Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Perempuan teroris hanya ditemukan di kelompok Jamaah Ansharut Daulah.
Mereka diperkirakan sudah berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Belum ada program deradikalisasi khusus perempuan.
MENDEKAM di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Bandung lebih dari empat tahun, kepribadian Dian Yulia Novi masih tertutup. Perempuan 31 tahun itu enggan mengikuti program pembebasan bersyarat karena masih mengikuti anjuran Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). “Masih ada pengaruh dari suaminya,” ujar peneliti Yayasan Prasasti Perdamaian, Rizka Nurul Amanah, pada Jumat, 9 April lalu.
Dian ditangkap pada akhir 2016 karena berencana meledakkan bom bunuh diri di Istana Negara bersama suaminya, Muhammad Nur Solikin alias Abu Ghurob, 30 tahun. Dian divonis 7,5 tahun penjara, sedangkan Nur Solikin dihukum 11 tahun. Nur kini menghuni Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Banten.
Rizka kerap bertemu Dian, yang biasa disapa Ukhti, di Lapas Bandung dalam program pendampingan narapidana terorisme. Perjumpaan terakhir mereka pada November 2020. Dian, kata Rizka, termasuk narapidana yang pelit bicara. “Kalau dia tidak nyaman, dia enggak bakal ngomong. Kadang saya dapat lebih banyak informasi dari suaminya,” ujar Rizka.
Dian adalah perempuan pertama yang berniat menjadi pelaku bom bunuh diri di negeri ini. Ketika ditangkap, dia membawa bom panci yang siap diledakkan. Waktu itu, dia sedang mengandung janin berusia dua bulan. Sang anak yang kini berusia tiga tahun dititipkan kepada keluarga Dian di Cirebon, Jawa Barat.
Sebelum menjadi simpatisan ISIS, Dian adalah pekerja migran di Taiwan. Dia tertarik dengan pandangan ISIS setelah berselancar di sejumlah grup Facebook dan Telegram. Menggunakan nama Ayatul Nissa, dia berinteraksi di grup bernama Alzaira hingga Millah Ibrahim.
Dian juga rutin berkomunikasi dengan simpatisan ISIS di Indonesia dan Suriah. Kepada seorang perempuan lain bernama Tutin Sugiarti asal Ciamis, Jawa Barat, pada 2015, Dian menyampaikan keinginannya menjadi “pengantin” bom bunuh diri. Ia juga mengatakan ingin menikah sebelum melakukan pengeboman yang disebut dengan “amaliyah”.
Nur Solikin membaiat Dian menjadi anggota ISIS, lalu menikahinya pada Oktober 2016 di Ciamis. Keduanya kemudian pindah ke Bekasi dan indekos di sebuah kontrakan. Dari kamar kosnya mereka merencanakan pengeboman.
Rizka Nurul Amanah mengatakan Dian memutuskan menjadi pelaku bom bunuh diri karena berharap pengampunan dari Tuhan. Dian, menurut Rizka, menganggap menjadi pengebom bisa menebus dosa kedua orang tuanya. Apalagi keluarganya terbelenggu kemiskinan. “Dian juga merasa perlu menunjukkan diri karena selama ini kurang aktualisasi,” ujar Rizka.
Direktur Society Againts Radicalism and Violent Extremism (SeRVE) Siti Darojatul Aliah, atau biasa disapa Dete, mengatakan motif Dian mirip dengan pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Yogi Safitri Fortuna alias Dewi Juwariya. Dewi meledakkan bom panci bersama suaminya, Muhammad Lukman Alfarizi, pada Ahad, 28 Maret lalu.
Penyerang Markas Besar Kepolisian RI, Zakiah Aini, juga diperkirakan memiliki motivasi yang sama. Keduanya pun diduga telah berbaiat kepada ISIS sebagaimana Dian. “Mereka mengira dengan ‘jihad’, mereka mati masuk surga dan mendapatkan syafaat untuk bisa membawa 72 keluarganya ke surga,” tutur Dete. Dalam hitungannya, ada 41 perempuan yang ditangkap dengan tuduhan terlibat terorisme.
Menurut Dete, keterlibatan perempuan dalam terorisme tak mencuat sebelum polisi menangkap Dian Yulia. Kelompok Jamaah Islamiyah, kelompok teror yang lebih dulu muncul dan berkiblat ke Al-Qaidah, tak melibatkan perempuan dan anak-anak dalam operasi bom bunuh diri. “Karena itu, dulu banyak para istri yang bengong saat suaminya ditangkap karena dituduh ikut gerakan terorisme,” ucap Dete.
Pandangan tersebut berbeda dengan propaganda ISIS. Peneliti Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi, Adhe Bhakti, mengatakan ISIS membuat fatwa dengan mencatut hadis riwayat Abu Abdurrahman Ahmad Al-Khurasny atau Imam An-Nasa’i, ahli hadis yang hidup pada abad ke-9. Hadis itu berisi sabda Nabi Muhammad ketika bermusyawarah dengan para sahabat sebelum Perang Uhud. Menurut Adhe Bhakti, hadis tersebut berbunyi, “Apabila kalian memerangi mereka di jalan-jalan, para wanita melempari mereka (dengan batu) dari atas tembok (rumah).”
Adhe Bhakti mengatakan ISIS juga menukil fatwa seorang ulama yang mengajak semua orang untuk melawan jika musuh menyerang suatu negeri. Dalam hal ini, seorang perempuan boleh ikut berperang tanpa izin suami. “Ulama ISIS mewajibkan perempuan untuk turut serta dalam 'jihad' atau 'amaliyah'. Mereka melegitimasi perempuan untuk melakukan serangan,” ucap Adhe. Menurut dia, tujuan ISIS mengajak perempuan melakukan kekerasan juga untuk mempermalukan laki-laki yang tidak berani mati.
Meski tren keterlibatan perempuan dalam terorisme terus meningkat, para peneliti mengatakan pemerintah masih menganggap teroris perempuan tidak berbahaya. Di lembaga pemasyarakatan, menurut Dete, belum ada program deradikalisasi khusus perempuan. “Padahal perempuan juga punya potensi untuk melakukan kekerasan,” ujar Dete.
Dia mencontohkan Ulfa Handayani Saleh. Bersama suaminya, Rullie Rian Zake, mereka mengebom gereja di Pulau Jolo, Filipina, pada Juli 2019. Waktu itu, Ulfa baru saja selesai menjalani rehabilitasi di salah satu panti sosial di DKI Jakarta. “Setelah dipulangkan ternyata masih ganas, masih punya semangat,” tutur Dete.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan deradikalisasi dilaksanakan secara sistematis, terpadu, dan berkesinambungan. “Banyak sekali dinamika yang terjadi,” kata Boy.
Menurut Boy, BNPT mengutamakan membangun kepercayaan dan komunikasi dengan narapidana teroris. “Tentunya masing-masing berbeda responsnya. Ini menandakan upaya mencapai tujuan deradikalisasi tidak semudah membalikkan telapak tangan,” ujarnya.
Rizka Nurul Amanah menyarankan pemerintah melibatkan lebih banyak perempuan dalam pendampingan narapidana terorisme. Kecanggungan narapidana menerima tamu laki-laki merupakan alasannya. Menurut Rizka, keluarga pun bisa menjadi kunci keberhasilan deradikalisasi.
Rizka, misalnya, selalu memberikan kabar soal anak Dian di Cirebon sebelum berbincang soal program deradikalisasi. Mata Dian terlihat berbinar saat mengetahui anaknya sehat walafiat. “Sebab, mereka juga manusia biasa, yang mendambakan kasih sayang dari keluarganya,” tuturnya.
Linda Trianita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo