Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan lembaganya masih mengalami defisit Rp 6,3 triliun meskipun tahun lalu mencatatkan arus kas surplus Rp 18,7 triliun.
Selama pandemi Covid-19, banyak dispute claim yang diajukan rumah sakit kepada BPJS Kesehatan meski badan itu tidak menanggung biaya perawatan seputar Covid-19.
BPJS Kesehatan akan bekerja sama dengan lembaga filantropi untuk membantu pembayaran tunggakan peserta yang nonaktif karena terkena dampak pandemi.
PANDEMI Covid-19 ibarat pisau bermata dua bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pagebluk telah memukul perekonomian dan menyebabkan kemampuan masyarakat membayar iuran merosot. Di sisi lain, pengeluaran BPJS Kesehatan untuk menanggung klaim kesehatan berkurang. “Yang jelas, cash flow menjadi lebih bagus karena utilisasinya turun,” ujar Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya, Rabu, 7 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ghufron, 58 tahun, mengatakan pandemi menjadi momentum untuk membenahi keuangan lembaga yang baru ia pimpin itu. Status bencana non-alam membuat ongkos layanan kesehatan seputar Covid-19 ditanggung negara. BPJS Kesehatan hanya mengurusi administrasi klaim sehingga dana iuran peserta tidak diotak-atik. BPJS Kesehatan, kata dia, masih mengalami defisit sebesar Rp 6,3 triliun meski mencatatkan saldo kas Rp 18,7 triliun sepanjang 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menggantikan Fachmi Idris sejak 22 Februari lalu, Ghufron langsung tancap gas menyerap masukan dari berbagai pihak. Sebelum menerima Tempo, misalnya, mantan Wakil Menteri Kesehatan ini berkomunikasi dengan perwakilan 3.000-an rumah sakit di seluruh Indonesia. Salah satu isu yang dibahas adalah tunggakan pembayaran klaim rumah sakit. “Tolong kami diberi tahu, asalkan (klaim) sudah diverifikasi, bukan dispute ya, segera kami bayar,” ucapnya.
Kepada wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Nur Alfiyah, Ghufron menceritakan kondisi keuangan BPJS Kesehatan, inovasinya untuk mengatasi defisit, kenaikan iuran, hingga dampak pandemi terhadap layanan kesehatan. Ia juga menanggapi persoalan data kepesertaan serta menjelaskan pentingnya sistem cost sharing untuk pemenuhan semua kebutuhan dan permintaan kesehatan.
Anda mengatakan BPJS Kesehatan di pengujung 2020 ada surplus sekitar Rp 18,7 triliun, tapi di saat yang sama masih mengalami defisit. Mengapa disebut surplus padahal faktanya defisit?
Atas usaha teman-teman dan dukungan pemerintah yang luar biasa dengan perubahan peraturan dan segala macam, serta ada Covid-19 yang sebetulnya kita tidak harapkan, sehingga masyarakat tidak datang ke rumah sakit kalau tidak betul-betul perlu. Akibatnya, utilisasinya turun. Akhirnya pembayaran menjadi turun. Maka ada semacam surplus sebesar Rp 18,7 triliun. Ini dari sisi arus kas. Artinya, uang yang kami simpan di bank ada Rp 18,7 triliun. Tapi kami punya kewajiban-kewajiban yang setelah dihitung ternyata sekitar Rp 25 triliun.
Apa saja perincian kewajiban tersebut?
Termasuk outstanding claim, yaitu klaim-klaim yang masih belum kami bayar. Lalu ada istilahnya incurred but not reported, sudah terjadi tapi belum dilaporkan, belum diklaim. Tapi rumah sakit sudah memberikan layanan. Ada pula dispute claim, utang, dan sebagainya. Intinya, posisi aset netto kami masih defisit Rp 6,3 triliun per Desember 2020.
Apakah hal ini yang dikeluhkan oleh rumah sakit?
Kami ingin mengembangkan bahwa BPJS Kesehatan adalah milik bersama, termasuk miliknya rumah sakit. Maka, kalau ada surplus, ya surplus bersama; ada defisit, ya defisit bersama. Kemudian kami bisa berkomunikasi rutin karena, kata mereka, selama ini antara rumah sakit dan BPJS belum begitu ada komunikasi. Terakhir ARSSI (Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia) mensomasi BPJS untuk ketiga kalinya (soal klaim). Sebetulnya enggak usah mensomasi. Komunikasikan saja kalau umpamanya BPJS punya utang. Tolong kami diberi tahu, asalkan sudah diverifikasi, bukan dispute ya, segera kami bayar.
Apa yang sudah Anda lakukan untuk mengatasi persoalan keuangan ini?
Banyak. Kami tentu mengupayakan mengelola keuangan dengan lebih baik. Contoh untuk investasinya juga lebih bagus, utang juga segera kami bayar. Apalagi pemerintah sudah membantu dengan perubahan peraturan untuk kenaikan iuran.
Apakah kenaikan iuran akan dapat menutup defisit?
Penyesuaian iuran yang dilakukan pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 dan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 telah mendorong perbaikan finansial dan menjaga keberlangsungan program JKN-KIS (Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat). Tantangannya adalah mengawal ketersediaan anggaran atas iuran tersebut sesuai dengan peraturan dimaksud. Rasionalisasi APBN dan APBD serta belum pulihnya kondisi perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19 memunculkan risiko tidak optimalnya penganggaran iuran program JKN-KIS khususnya oleh pemerintah daerah.
Seberapa besar pendapatan tambahan BPJS Kesehatan dari kenaikan iuran itu?
Kalau untuk PBI (Penerima Bantuan Iuran—jumlahnya 98,6 juta orang per Desember 2020), lumayan ya, dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Sementara itu, untuk PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) membayarnya Rp 35.000 per bulan untuk kelas III. Pemerintah pusat dan daerah menyubsidi Rp 7.000.
Apa upaya BPJS Kesehatan agar seluruh masyarakat bisa tetap mendapat jaminan kesehatan?
Kami mengembangkan mekanisme pendanaan inovatif. Kami mendorong keterlibatan peserta dan berbagai pihak untuk mendaftarkan dan membiayai masyarakat yang belum menjadi peserta JKN-KIS. Harapannya masyarakat yang belum memperoleh perlindungan jaminan sosial kesehatan bisa segera terdaftar menjadi peserta JKN-KIS.
Seperti apa tindakan konkretnya?
Kami rencananya bekerja sama dengan lembaga-lembaga filantropi, seperti Baznas, Lazismu, dan Lazisnu, untuk bisa mendanai mereka yang, mohon maaf, merasa berat untuk membayar iuran atau punya tunggakan tapi mereka tidak masuk PBI. Jadi iurannya tidak dibayari pemerintah. Tunggakannya bisa mencapai jutaan.
Apakah Anda menjajaki langsung lembaga-lembaga filantropi tersebut?
Kami sudah bertemu dengan beberapa lembaga, termasuk Buddha Tzu Chi. Kami juga sudah ke Wakil Presiden (Ma’ruf Amin) dan beliau sangat mendukung.
Berapa banyak peserta yang bisa dijamin oleh lembaga-lembaga filantropi?
Itu bertahap, tidak bisa langsung besar. Dulu ada program crowdfunding. Cuma perlu disegarkan kembali, komitmennya dinaikkan. Selain untuk peserta baru, ada peserta lama tapi kesulitan membayar iuran karena lama tidak menggunakan dan nonaktif. Jumlah tunggakannya bisa cukup besar. Sewaktu sakit mau memakai harus melunasi dan mereka keberatan. Maka kami buatkan kebijakan, istilahnya direlaksasi, atau dengan dana filantropi tadi kami tambal tunggakannya.
Seberapa besar andil tunggakan itu terhadap defisit BPJS Kesehatan?
Yang jelas jumlah peserta nonaktif meningkat karena dampak pandemi Covid-19. Mereka kesulitan membayar iuran.
Apakah kesadaran masyarakat dalam mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional masih rendah?
Masyarakat sektor informal memang masih sangat tinggi jumlahnya. Banyak negara, seperti Korea Selatan, sewaktu dulu mengembangkan sistem seperti ini sektor informalnya sudah sangat kecil. Di bawah 10 persen dan terus turun di bawah 5 persen. Sedangkan di Indonesia masih besar, sekitar lebih dari 50 persen.
Apakah masyarakat sektor informal sulit diandalkan untuk memenuhi kewajiban membayar iuran?
Saya bisa memahami bagaimana orang tidak punya pendapatan pasti dan terstruktur. Kalau masyarakat kita semuanya seperti pegawai negeri dan pegawai perusahaan, kan gampang. Tapi sekarang tidak begitu. Ada yang penjual bakso, pengantar, dan sebagainya.
Bagaimana dengan dukungan pemerintah selama ini?
Sebetulnya pemerintah sudah luar biasa. Angka kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik sekitar 10,5 persen atau 27 juta jiwa. Pemerintah sudah membayari iuran PBI sebanyak 96,8 juta orang. Sudah lebih dari tiga kali jumlah masyarakat miskin. Artinya, kesadaran masyarakat juga harus kita bangun.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI yang membahas tentang peningkatan kualitas pelayanan JKN di masa pandemi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 17 Maret 2021. /TEMPO/M Taufan Rengganis
Mengapa tingkat kesadaran masyarakat masih rendah?
Ada masyarakat kita kalau mengeluarkan uang untuk merusak kesehatan, misalnya rokok, bisa Rp 150 ribu sebulan. Mampu, lho. Jadi isunya itu willingness to pay dan ability to pay. Kemauan atau kemampuan. Kalau mengeluarkan uang untuk rokok saja mampu, mengapa tidak bisa untuk kesehatan dirinya? Saya kira edukasi kepada masyarakat dan pemangku kepentingan secara umum sebetulnya soal kurangnya sumber daya kesehatan. Masalah pokoknya di situ.
Dibandingkan dengan negara lain, bagaimana kinerja BPJS Kesehatan?
Kenaikan iuran sebelumnya sudah terlihat dampaknya. Cash flow meningkat. Tapi itu bukan satu-satunya faktor. Kali ini ada faktor Covid-19, istilahnya blessing in disguise. Covid-19 merupakan bencana non-alam tapi ada “segi positifnya”. Sekarang masyarakat ke rumah sakit kalau betul-betul penting. Tapi sistem kita agak berbeda dengan banyak negara lain yang memiliki cost sharing. Thailand, misalnya, punya skema 30-Baht Policy, seperti Jamkesmas. Setiap orang membayar 30 baht atau sekitar Rp 10 ribu untuk memanfaatkan layanan rumah sakit. Di Jepang, cost sharing sekitar 30 persen. Korea Selatan dan Taiwan juga begitu. Indonesia tidak ada cost sharing. Orang (peserta BPJS Kesehatan) ke rumah sakit tidak membayar. Padahal seluruh kebutuhan dan permintaan kesehatan tidak akan pernah cukup tanpa menerapkan cost sharing.
Bagaimana agar konsep cost sharing bisa diterapkan di Indonesia?
Masyarakat tetap membayar setiap ke rumah sakit, tapi syaratnya tidak boleh memberatkan. Kalau kita merujuk ke WHO (Badan Kesehatan Dunia), definisi universal health coverage adalah setiap orang setiap saat dan di mana pun harus bisa memperoleh layanan kesehatan mendasar tanpa kesulitan keuangan. Intinya, jangan sampai masyarakat tidak bisa mengakses gara-gara uang. Tapi jangan kemudian sembarangan. Karena sudah dijamin, jadi tidak usah menjaga kesehatan. Kalau sakit tinggal ke rumah sakit. Itu konsep yang salah.
Berapa ongkos yang mesti dibayar masyarakat dengan konsep cost sharing tadi?
Kami belum menghitung secara pasti, tapi secara umum jangan memberatkan. Menurut saya, masyarakat ingin layanan yang baik daripada gratis. Ibaratnya tidak apa-apa membayar iuran tapi jangan didiskriminasi, jangan diberi layanan yang tidak bagus.
Badan Pemeriksa Keuangan melaporkan pengelolaan kepesertaan BPJS Kesehatan selalu bermasalah dan menjadi temuan berulang sejak 2015. Bagaimana pemutakhiran dan validasi data kepesertaan BPJS Kesehatan hingga saat ini?
Orang-orang sering salah paham. BPJS Kesehatan adalah sebuah lembaga publik yang operasional. Kami pengguna data, bukan yang menghasilkan data. Jadi, kalau Anda menanyakan valid-tidaknya data, apakah itu urusannya BPJS? Apakah BPJS berhak mencoret data yang dianggap tidak valid? Tapi orang mengira itu tugasnya BPJS. Saya tekankan bahwa BPJS Kesehatan bukan lembaga penghasil data.
Siapa yang bertanggung jawab atas validitas data?
Data yang berkaitan dengan masalah sosial ada di Kementerian Sosial. Kalau di daerah, tentu dinas sosial. Kalau data PBI, dari Kementerian Sosial yang diserahkan kepada Kementerian Kesehatan, lalu diberikan kepada BPJS Kesehatan.
Lalu apa tugas BPJS Kesehatan berkaitan dengan data?
BPJS Kesehatan siap dan dengan senang hati membantu verifikasi data. Misalnya temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tentang 27,4 juta data PBI yang dinilai bermasalah validitasnya. Kami bantu mengeceknya. Itu sudah kami perbaiki. Masih ada sekitar 1,6 juta yang umumnya dari Papua atau beberapa daerah yang memang agak berat (verifikasinya). Tapi BPJS bukan menentukan siapa penyandang masalah sosial atau orang yang berhak mendapat PBI. Maka kami terus kerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementerian Sosial, apalagi Kementerian Kesehatan, untuk mengecek datanya.
Pemerintah menyiapkan kebijakan kelas standar untuk penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional. Apa dasar peleburan kelas kamar perawatan itu?
Itu diurus oleh Kementerian Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional. BPJS Kesehatan hanya operasional. Jadi kami menunggu.
Apakah pembagian kelas selama ini dianggap kurang berhasil?
Itu sudah diatur idealitasnya dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang BPJS Kesehatan. Bahwa ke depannya tidak membedakan kelas. Semua menjadi satu paket. Untuk bisa begitu, sekaligus juga mendukung biar efisien, itu dihitung kembali berapa kebutuhan dasar kesehatannya. Untuk itu, secara tidak langsung kelasnya standar. BPJS Kesehatan prinsipnya ikut membantu, tapi yang membuat regulasinya dan menentukan bukan kami.
Apa peran BPJS Kesehatan dalam penanganan pandemi Covid-19?
Covid-19 memunculkan masalah serius karena ada dispute claim yang cukup besar. Covid-19 sebetulnya kan bencana. Karena bencana, tentu dalam Undang-Undang Wabah bukan tanggung jawab BPJS Kesehatan. Tapi orang-orang mengertinya ini urusan BPJS Kesehatan.
Seperti apa dispute claim yang terjadi selama pandemi?
Ada banyak rumah sakit yang sudah menjalankan layanan Covid-19. Misalnya soal pemberian imunoglobulin. Orang yang terkena Covid-19 itu banyak darahnya menggumpal. Ada alat yang bisa disewa untuk mencairkan gumpalan itu. Ongkosnya Rp 30-an juta per hari. Padahal ribuan orang yang kena Covid-19. Anda kalikan saja. Itu yang dipertanyakan, apakah dibayar oleh BPJS? Kami tidak punya kemampuan untuk mengatakan apakah imunoglobulin termasuk yang dijamin karena kami hanya mengurusi klaim administratif.
Siapa yang menentukan?
Covid-19 ini kan urusan klinis. Ada yang berhak dan memiliki kemampuan serta ditugasi oleh negara untuk itu. Yang pasti bukan BPJS Kesehatan. Masyarakat dan terkadang beberapa pemangku kepentingan kurang memahami soal ini.
Lalu apa tugas BPJS Kesehatan dalam penanganan pandemi?
Kami ditugasi oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, tentu turunannya dari Presiden, untuk membantu proses klaim. Kemampuan dan keahlian BPJS itu klaim administratif, bukan masalah medis. Dana untuk menangani wabah atau bencana juga bukan dari urunan peserta BPJS Kesehatan. Ini yang kemudian orang sering salah mengira.
Publik sempat dihebohkan oleh kabar adanya rumah sakit yang diduga merekayasa penanganan pasien Covid-19 untuk mendapatkan pembayaran klaim lebih besar. Apakah BPJS Kesehatan mendapati kasus seperti ini di lapangan?
Saya enggak tahu karena belum khusus melihat itu. Tapi, kalau saya baca-baca berita, katanya ada. Itu tentu harus ada semacam tim, medical advisory board, yang mengecek dan melihat apakah ada kasus seperti itu.
ALI GHUFRON MUKTI | Tempat dan tanggal lahir: Blitar, Jawa Timur, 17 Mei 1962 | Pendidikan: Sarjana Kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1986); Dokter Umum dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (1988); Master of Science dari Department of Tropical Hygiene, Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand (1991); Doctor of Philosophy dari Faculty of Medicine University of Newcastle, Australia (2000); Profesor dari Universitas Gadjah Mada (2002); Honorary Degree dari Coventry University, Inggris (2017) | Karier: Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (2008-2011); Wakil Menteri Kesehatan (2011-2014); Pelaksana tugas Menteri Kesehatan (Mei-Juni 2012); Ketua Kelompok Kerja Persiapan Implementasi BPJS Kesehatan (2012-2015); Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (2015-2019); Staf Ahli Menteri Bidang Infrastruktur Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (2020-2021); Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 (2020-2021); Staf Ahli Menteri Bidang Pembiayaan Riset dan Inovasi (Februari 2021); Pelaksana tugas Deputi Penguatan Inovasi Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Februari 2021); Direktur Utama BPJS Kesehatan (sejak Februari 2021)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo