Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Terancam Kolaps Setelah Kudeta

Ekonomi Myanmar terancam kolaps. Rezim militer bertahan dengan sokongan kebijakan sejumlah negara yang menjadi mitra bisnisnya.

15 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • UNDP memperkirakan ekonomi Myanmar terancam kolaps.

  • Bank-bank membatasi pengambilan duit setiap hari.

  • Junta militer berusaha bertahan dengan sokongan negara mitra bisnisnya.

TEMPAT-tempat penukaran mata uang asing yang masih beroperasi menjadi incaran para penduduk Yangon, Myanmar, untuk mendapatkan uang tunai, terutama dolar Amerika Serikat. Di tengah kekacauan setelah kudeta militer pada 1 Februari lalu, masyarakat berusaha menyelamatkan harta mereka yang tersisa. Pengelola penukaran valuta asing bahkan kewalahan melayani mereka. “Stok dolar nyaris kosong,” ujar seorang pengelola, seperti dilaporkan Nikkei Asia pada Senin, 10 Mei lalu.

Krisis politik dan keamanan yang terus berlanjut di Myanmar membuat nilai mata uang Myanmar, kyat, anjlok. Turunnya kepercayaan publik kepada pemerintah yang dikendalikan juta militer membuat nilai tukar kyat makin terperosok lebih dari 20 persen sejak kudeta, meski junta berusaha mengintervensi untuk mendongkraknya kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nilai tukar satu dolar Amerika mencapai 1.567 kyat pada Selasa, 11 Mei lalu, naik dari rata-rata 1.400 sebelum kudeta. Namun, di pasar terbuka, nilai tukarnya bisa melebihi 1.680 kyat per dolar Amerika. Itu adalah kurs kyat terendah setelah kisruh perang dagang Cina dan Amerika pada 2018 yang juga mempengaruhi perekonomian Myanmar. Gara-gara nilai tukar yang terus melorot dan tidak stabil, sejumlah tempat penukaran uang asing terpaksa menutup toko mereka lebih cepat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Merosotnya nilai tukar kyat terhadap dolar menunjukkan jurang krisis baru bagi penduduk Myanmar. Padahal hingga kini masyarakat masih harus berhadapan dengan represi tentara junta militer. Laporan Lembaga Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) pada 30 April lalu menyebut ekonomi Myanmar bisa kolaps akibat kombinasi kekacauan setelah kudeta militer dan dampak pandemi Covid-19.

UNDP menyatakan tren angka kemiskinan di Myanmar sebenarnya sudah menurun dalam periode 12 tahun sejak 2005. Perekonomian Myanmar kembali merosot akibat dampak pandemi yang sudah berlangsung setahun terakhir. Kudeta yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing dinilai membuat kondisi kian pelik. “Tanpa institusi demokratis yang berfungsi, Myanmar menghadapi kemunduran tragis dan tidak bisa dihindari menuju tingkat kemiskinan terburuk,” ucap Administrator UNDP Achim Steiner.

Kekuasaan represif junta militer selama lebih dari setengah abad di Myanmar membawa dampak serius pada perkembangan negara itu. Myanmar menjadi salah satu negara termiskin di Asia Tenggara. Sekitar enam juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Seperempat anak-anak Myanmar juga kekurangan nutrisi sehingga tidak bisa tumbuh seperti teman sebayanya.

Warga Myanmar sudah merasakan tekanan ekonomi sejak awal kudeta berlangsung. Bank-bank terpaksa tutup setelah sebagian besar pekerjanya mogok dan bergabung dalam aksi pembangkangan sipil melawan junta. Gelombang mogok kerja massal ini merembet ke sektor lain, seperti kesehatan, perdagangan, jasa layanan konsumen, dan perkantoran. Pekerja pabrik pulang kampung dan banyak perusahaan asing memulangkan para pegawainya ke negara asal. Ribuan aparatur sipil negara bahkan turut mogok kerja dan membuat pengurusan administrasi publik ikut mandek.

Junta militer pun berusaha memaksa bank-bank untuk beroperasi demi menjaga aliran dana tunai yang berdampak pada perekonomian. Pada awal Maret lalu, junta militer memerintahkan bank yang tidak beroperasi untuk menyerahkan semua informasi pelanggannya ke perusahaan negara, Myanmar Economic Bank, atau ke salah satu bank yang dioperasikan militer, yaitu Innwa Bank dan Myawady Bank.

Perintah itu tak berhasil mengubah situasi. Banyak bank yang masih tutup dan mereka kesulitan mencari pekerja setelah banyak orang memutuskan mogok kerja untuk bergabung dengan para demonstran. Alhasil, hanya layanan dasar dalam jumlah terbatas yang masih tersedia di beberapa bank. Mereka pun kewalahan menghadapi tingginya permintaan publik yang ingin mencairkan dana dalam rekeningnya.

Laporan Myanmar Now menyebut hanya beberapa kantor cabang dua bank lokal terbesar, KBZ dan AYA, yang masih beroperasi di Yangon. Bank-bank di sejumlah kota, seperti Yankin, Tamwe, Bahan, Mawlamyine, dan Bago, sudah lama ditutup. “Di salah satu cabang bank KBZ, mereka sampai menulis nama dan nomor telepon orang yang datang ketika kerumunan membesar dan katanya bakal menghubungi kami nanti,” kata Aye Phway, nasabah bank yang berusaha menarik uangnya dari bank itu.

Mesin anjungan tunai mandiri yang masih beroperasi dan berisi uang tunai kian langka. Para penduduk harus antre dalam barisan panjang di depan mesin-mesin ATM yang dengan cepat kehabisan stok uang. Di tengah kekalutan dan ancaman konflik sipil akibat serbuan tentara yang memburu demonstran, para pengelola bank berpikir ulang untuk mengisi ulang stok uang di mesin ATM mereka. Bank-bank milik militer bahkan ikut kehabisan dana.

Warga menunggu giliran melakukan transaksi keuangan di luar Myawaddy Bank , di Yangon, Myanmar, 16 Februari 2021. REUTERS / Stringer



Gelombang penarikan uang tunai dalam jumlah besar ini membuat bank sentral Myanmar membatasi duit yang bisa diambil dari ATM dan bank. Dengan dalih mengembangkan sistem pembayaran digital, bank sentral Myanmar pada Maret lalu menyebut setiap orang hanya bisa mengambil uang 500 ribu kyat atau sekitar Rp 4,5 juta dari ATM dalam sehari.

Nasabah masih bisa menarik uang hingga dua juta kyat dalam sepekan jika datang ke bank. Adapun untuk perusahaan dan lembaga, bank sentral Myanmar membatasi dana yang bisa diambil sebesar 20 juta kyat per pekan. “Pembatasan pengambilan dana setiap pekan seperti itu menjadi masalah. Perusahaan besar bisa mengalami krisis,” ujar pendiri perusahaan teknologi di ibu kota Myanmar, Naypyidaw, seperti dilaporkan The Irrawaddy.

Penduduk Myanmar yang memiliki bisnis kecil juga menghadapi dilema. Properti mereka terancam rusak ketika terjadi bentrok saat unjuk rasa, apalagi saat aparat keamanan memburu para demonstran. Di sisi lain, para penentang kudeta yang bergabung dalam gerakan pembangkangan sipil berusaha melumpuhkan sumber daya ekonomi yang selama ini menyokong junta militer. “Kami tak bisa membuka toko setiap hari, tapi tetap harus membayar sewa, pajak, dan upah pegawai,” tutur Soe, pemilik kedai teh di Yangon, seperti dilaporkan Bloomberg.

Bergulat dengan krisis di dalam negeri, Myanmar pun terkunci dari pergaulan ekonomi dunia. Langkah Amerika Serikat yang menjatuhkan sanksi bagi selusin pejabat Myanmar, termasuk Jenderal Aung Hlaing, dan membekukan aset cadangan bank sentral Myanmar di New York senilai lebih dari US$ 1 miliar diikuti oleh negara-negara lain, seperti Kanada, Inggris, dan Selandia Baru.

Uni Eropa yang beranggotakan 27 negara menjatuhkan sanksi terhadap 35 orang yang dinilai terlibat dalam kudeta. Organisasi itu juga membekukan akses bisnis dua entitas bisnis raksasa, Myanmar Economic Holdings Public Company Limited dan Myanmar Economic Corporation Limited, yang dikendalikan militer Myanmar. Uni Eropa juga menerapkan embargo perdagangan senjata serta melarang individu dan perusahaan Eropa meneruskan bisnis atau menyediakan dana bagi orang dan perusahaan yang masuk daftar hitam.

Uni Eropa berharap tekanan dan sanksi mampu memaksa junta militer untuk mengubah strategi represif dan bersedia berdialog menyelesaikan krisis. “Kami mengecam keras kudeta militer Myanmar dan mendesak mereka menghentikan aksi kekerasan terhadap warga sipil,” ujar Duta Besar Uni Eropa untuk Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) Igor Driesmans dalam wawancara daring dengan Tempo pada Kamis, 10 Mei lalu.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri gagal menekan Myanmar setelah keputusan Dewan Keamanan PBB untuk menjatuhkan sanksi atau embargo perdagangan senjata diveto Rusia dan Cina. Sejak terjadi krisis Rohingya pada 2017, Rusia dan Cina dinilai kerap melindungi Myanmar dari segala keputusan hukuman yang akan dijatuhkan Dewan Keamanan. Otoritas Rusia dan Cina berpendapat bahwa situasi politik Myanmar adalah urusan dalam negeri. Anggota Dewan Keamanan lain yang mendukung keputusan itu adalah India dan Vietnam.

Juru bicara kepresidenan, Dmitry Peskov, menyebut pemerintah Rusia menyatakan terus memantau perkembangan situasi di Myanmar. Kremlin, kata Peskov dalam keterangan persnya pada 26 April lalu, mengecam keras segala aksi yang berujung pada jatuhnya korban jiwa di kalangan warga sipil. “Tapi Myanmar harus menyelesaikan masalahnya sendiri,” ujar Peskov.

Adapun pemerintah Cina, seperti dilaporkan CNBC, juga tak banyak bereaksi saat negara-negara mengeluarkan kecaman dan sanksi atas kudeta dan kekerasan yang dilakukan junta militer. Cina dinilai memiliki kepentingan besar dari relasinya dengan Myanmar. Laporan lembaga Administrasi Investasi dan Perusahaan Myanmar menyebut investasi yang dikucurkan Cina pada periode Oktober 2020-Januari 2021 hampir US$ 140 juta. Investasi Cina hanya kalah dari Singapura yang menggelontorkan sekitar US$ 378 juta pada periode yang sama.

Myanmar memiliki peran besar dalam ekspansi program ekonomi Belt and Road Initiative yang dibuat Presiden Cina Xi Jinping. Beijing, seperti dilaporkan Associated Press, bahkan disebut langsung mendesak Myanmar untuk menjamin keamanan personel, properti, dan jaringan bisnisnya ketika terjadi serangan di sejumlah pabrik yang dioperasikan perusahaan Cina pada Maret lalu.

Gejolak politik di Myanmar bakal berdampak besar pada investasi Cina dan keamanan di kawasan perbatasan kedua negara. Kepentingan Cina lain adalah adanya jaringan pipa minyak dan gas yang melintasi Myanmar mempermudah pasokan bahan bakar dari wilayah Samudra Hindia. “Pembangunan pelabuhan dan koneksi di darat antara Cina dan Myanmar membantu memperbesar pengaruh Cina di Samudra Hindia,” ucap peneliti lembaga kajian Chatham House di London, Gareth Price, dalam laporannya pada Maret lalu.

Mantan Duta Besar Singapura untuk PBB, Kishore Mahbubani, menyebut Cina memiliki kepentingan dan investasi besar di Myanmar. Itulah sebabnya Cina tidak menyukai pergolakan di Myanmar karena berisiko mempengaruhi stabilitas kawasan. “Jika mereka memiliki cara dan sumber daya untuk membuat Myanmar bisa stabil, mereka bakal melakukannya,” kata Mahbubani seperti dilaporkan National Public Radio.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (THE IRRAWADDY, MYANMAR NOW, REUTERS, WALL STREET JOURNAL)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus