Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA yang terjadi jika para perempuan serentak mogok berhubungan seks dengan pasangan atau suaminya? Gerakan itulah yang dilakukan selama sepekan lalu oleh kelompok oposisi di Togo, negara kecil di Afrika Barat. Pembangkangan yang nyeleneh tersebut berawal dari seruan Let's Save Togo untuk mogok berhubungan seks selama sepekan, Sabtu dua pekan lalu. Let's Save Togo adalah kelompok koalisi oposisi yang membawahkan tujuh partai politik oposisi dan sembilan organisasi kemasyarakatan.
Aksi memblokade ranjang ini bertujuan menggoyang kekuasaan Presiden Faure Gnassingbe. Mogok seks diumumkan dalam rapat umum yang diikuti ribuan orang di ibu kota Togo, Lome. "Kaum wanita merupakan korban utama dari setiap kekacauan yang terjadi di Togo. Satu minggu tanpa seks menjadi senjata dalam perjuangan kita," kata Isabelle Ameganvi, pemimpin sayap perempuan di koalisi.
Mogok seks di Togo memang berhasil mencuri perhatian publik. Beberapa pekan terakhir, negara berpenduduk enam juta orang itu memang dimeriahkan dengan berbagai macam protes warga. Pemicunya adalah perubahan undang-undang pemilihan umum. Beleid itu memudahkan partai penguasa kembali menang dalam pemilihan anggota legislatif yang akan digelar pada Oktober mendatang.
Negara dengan luas sekitar 57 kilometer persegi alias seperempat luas Bekasi, Jawa Barat, itu sudah setengah abad dalam genggaman kekuasaan keluarga Gnassingbe. Presiden yang sekarang berkuasa telah memerintah sejak 2005. Dia menggantikan ayahnya, Eyadema Gnassingbe, yang meninggal setelah berkuasa 38 tahun—kekuasaan terlama dalam sejarah kediktatoran di Afrika. Eyadema meraih kekuasaan melalui kudeta militer pada 1963 atau tiga tahun setelah mendapat kemerdekaan dari Prancis.
Gnassingbe kembali terpilih dalam pemilihan 2010, yang oleh oposisi dinilai curang dan penuh intimidasi. Sejauh ini dia galak terhadap para penentangnya. Awal bulan lalu, dua demonstrasi anti-Gnassingbe dibubarkan polisi dengan gas air mata, dan lebih dari 100 orang ditangkap. Sebelumnya, para pegiat reformasi di negara yang berbatasan dengan Ghana itu telah dijebloskan ke bui.
Reaksi keras Gnassingbe itu mendorong sebagian perempuan mendukung aksi mogok berhubungan seks. "Bagus juga bagi kami perempuan mogok seks selama anak-anak kami dipenjara," kata Abla Tamekloe, seorang warga. Dia meyakini, laku mogok seks bakal turut mendorong tahanan politik dibebaskan. "Bagi saya, ini seperti puasa. Tanpa puasa, kita tak akan mendapat apa yang kita inginkan dari Tuhan."
Harapan itu seakan-akan mendapat titik terang. Pemerintah melepaskan 119 demonstran yang ditahan saat aksi sebulan terakhir. Presiden Gnassingbe dan istrinya tidak berkomentar tentang seruan mogok seks itu.
Tentu tak semua mendukung mogok seks. Seorang warga, Judith Agbetoglo, mengaku tak bisa menjalani penuh aksi ini. "Sebab, saya akan bermasalah dengan dia. Suami saya itu sangat menyukai (seks)," katanya. Suara keraguan lain bahkan datang dari kepala partai oposisi dan kelompok hak asasi manusia dalam koalisi anti-Gnassingbe. "Satu minggu terlalu lama," kata Fabre, aktivis pria dari Aliansi Nasional untuk Perubahan. "Bagaimana kalau dua hari saja?"
Mogok seks sebagai alat politik tercatat pernah sukses di beberapa negara. Aktivis Togo mengaku terinspirasi aksi serupa dari Liberia pada 2002. Saat itu, aksi mogok gabungan perempuan Islam dan Kristen berhasil mendorong penyelesaian konflik sipil. Di Kenya, mogok seks mendorong perdamaian dua penguasa yang berseteru.
Tahun lalu, mogok seks menjadi simbol gerakan antiperang para istri di Mindanao, Filipina. Rencana pertempuran di Mindanao pun batal. Untuk tuntutan lebih kecil, tahun lalu juga, sebagian wanita di Barbacoas, Kolombia, mogok seks agar dilakukan pengaspalan jalan ke ibu kota provinsi. Tuntutan dipenuhi setelah mogok selama 3 bulan 19 hari.
Harun Mahbub (BBC, AP, Daily Guide)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo