang kritik seni lukis Indonesia -- hal yang tak lazim ketika itu. Ia lulus tahun 1968. Penyimpangan lain, ia punya minat besar pada dunia sastra. Sanento, tahun 1966, tercatat sebagai penyair. Dan, ia menjelajahi pula teater dan dikenal sebagai pendiri Studi Teater Mahasiswa, grup yang sempat mentas di berbagai kampus di Bandung. Citra yang belakangan paling lekat padanya: akademikus di bidang seni rupa. Khususnya setelah ia dikenal sebagai Dr. Sanento Yuliman -- ia mempertahankan disertasinya di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris, Prancis. Tapi, Sanento sendiri tidak terlalu peduli gelar. Ia tak pernah memasang Dr. di depan namanya, bahkan tak memberi jawaban ketika FSRD ITB menawarkan gelar profesor. Namun, Sanento selalu berpikir akademistis karena ia sangat menghormati kebenaran. Mencari pembenaran ilmiah menandakan sikapnya yang hati-hati dalam membuat kesimpulan. Karena sikap ini, kepergiannya membuat seni rupa modern Indonesia kehilangan patokan kebenaran. Pada masa kini percaturan pendapat seni rupa modern Indonesia nyaris tak punya dasar. Tidak ada basis estetika, belum ada versi sejarah yang diakui, dan tak pernah terdengar teori yang berpengaruh. Dalam keadaan semacam ini, terbuka peluang besar menjual berbagai kebohongan. Di sini, mediocrity tampil sebagai "serba tahu" dan menimbulkan kesimpangsiuran karena informasi salah. Dengan pertimbangan yang sangat kompleks, Sanento mencoba menggariskan peta seni rupa modern Indonesia. Ia menimbang kenyataan masih hidupnya berbagai tradisi seni rupa etnik. Ia memedulikan kehadiran masyarakat kelas bawah apa kebiasaan seni rupa mereka? Dan ia dengan sabar menunggu perkembangan seni rupa. Ia ingin seni rupa modern Indonesia beragam, agar sejarahnya tidak terlihat miskin. Karena itu ia selalu memacu seniman membuat pembaruan (ia aktif dalam Gerakan Seni Rupa Baru). Dan Sanento cemas akan terjadi pemiskinan, ketika seni lukis mendominasi perkembangan seni rupa, sepuluh tahun terakhir. Ia dikenal sebagai kritikus, tapi sebenarnya ia tak pernah sesungguhnya menulis kritik. Dengan tulisannya, seperti yang muncul di TEMPO, ia berusaha mengenal seniman yang berpameran dan memperkenalkan konsep si seniman kepada khalayak. Tulisan ini juga catatan untuk penulisan sejarah. Tahun 1976 atas permintaan Dewan Kesenian Jakarta, ia mulai menuliskan pikirannya tentang sejarah seni lukis modern Indonesia dalam bentuk buku -- Seni Lukis Indonesia Baru, Sebuah Pengantar. Ia penganut paham pluralisme yang meyakini perkembangan seni rupa modern di negara berkembang tidak sama dengan di negara maju. Ketika berpulang ia sedang memperbaiki sejarah versi 1976 itu, dan menyatukannya dengan sejarah cabang-cabang seni rupa lain. Setelah bertahun-tahun, akhirnya ia bisa memastikan bagaimana menuliskan sejarah perkembangan seni rupa Indonesia menyatukan beberapa metode penulisan sejarah dengan menempatkan perkembangan institusi (pranata) seni rupa sebagai patokan. Baru bab pertama dari kerja besar itu yang diselesaikannya. Akankah seni rupa Indonesia berkabung dua kali, karena catatan sejarah ini ikut pergi bersamanya? Ia seperti menjawab lewat sebuah baris sajaknya yang ditulis 26 tahun lalu, Engkau bertanya kepada laut, ketika sekawan camar di antara mega -- Melayang di lapangan warna yang semakin redup dan tua. Tak jauh dari deburan ombak laut, di Majenang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, ia beristirahat untuk selamanya. "Di sana aku dilahirkan," katanya selalu, "Ketika bunga-bunga koncea berkembang." Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini