Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Di Tepi Jurang Perang Saudara

Milisi-milisi bersenjata Myanmar mulai melawan junta militer. Polisi dan tentara lebih keras memberangus demonstrasi penentang kudeta.

10 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penduduk desa etnis Karen yang mengungsi di dalam goa-goa dan pegunungan usai mendapat serangan udara tentara Burma, Myanmar 27 Maret 2021 Free Burma Rangers/via REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Militer lebih keras memberangus demonstrasi penentang kudeta.

  • Milisi-milisi bersenjata Myanmar mulai menyerang tentara dan membela demonstran.

  • Junta membalas dengan serangan udara.

SEPANJANG akhir Maret lalu, sebagian wilayah Negara Bagian Kayin dihujani bom dan serangan udara militer Myanmar. Serangan bertubi-tubi itu memaksa lebih dari 12 ribu penduduk, termasuk anak-anak, di Karen meninggalkan kampung halaman mereka dan mengungsi ke gua-gua di pegunungan. Serikat Nasional Karen (KNU), sayap politik Tentara Pembebasan Nasional Karen (KNLA), milisi bersenjata di Kayin, protes. "Serangan udara itu memicu krisis kemanusiaan," demikian pernyataan KNU seperti dilaporkan Myanmar Frontier pada Sabtu, 3 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Serangan udara itu merupakan balasan atas aksi milisi KNLA yang merebut pos militer di timur Kayin. Sepuluh personel militer tewas dalam baku tembak. Juru bicara junta militer, Mayor Jenderal Zaw Min Tun, mengatakan tentara hanya melancarkan serangan udara satu hari. Sasarannya adalah markas brigade kelima KNLA yang dinilai bertanggung jawab atas serangan ke pos militer. "Kami sudah menandatangani perjanjian gencatan senjata. Jika mereka mematuhinya, konflik ini tak bakal terjadi," ucap Zaw.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak kudeta terjadi pada 1 Februari lalu, militer terus meningkatkan tekanan untuk meredam gejolak masyarakat yang terus berunjuk rasa memprotes pemerintahan junta di bawah kendali Jenderal Min Aung Hlaing. Demonstrasi besar-besaran juga terjadi di Kayin. Berbeda dengan para pengunjuk rasa di kota-kota lain yang sampai diburu tentara dan polisi, para demonstran di Kayin justru dikawal milisi bersenjata KNLA.

Keberadaan dan posisi politik KNU, yang kerap berseberangan dengan pemerintah Myanmar karena menuntut pembentukan negara federal, membuat repot junta militer. Milisi KNLA juga sudah terlibat konflik dengan tentara sejak 1950-an. Di tengah naiknya sentimen negatif publik terhadap junta militer, nama KNLA kian moncer. Milisi itu bahkan melindungi ratusan aktivis antikudeta yang berusaha lari dari kejaran tentara dan polisi.

Perlawanan milisi-milisi bersenjata terhadap tentara Myanmar juga bergolak di daerah lain. Pada Sabtu, 3 April lalu, 10 kelompok milisi bersenjata, yang sebenarnya sudah menandatangani Kesepakatan Gencatan Senjata Nasional, menggelar pertemuan daring membahas situasi keamanan dan keselamatan publik. Seperti dilaporkan AFP, mereka mengecam aparat keamanan yang menggunakan peluru tajam ke para demonstran. "Para pemimpin dewan militer itu harus bertanggung jawab," ujar Jenderal Yawd Serk, komandan Dewan Restorasi Negara Bagian Shan.

Kesepakatan Gencatan Senjata Nasional adalah upaya negosiasi antara pemerintah dan milisi bersenjata sejak 2015 untuk meredam konflik yang sudah berlangsung lebih dari tujuh dekade. Saat itu, baru ada delapan milisi yang menekennya. Kini, menurut Yawd Serk, milisi-milisi itu bakal meninjau ulang kesepakatan tersebut. Menurut dia, isi gencatan senjata juga seharusnya berlaku kepada tentara untuk tidak melakukan aksi mematikan saat menghadapi demonstran. "Saya menekankan, kami selalu mendukung rakyat dan menuntut rezim diktator ini diakhiri," tuturnya.

Zarni Win, perempuan 27 tahun dari Yangon, juga bersiap bergabung dengan salah satu milisi. Sebelum kudeta, Zarni bekerja di komisi yang didanai Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengawasi proses gencatan senjata antara militer Myanmar dan milisi. "Sudah saatnya bersiap melawan teroris militer itu," ujar Zarni, seperti dilaporkan Time, Selasa, 6 April lalu. "Saya siap bergabung ke dalam revolusi bersenjata."

Myanmar kini berada di jurang perang saudara. Utusan Khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, pada akhir Maret lalu sudah memperingatkan mengenai ancaman tersebut. Dia mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mempertimbangkan "langkah khusus" menyelesaikan kudeta Myanmar dan mengembalikan demokrasi di negara tersebut. Menurut Burgener, dalam rapat tertutup dengan Dewan Keamanan PBB, aksi kekerasan yang dilakukan junta mendorong Myanmar menuju negara gagal. "Ini sangat mungkin terjadi di bawah pengawasan kita," demikian pernyataan Burgener dalam dokumen yang didapat Associated Press.

Konflik antara warga Myanmar penentang kudeta dan tentara terus meluas. Aksi kekerasan yang dilakukan tentara dan polisi ketika memburu para demonstran pun kian brutal. Tak lagi sekadar menembakkan gas air mata dan menyemprotkan air bertekanan tinggi, mereka juga menggunakan senjata api berpeluru tajam, senapan mesin, dan peluncur granat.

Sejumlah kota besar di Myanmar, termasuk Yangon, Mandalay, dan Naypidaw, terus diliputi kekacauan. Hal serupa terjadi Kota Bago, sekitar 90 kilometer timur laut Yangon, saat bala tentara Myanmar memburu para demonstran pada Jumat, 9 April lalu. Warga Kota Bago lari tunggang-langgang ketika tentara merangsek sejumlah lokasi yang diduga sebagai tempat berkumpul para demonstran.

Sejumlah saksi yang mengunggah video penyerbuan itu ke Internet menyebut tentara menyerang dengan menembakkan senapan mesin dan peluncur roket. Sedikitnya 20 orang tewas dalam serangan itu. Lebih dari 60 orang dilaporkan terluka. "Ratusan orang sudah meninggalkan kota," tutur jurnalis lepas Myanmar, Mratt Kyaw Thu, lewat akun Twitternya.

Media independen Myanmar Now menyebut serangan di Bago terpusat di kawasan Jalan Ma Ga Dit dan San Taw Dwin sejak pukul lima pagi. Barikade yang dibangun penduduk dengan menumpuk karung-karung pasir dan perabot tak mampu menahan laju tentara. Penyerbuan itu berlangsung hingga lebih dari lima jam dan membuat penduduk di sekitar jalan-jalan itu panik dan mengungsi. "Mereka terus menembak dengan senjata berat," ujar seorang penduduk.

Ye Htut, salah satu pemimpin aksi protes di Bago, menyatakan tentara menduduki Pagoda Zeyar Muni di kota itu dan mengumpulkan jenazah. Menurut Ye Htut, yang namanya masuk dalam daftar buruan junta, ada sekitar 57 jasad di dalam pagoda itu. Para biksu yang berusaha membujuk tentara agar diizinkan mengambil dan merawat para korban terluka pergi dengan tangan kosong. "Ini seperti genosida. Mereka bahkan menembaki setiap bayangan," katanya. "Situasinya seperti di Rakhine. Saya merasa mereka sungguh-sungguh ingin menghabisi warganya sendiri."

Sehari sebelumnya, menurut laporan Irrawady, junta mengerahkan enam truk penuh tentara untuk membubarkan unjuk rasa besar di Kota Taze di wilayah Sagaing di utara Myanmar pada Rabu, 8 April lalu. Namun demonstran di Taze melawan. Kota berubah menjadi palagan perang. Penduduk menggunakan senjata berburu rakitan, bom molotov, dan pisau untuk melawan tentara.

Junta lalu mendatangkan lagi lima truk sarat prajurit ke Taze. Lembaga sipil Myanmar, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), menyebut tentara memberondong demonstran dengan peluru tajam dan granat. Bentrokan itu berlangsung lebih dari dua hari dan mengakibatkan 11 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka.

AAPP menyebutkan lebih dari 600 orang tewas dalam serangan brutal tentara sejak kudeta terjadi. Jumlah korban tewas itu diperkirakan bisa lebih besar karena sulit mengidentifikasi para korban dalam kepungan tentara. Penduduk juga kesulitan mengevakuasi jenazah yang tergeletak di jalan-jalan karena takut ditembak. Sabtu, 28 Maret lalu, tercatat sebagai hari paling kelam setelah 141 tewas ketika tentara dan polisi meredam unjuk rasa.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan kekerasan yang dialami warga Myanmar itu sudah tidak bisa diterima lagi. Dia mendesak pemerintah Myanmar untuk segera melakukan transisi demokrasi. "Terlalu banyak orang terbunuh dan ada penolakan luar biasa untuk membebaskan para tahanan politik agar negara itu bisa melakukan perubahan serius menuju demokrasi," tuturnya.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (MYANMAR NOW, MYANMAR FRONTIER, IRRAWADY, REUTERS, ASSOCIATED PRESS, BBC)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus