Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kambing Putih Resesi Global

3 September 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Martin P.H. Panggabean*

Patutkah kita meributkan defisit neraca perdagangan Indonesia? Saya tawarkan tiga jalur diskusi. Kita bisa membicarakan ini dari sudut resesi global sebagai penyebab, dari sisi kebijakan pemerintah sebagai penyebab, atau dari sisi bahwa defisit perdagangan ini adalah pilihan yang sengaja diambil pemerintah.

Diskusi dari sisi resesi global merupakan jalur yang usang, salah arah, dan tidak produktif. Usang karena ini reaksi yang paling sering dikemukakan sejak dulu, terutama dari sisi pemerintah. Jalur diskusi ini juga salah arah karena, jika kondisi ekonomi global membaik tapi harga komoditas turun, kondisi ekspor kita juga akan tetap memprihatinkan. Mengapa? Sebab, pembaikan ekspor yang terjadi beberapa tahun terakhir ini bukan didorong volume yang meningkat, melainkan lebih karena harga komoditas yang tinggi, lebih tinggi daripada (katakanlah) paruh pertama tahun 2000-an.

Menyalahkan resesi global juga tidak produktif karena dapat disimpulkan bahwa yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah menunggu agar ekonomi Eropa dan Cina cepat pulih, dan defisit kita akan menghilang. Kita tidak perlu melakukan perbaikan apa pun. Business as usual.

Jalur diskusi yang relevan adalah melihat defisit neraca perdagangan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang dibuat pada masa lalu. Saya tidak membantah bahwa resesi global sedang terjadi. Namun ada beberapa titik kritis lain di mana kita membuat langkah catur yang blunder. Mari kita lihat beberapa kebijakan tersebut.

Pertama, ekspor kita didukung oleh komoditas primer ekstraktif, seperti batu bara dan hasil pertambangan lainnya. Komoditas ekspor seperti ini bukan komoditas yang mengandalkan kreativitas dan produktivitas seperti saat kita membicarakan kreativitas pembatik atau kreativitas pembuat perangkat lunak.

Parahnya, komoditas primer ini kebanyakan diekspor ke Cina, yang kini termasuk terpukul parah oleh resesi global. Padahal kita punya kesempatan untuk memperkuat basis pengolahan dalam negeri sebelum komoditas ekstraktif ini diekspor (via implementasi UU Minerba). Namun kita terlalu lambat merealisasi kebijakan ini, bahkan cenderung menunda-nunda dengan satu dan lain alasan. Seandainya kebijakan pengolahan dalam negeri ini dulu cepat kita laksanakan, tentu Indonesia bisa mendiversifikasi ekspor ke negara selain Cina.

Kedua, pemerintah harus mengakui bahwa banyak kebijakan Free Trade Agreement yang diluncurkan beberapa tahun terakhir telah menjadi bumerang. Menghantam ekonomi kita sendiri, bahkan sebelum ada resesi global. Perjanjian dengan Cina adalah satu contoh di mana nyaris semua stakeholder, kecuali pemerintah dan para ekonomnya, waktu itu menyuarakan perasaan ngeri mereka. Bahwa kini ekspor kita tidak berdaya di luar negeri, tapi Indonesia terus mengimpor tanpa henti, tentu tidak bisa dilepaskan dari perjanjian perdagangan bebas yang sudah ditandatangani pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Ketiga, kita juga terpaksa memaklumi bahwa pemerintah, entah kenapa, sering berada dalam posisi yang lemah jika berhadapan dengan importir. Ada dua contoh yang segar dalam ingatan. Pertama, importasi garam. Sungguh tragis bahwa negara kepulauan seperti kita perlu mengimpor garam dari luar negeri. Walau sudah dicabut, setelah Menteri Perdagangan Mari Pangestu diganti, dampaknya masih terasa. Sampai hari ini petani garam Cirebon masih kesulitan menjual garam karena stok impor garam masih menumpuk di gudang.

Contoh lainnya adalah maju-mundurnya pemerintah dalam mengatur impor buah agar hanya masuk dari pelabuhan Surabaya. Impor buah ini, yang dikendalikan oleh hanya beberapa pemain, sulit sekali diatur. Ujungnya sama: laju impor seperti tidak bisa ditahan.

Jadi, kita dapat melihat bahwa resesi global merupakan kambing putih. Kambing hitam yang sesungguhnya adalah kebijakan kita sendiri yang menjadi penyebab defisit perdagangan yang bersifat struktural. Ekspor kita tertahan, sementara impor kita dibiarkan terus meningkat. Inilah definisi dari defisit neraca perdagangan. "The only way to shrink the trade deficit is for the government to prohibit us from buying whatever we want." Demikian kata John Stossel pada 2007.

Jadi kunci dari masalah dan penyelesaian defisit neraca perdagangan ada di tangan pemerintah. Namun kali ini saya menyatakan bahwa defisit perdagangan adalah pilihan pemerintah sendiri, dibuat secara sadar, serta punya dampak positif dan negatif. Pemerintah tidak perlu malu mengakui pilihan itu.

Anda yang pernah bermain karambol tahu bahwa dengan sekali sentilan jari Anda dapat menambah nilai sekaligus menempatkan lawan pada posisi yang sulit. Ini contoh kebijakan multifungsi. Saya selalu berusaha menambah nilai, dan kalau kebetulan sentilan itu membuat posisi lawan karambol saya semakin sulit, itu keberuntungan tambahan bagi saya.

Bila analogi ini kita ikuti, kebijakan kurs sebenarnya dapat berdampak terhadap ekspor-impor dan inflasi. Dihadapkan pada dua pilihan, saya melihat bahwa pemerintah menempatkan preferensinya pada kinerja inflasi ketimbang angka defisit perdagangan.

Ada dua indikator besar terkait di sini. Pertama, ketetapan hati pemerintah untuk menjaga kurs pada tingkat yang terlalu kuat menunjukkan kuatnya komitmen pada menjaga inflasi. Dengan membiarkan kurs bergerak menuju Rp 10 ribu per dolar, sebenarnya pemerintah dapat saja bertindak sejak beberapa waktu yang lalu untuk membantu neraca perdagangan Indonesia agar tetap surplus. Namun, seperti terlihat pada kuartal kedua tahun ini, pemerintah tampak terlalu keras untuk mengendalikan kurs. Ini terlihat dari gerahnya para pejabat negara ini ketika kurs meloncat mendekati tingkat Rp 9.700 per dolar.

Indikator kedua, keengganan untuk mengontrol konsumsi bahan bakar minyak menunjukkan kuatnya komitmen pemerintah untuk menjaga inflasi. Kuatnya komitmen ini yang membuat konsumsi dan impor BBM meningkat, yang berujung pada defisit perdagangan.

Artinya, pemerintah sebetulnya punya senjata bernama kurs untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan. Walaupun tidak serta-merta menaikkan angka ekspor, paling tidak pelemahan kurs akan menurunkan minat impor masyarakat Indonesia. Namun senjata ini tidak dipergunakan karena pemerintah memilih menekan inflasi.

Pemerintah cukup konsisten terhadap pilihan mengendalikan inflasi karena banyak bonus yang dirasakan. Penundaan kenaikan harga BBM dan pembiaran konsumsi BBM bersubsidi akan menyenangkan banyak orang. Sebaliknya, kebijakan menekan defisit perdagangan hanya akan berdampak pada segmen masyarakat tertentu.

Bonus dirasakan juga karena dampak kebijakan terhadap inflasi langsung dirasakan, sementara kebijakan defisit perdagangan butuh waktu panjang agar dapat dirasakan dampaknya. Paling tidak, luas dan cepatnya dampak positif bagi masyarakat merupakan bagian penting untuk pencitraan pemerintah saat Indonesia memasuki periode pemilihan umum pada 2014.

Kebijakan pemerintah untuk memilih inflasi ketimbang defisit perdagangan bukanlah strategi tanpa risiko. Dari sisi pen­citraan pemerintah, ada risiko karena kebijakan yang ditempuh saat ini (menekan inflasi) juga cenderung menguntungkan penduduk Indonesia yang berdiam di Pulau Jawa dan tidak kondusif bagi wilayah luar Jawa, yang merupakan basis ekspor.

Risiko lain juga menunggu. Jika defisit perdagangan dibiarkan terlalu ekstrem, preferensi ini menempatkan Indonesia mendekati situasi krisis ekonomi pada 1997. Dari sisi jangka pendek, defisit perdagangan yang konsisten akan membuat posisi ekonomi Indonesia melemah. Defisit ganda (fiskal dan perdagangan) adalah rumus ampuh bagi lembaga internasional untuk menurunkan peringkat Indonesia.

Mari kita semua berharap pemerintah bermain karambol dengan cantik. Ada ungkapan Jawa yang saya sukai. Ngono yo ngono, ning ojo ngono.

Head of Risk Management Bank Mega Tbk

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus