Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIREKTORAT Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mesti bekerja ekstrakeras tahun ini. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018, target penerimaan pajak dipatok Rp 1.424 triliun atau naik 10,94 persen dari target tahun lalu. Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan mengakui target itu tidak ringan.
Namun pejabat yang baru dilantik Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 1 Desember tahun lalu itu optimistis dapat mengejar target penerimaan pajak tahun ini. Meski realisasinya meleset dari target APBN, yaitu hanya mencapai 89,7 persen atau sebesar Rp 1.151 triliun, penerimaan pajak tahun lalu masih tumbuh signifikan, yakni 4,08 persen. "Hal itu bisa menjadi modal untuk tahun ini," kata Robert, 58 tahun.
DJP akan meneruskan sejumlah program yang sudah berjalan tahun sebelumnya, seperti pemberian insentif pajak berupa tax holiday dan tax allowance. Menteri Keuangan menugasi DJP mengevaluasi proses pemberian kedua insentif tersebut agar lebih mudah diperoleh para investor yang memenuhi syarat. "Bu Menteri menekankan agar pemberian insentif pajak membantu pertumbuhan investasi, jangan sampai menunda investasi," ujar Robert, yang sebelumnya menjabat Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.
Jumat tiga pekan lalu, Robert menerima wartawan Tempo Angelina Anjar Sawitri, Linda Trianita, dan Praga Utama di ruang kerjanya di lantai 5 Gedung Mar’ie Muhammad Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta Selatan. Didampingi Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Hestu Yoga Saksama, Robert memaparkan sejumlah hal, dari sistem teknologi informasi pajak yang baru, pajak e-commerce, hingga kebijakannya pada tahun politik ini.
Penerimaan pajak tahun lalu meleset dari target. Apa penyebabnya?
Pertumbuhan penerimaan pajak tahun lalu dibanding 2016 memang hanya sekitar 4 persen. Tapi, kalau setoran yang berasal dari pengampunan pajak dan revaluasi aset dikeluarkan, pertumbuhan penerimaan pajak mencapai sekitar 16 persen. Penerimaan lainnya, yang tidak ada kaitannya dengan pengampunan pajak, yakni pajak pertambahan nilai (PPN), juga tumbuh 16 persen. Hal itu bisa menjadi modal untuk tahun ini. Target penerimaan pajak tahun ini dibanding realisasi penerimaan pajak memang naik 23 persen. Tapi, jika pertumbuhan penerimaan pajak tahun ini bisa dipertahankan, hanya sekitar 7 persen yang mesti kami kejar.
Apakah target penerimaan pajak tahun ini tidak terlalu tinggi?
Kenaikan target yang mencapai 23 persen itu memang tantangan bagi kami. Itu memang berat. Tapi, dengan pertumbuhan penerimaan pajak tahun lalu yang cukup baik, ada pijakan yang bisa diandalkan untuk menggenjot pertumbuhan penerimaan pajak tahun ini. Mudah-mudahan, walaupun berat dicapai, target tersebut bisa diraih dengan usaha ekstra.
Bagaimana cara menghitung target itu?
Memakai asumsi makro. Dengan target pertumbuhan ekonomi tahun ini yang mencapai 5,4 persen dan inflasi 3,5 persen, pendapatan nasional diasumsikan naik sekitar 9 persen, gabungan dari keduanya. Jika target itu tercapai, pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 9 persen sudah otomatis didapat.
Salah satu usaha menggenjot penerimaan pajak dengan mempertahankan insentif pajak?
Saat ini, ada insentif pajak berupa tax holiday dan tax allowance. Kami belum berencana mengeluarkan aturan baru. Bu Menteri (Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati) menugasi kami mengevaluasi proses pemberian kedua insentif itu agar lebih mudah didapatkan oleh para investor yang memenuhi syarat. Bu Menteri menekankan agar pemberian insentif pajak membantu pertumbuhan investasi, jangan sampai menunda investasi.
Tugas itu diberikan karena insentif pajak kurang diminati?
Itu arahan dari Presiden Joko Widodo dalam sidang kabinet. Presiden mengharapkan apa pun yang kami kerjakan menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Selama ini, bagaimana minat investor dengan adanya insentif pajak?
Investasi baru selalu ada.
Yoga Saksama: Selama ini, tax allowance sudah diberikan kepada 138 perusahaan dan tax holiday kepada 5 perusahaan.
Di tahun politik ini, apakah DJP tidak agresif lagi untuk menjaga situasi pasar?
Dalam dua tahun terakhir, banyak hal sudah dikerjakan pemerintah untuk membangun momentum menuju 2018. Pengampunan pajak, yang bertujuan membangun basis pajak baru, sudah mulai terlihat hasilnya tahun lalu ketika penerimaan pajak tumbuh 16 persen. Lalu penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017, yang merupakan kelanjutan dari pengampunan pajak, akan menjadi instrumen baru pada tahun ini. Ada juga Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165 Tahun 2017, yang menawarkan penghapusan denda bagi wajib pajak yang mengungkap hartanya. Kemudian implementasi Automatic Exchange of Information (AEoI) pada tahun ini. Mudah-mudahan itu semua menjadi modal pada tahun ini.
Jadi tidak akan seagresif tahun lalu?
Kami akan melanjutkan momentum pengampunan pajak. Saat ini, basis pajak bertambah. Kami akan memberikan edukasi yang tepat kepada wajib pajak baru agar mereka tetap patuh. Kami akan memperbaiki pelayanan kami agar wajib pajak bisa membayar pajak dengan mudah. Kami juga akan mengawasi wajib pajak dengan alat-alat tambahan baru agar bisa segera diberi peringatan jika tidak patuh.
Presiden pernah mengingatkan agar di tahun politik tidak ada yang membuat gaduh.…
Cara kerja kami sudah sistematis. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, pembayaran pajak, semuanya sudah otomatis dengan mesin. Karena itu, kami akan bekerja seperti biasanya. Saya hanya akan lebih menekankan kualitas pekerjaan. Kualitas pelayanan ditingkatkan. Kualitas sumber daya manusia dan konten yang diberikan dalam edukasi perpajakan ditingkatkan. Pengawasan harus lebih jujur dan transparan. Dengan kualitas lebih baik, seharusnya kami tidak membuat gaduh.
Bagaimana pengaruh tahun politik terhadap penerimaan pajak?
Biasanya konsumsi meningkat di tahun politik. Ada pembelian makanan, cendera mata dan kaus, penyewaan hotel, dan sebagainya. Dengan begitu, PPN pasti bertambah. Jadi pengaruhnya positif.
Apa cara Anda untuk memastikan pengampunan pajak meningkatkan penerimaan pajak tahun ini?
Sebenarnya sudah terbukti. Pertumbuhan penerimaan PPh orang pribadi tahun lalu mencapai 49 persen. Padahal pertumbuhan ekonomi hanya 5,1 persen. Itu salah satu buah dari pengampunan pajak. Seharusnya itu kontinu tahun ini. Karena itu, kami akan meningkatkan kualitas pekerjaan kami, baik penyuluhan, pelayanan, pengawasan sistem pembayaran pajak dan kepatuhan, pemeriksaan, maupun penagihan.
Ihwal pengampunan pajak, masih ada komitmen repatriasi harta sebesar Rp 9 triliun yang belum direalisasi. Bagaimana tindak lanjutnya?
Ditagih sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sesuai dengan jatuh temponya. Tidak mungkin kami tidak menagih.
Siapa saja wajib pajak yang belum merepatriasi hartanya?
Rahasia. Tidak boleh dipublikasikan. Yang pasti, ada beberapa wajib pajak, lebih dari satu.
Seberapa signifikan implementasi AEoI berpengaruh terhadap penerimaan pajak tahun ini?
Dengan AEoI, kami bisa mengakses berbagai data orang Indonesia yang tercatat dalam sektor keuangan di luar negeri. Ada data yang masuk secara otomatis, ada pula data yang diberikan atas permintaan. Harapannya, data itu mulai masuk September ini. Mudah-mudahan data itu dapat akurat menguji kepatuhan pajak karena bisa mengukur penghasilan dari jumlah saldo di bank, jumlah saldo transaksi, dan sebagainya.
Berapa potensi penerimaan pajak yang bisa didapatkan dari implementasi AEoI?
Kami belum menghitungnya karena kami belum mengetahui secara persis data aset orang Indonesia yang ada di luar negeri. Selama ini simpang-siur. Ada yang mengatakan US$ 200 miliar, US$ 300 miliar, dan sebagainya. Yang pasti, melalui pengampunan pajak, ada Rp 1.031 triliun aset orang Indonesia di luar negeri yang dideklarasikan dan Rp 147 triliun yang direpatriasi.
Ketika implementasi AEoI dimulai, apakah para pengusaha yang pertama kali akan dipelototi oleh DJP?
Kami tidak punya target. Kami akan mengecek yang ada datanya saja, dicocokkan dengan SPT. Ketika berbeda, baru kami akan bereaksi.
DJP mendalami data 81 nasabah Standard Chartered yang memindahkan uangnya dari Guernsey, Inggris, ke Singapura sebesar US$ 1,4 miliar. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mengirimkan lagi ratusan nama ke DJP dengan nilai lebih besar. Bagaimana tindak lanjutnya?
Yang spesifik, saya tidak tahu. Saya sudah mengunjungi PPATK. Kami akan mencoba meningkatkan kerja sama. Kami cek di Direktorat Penegakan Hukum, lalu data diteruskan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar. Data itu diproses apa adanya seperti AEoI. Kami tidak mau terjebak mengikuti satu per satu. Kalau ada perbedaan, diperiksa.
Apa yang menjadi fokus Anda dalam reformasi pajak?
Teknologi informasi dan proses bisnis. Teknologi informasi adalah instrumen pendukung yang penting karena bisa mengakselerasi pekerjaan sekaligus meningkatkan transparansi. Adapun proses bisnis penting karena dapat menggambarkan cara kami bekerja, baik di kantor pajak pratama, kantor wilayah, maupun kantor pusat.
Kabarnya DJP sedang mempersiapkan sistem Core Tax. Kapan akan diterapkan?
Core Tax adalah sistem perpajakan baru yang rencananya kami beli tahun ini. Nantinya sistem ini akan menggantikan sistem yang lama. Kami sedang membuat peraturan presidennya agar pengadaan sistem tersebut lebih spesifik. Ini sistem setengah jadi, sudah pernah dipakai di negara lain. Karena itu, setelah dibeli, akan dikembangkan dan dicocokkan dengan undang-undang di sini. Pengembangannya membutuhkan waktu tiga-empat tahun.
Selama pengembangan sistem baru, DJP tetap menggunakan sistem lama?
Ya. Karena itu, sistem lama masih terus dipelihara. Untuk mengakalinya, sistem lama kami didukung oleh aplikasi-aplikasi satelit untuk membantu proses analisis. Tapi, untuk proses analisis yang lebih cepat, kami melakukannya di luar sistem lama supaya tidak terganggu. Sistem lama kami memang sudah agak tua dan ketinggalan. Tapi sistem ini masih cukup andal dipakai di semua kantor pajak ataupun sebagai basis data utama kami.
Dari mana sistem yang baru itu dibeli?
Belum ditentukan. Ada beberapa sistem perpajakan setengah jadi yang tersedia di seluruh dunia. Nanti akan kami lelang.
Berapa anggarannya?
Triliunan rupiah, tapi penganggarannya bertahap. Tahun ini Rp 400-500 miliar.
Benarkah mencapai Rp 2 triliun?
Ya, totalnya. Pengembangan sistem itu butuh biaya. Tapi kami yakin, walaupun mahal, dampaknya akan bagus. Buat kami, sistem teknologi informasi sangat penting. Kami mengelola jutaan wajib pajak dan miliaran data, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Karena itu, kami memerlukan sistem teknologi informasi yang canggih dan andal.
Tahun lalu kabarnya ada 25 aparat pajak diperkarakan oleh wajib pajak. Itu tertinggi dalam sejarah. Bagaimana upaya Anda memperkuat aparat pajak?
Salah satu pilar reformasi pajak adalah memperbaiki proses bisnis, termasuk meningkatkan kualitas pemeriksaan. Akan ada peninjauan kembali. Dengan peningkatan kualitas pemeriksaan, hal-hal semacam itu akan berkurang atau bahkan tidak terjadi. Kami akan meningkatkan koordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, serta aparat penegak hukum.
DJP rencananya akan dijadikan lembaga terpisah dari Kementerian Keuangan. Yang mengusulkan pemerintah?
Wacana itu dimasukkan ke draf revisi Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan dan sudah diserahkan ke DPR. Rancangan itu ditandatangani oleh Presiden.
DJP akan setingkat dengan kementerian?
Seharusnya seperti itu, langsung di bawah presiden.
Undang-Undang PPN dan PPh juga akan direvisi. Apakah pajak e-commerce dimasukkan?
Tidak perlu dimasukkan ke sana. Pemajakan e-commerce memungkinkan dilakukan dengan undang-undang yang sudah berlaku. Misalnya, di Undang-Undang PPh, wajib pajak diharuskan membayar pajak atas penghasilan yang didapatkannya, baik secara konvensional maupun melalui e-commerce. Peraturan Menteri Keuangan sedang disusun untuk memberikan pedoman dan memudahkan para pebisnis e-commerce.
Apakah di dalamnya termasuk pajak untuk perusahaan over the top, seperti Google dan Facebook?
Termasuk. Ada empat-lima model e-commerce yang akan diatur, termasuk marketplace dan platform.
Tahun lalu, Google akhirnya membayar pajak di Indonesia. Apakah penghitungan pajak Google akan menjadi dasar penghitungan pajak perusahaan over the top lain?
Intinya, pemerintah ingin seseorang yang memiliki usaha, baik konvensional maupun digital, membayar pajak yang sama. Tapi pemerintah juga tidak mau terburu-buru dengan mengatur berbagai macam hal. Kami takut itu malah menurunkan minat usaha. Karena itu, perlu dipelajari pelan-pelan dan dicocokkan, kalau di konvensional seperti ini, di e-commerce seperti apa. Contohnya marketplace. Itu kan ibarat mal, ada pemilik mal, pemilik toko, dan pemasok.
Apakah tarif pajak e-commerce akan sama dengan konvensional?
Seharusnya sama.
Kapan peraturan Menteri Keuangan itu terbit?
Sedang digodok. Kami berharap bisa segera keluar. Sudah dibahas dengan Bu Menteri beberapa kali. Kami harus berbicara dengan banyak pihak.
Benarkah saat ditawari menjadi Direktur Jenderal Pajak Anda menolak?
Dari mana kalian tahu? Ha-ha-ha.…
Setelah Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito mundur pada Desember 2015, Anda juga pernah ditawari dan menolak dengan alasan kesehatan. Mengapa sekarang menerima?
Saya mendapat amanah, saya akan mengerjakan dengan sebaik-baiknya. Saya dibesarkan di Direktorat Jenderal Pajak. Saya bergabung dengan direktorat ini sejak 1982 dan terlibat dalam banyak kebijakan, seperti pembentukan KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Madya. Di mana pun saya bekerja, saya selalu merasa senang.
Robert Pakpahan
Tempat dan tanggal lahir: Tanjung Balai, Sumatera Utara, 20 Oktober 1959 | Pendidikan: D-III Akuntansi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (1981), D-IV Akuntansi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (1987), University of North Carolina, Amerika Serikat (1998)| Karier: Tenaga Pengkaji Bidang Ekstensifikasi Perpajakan (2003-2005), Direktur Potensi dan Sistem Perpajakan (2005-2006), Direktur Transformasi Proses Bisnis (2006-2011), Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan Negara (2011-2013), Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (2013-2017), Direktur Jenderal Pajak (2017-sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo