Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kelompok Jamaah Ansharut Daulah mendorong perempuan untuk ikut melakukan teror.
Mereka tidak lagi sekadar terseret, tapi jadi penyebar paham radikal dan pelaku teror.
Deradikalisasi di panti sosial tak sepenuhnya berhasil.
SEBUT saja dia Wahidah. Perempuan 26 tahun itu meminta identitasnya disamarkan untuk melindungi keluarganya.
Empat tahun lalu, empat polisi Singapura berpakaian sipil merangsek ke rumah majikannya di Negeri Singa. Mereka langsung menuju kamar Wahidah dan mengobrak-abrik seluruh isi ruangan. Polisi mendapati beberapa helai baju burkak dan cadar. Mereka juga menemukan bukti yang dicari: riwayat percakapan Wahidah dengan seorang lelaki di telepon selulernya.
“Saya ditangkap karena ada percakapan dengan pria yang mengajak saya menikah dan berjihad ke Suriah,” Wahidah menceritakan lagi kejadian itu kepada Tempo, ketika ditemui di salah satu kota di Jawa Tengah pada Kamis, 8 April lalu.
Sebelum ditangkap, Wahidah sudah bekerja di Singapura selama dua tahun sebagai perawat orang tua majikannya. Selama itu, majikannya menganggap pekerjaannya baik. Sebelum polisi menggerebeknya, kontraknya baru saja diperpanjang. Majikannya tak menyangka Wahidah terlibat kelompok teror.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wahidah , perempuan yang sempat direkrut ISIS./TEMPO/ Pito Agustin Rudiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi membawa Wahidah ke Kedutaan Besar Republik Indonesia. Dia mendekam di ruang tahanan yang sempit, hanya berisi kasur, kursi, dan meja kecil. Selama dua hari ditahan, petugas berkali-kali menginterogasi Wahidah. Dia diminta menjelaskan semua yang diketahuinya mengenai pria yang berencana mengajaknya hijrah ke Suriah dan bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Kepada polisi, Wahidah menjelaskan pria tersebut bernama alias Young Farmer, yang juga disebut sebagai Abu Nakir Shaab, berumur 23 tahun, dan berasal dari Bandung. Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI menangkap Abu Nakir dan jaringannya di daerah Antapani, Bandung, pada Oktober 2017. Mereka disebut sebagai bagian dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bandung Raya, yang berencana meledakkan bom di Istana Negara, Jakarta; dan Markas Komando Brigade Mobil di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Ternyata, polisi sudah lama mengincar Wahidah dan Abu Nakir. Petugas yang menginterogasi Wahidah sempat menunjukkan sejumlah foto perempuan lain. Wahidah mengaku hanya mengenali beberapa perempuan. “Dari situ saya tahu, Young Farmer juga mengiming-imingi ajakan serupa kepada banyak perempuan dan mengajak mereka menikah,” ujarnya.
Mantan narapidana terorisme, Sofyan Tsauri, di Jakarta, Kamis, 10 Agustus 2017./TEMPO/Imam Sukamto
Abu Nakir diduga meminta uang dari para perempuan tersebut. Salah satunya adalah Anggi Indah Kusuma alias Khanza Syafiah Al-Furqon, pekerja migran Indonesia di Hong Kong. Polisi menangkap Anggi lebih dulu karena terdeteksi menyiapkan serangan ke PT Pindad dan Markas Komando Brimob di Depok.
Kepala Fungsi Penerangan Sosial dan Budaya Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura, Ratna Lestari Harjana, belum bisa memberikan konfirmasi riwayat penangkapan Wahidah di Singapura. Menurut dia, terorisme adalah kasus sensitif sehingga pemerintah perlu berhati-hati menyampaikan identitas seseorang. “Kami perlu koordinasikan dulu,” tuturnya. “Informasi seperti itu tak mudah diingat karena pejabat dan pegawai di kedutaan kerap berganti setiap tiga tahun.”
•••
PERKENALAN Wahidah dengan Abu Nakir Shaab bermula dari kisah patah hati. Kekasih Wahidah memutuskan hubungan sebulan sebelum perempuan itu ditangkap kepolisian Singapura pada akhir 2017. Dalam keadaan galau, Wahidah mencari pelarian dengan mendalami agama.
Dia mengikuti grup pengajian komunitas Melayu Singapura dan Malaysia di Facebook dan Telegram. Di situlah dia mengenal Abu Nakir, yang kemudian gencar mengenalkan paham Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Menurut Wahidah, Abu Nakir memukaunya dengan mengatakan pengikut ISIS akan masuk surga. “Halal darahnya orang-orang yang tak sepemahaman dengan ISIS,” ujar Wahidah, mengulangi ucapan Abu Nakir.
Abu Nakir lantas membaiat Wahidah menjadi anggota ISIS lewat sambungan telepon. Belakangan, Wahidah baru mengetahui bahwa lelaki tersebut bekerja sebagai buruh di rumah jagal ayam di Bandung.
TEMPO/Imam Sukamto
Pemuda yang baru dikenalnya itu berjanji akan menikahinya jika dia bersedia ikut berperang bersama milisi ISIS di Suriah. Wahidah mengaku terbuai dengan ajakan itu. Keduanya semakin akrab. Mereka bahkan sempat menggunakan panggilan sayang. “Dia memanggil saya ‘Mee’. Saya memanggil dia dengan ‘Bee’,” ucapnya. Panggilan tersebut merujuk pada sebutan “abi” dan “umi”.
Sejak perkenalan itu, Young kerap mengirim tautan situs yang berisi ajaran “jihad”. Dia juga meminta Wahidah mengganti gaya busananya dari berjilbab saja menjadi mengenakan burkak. Dia mematuhi permintaan itu dengan mengenakan burkak saat tak berada di rumah sang majikan.
Dalam sekejap, Wahidah berubah. Dia menuruti ucapan Abu Nakir bahwa orang-orang yang tidak sepaham dengan ISIS adalah kafir meski beragama Islam. Wahidah pun menjadi rajin membaca dokumen digital berbahasa Indonesia tentang ISIS kiriman sang pacar baru. “Saya jadi merasa beda dengan yang lain,” kata Wahidah. “Merasa paling benar dan yang lain salah. Seperti orang takabur.”
Setelah ditangkap dan dibawa ke Jakarta, Wahidah menjalani program deradikalisasi di sebuah panti sosial di Jakarta Timur bersama sepuluh perempuan yang senasib. Perlahan, paham yang dijejalkan Abu Nakir memudar.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menggunakan panti yang dikelola Kementerian Sosial tersebut untuk merehabilitasi simpatisan ISIS ataupun tahanan kasus terorisme. Jumlah yang direhabilitasi mencapai ratusan orang. Mereka wajib menjalani program deradikalisasi dan menyatakan ikrar setia kepada negara Indonesia sebelum dibebaskan.
Abu Nakir ternyata juga dititipkan di panti yang sama dengan Wahidah, tapi gedungnya berbeda. Setelah bertemu muka, mereka justru tak lagi berhubungan. Sesekali saja keduanya berkomunikasi. Wahidah memilih mengambil jarak karena tak mau terperosok lagi. Dia insaf.
•••
JIKA Wahidah terselamatkan, sejumlah perempuan lain justru terlibat makin dalam. Sejak paham ISIS masuk ke Indonesia pada 2015, jumlah perempuan di pusaran jaringan terorisme makin banyak.
Peran mereka mulai terungkap saat Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI menangkap Dian Yulia Novi yang disebut sebagai calon “pengantin” bom bunuh diri di Istana Negara pada 2016. Sejak saat itu, sedikitnya 41 perempuan ditangkap polisi.
Peran mereka beragam. Selain menjadi calon pelaku bom, ada juga yang menjadi penyandang dana hingga penyebar ideologi ISIS. Pelaku bom gereja di Surabaya pada 2018, Puji Kuswati, bahkan disebut polisi memiliki keahlian merakit bom. Sarjana kimia itu dikabarkan sempat membuat 40 bom dan disebar ke kelompok lain.
Di panti sosial tempat Wahidah menjalani deradikalisasi, ada perempuan yang sudah mengikuti pelatihan bela diri dan memanah. Ada juga yang pernah menjalani i’dad—latihan fisik untuk persiapan perang—di Poso, Sulawesi Tengah. Wahidah mengaku baru sampai tahap mempelajari ideologi ISIS, belum mengikuti pelatihan lain. “Kawan-kawan yang lain sebelumnya lumayan aktif,” ujarnya.
Bekas narapidana kasus terorisme, Sofyan Tsauri alias Abu Ayas, mengatakan peran perempuan dalam kelompok Jamaah Ansharut Daulah lebih menonjol ketimbang jaringan Jamaah Islamiyah. “Perempuan dari JAD bahkan berani menceraikan suaminya jika berbeda pandangan soal agama,” tuturnya.
Sofyan pernah menemui pasangan pelaku bom gereja di Jolo, Filipina, pada 2019, Rullie Rian Zake dan Ulfa Handayani, sewaktu mereka menghuni panti sosial yang sama dengan Wahidah. Pasangan itu, menurut dia, sulit diajak berikrar setia ke negara Indonesia. Salah satunya karena sikap keras Ulfa. Selepas dari panti, mereka pun kembali terlibat dalam jaringan teror.
Menurut juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Irfan Idris, keterlibatan perempuan dalam kasus terorisme merupakan buah propaganda ISIS. Mereka yang semula hanya terseret belakangan aktif menyebarluaskan paham radikal, bahkan menjadi pelaku teror. Berdasarkan pemantauan BNPT, kata Irfan, “Para perempuan memiliki kekuatan untuk mengajak anak dan suami terpapar paham radikalisme agama.”
Ahmad Michdan, Koordinator Tim Pengacara Muslim, yang kerap dimintai bantuan hukum dalam perkara terorisme, mengatakan baik perempuan maupun laki-laki yang terlibat dalam jaringan teror adalah korban propaganda. Mereka, kata Michdan, kerap keliru menerjemahkan makna “jihad”. “Di sinilah peran ulama diperlukan untuk menjelaskan pandangan yang benar,” ucapnya.
Michdan menilai penanganan kasus terorisme saat ini tidak berhasil menghilangkan masalah. Menurut dia, operasi pemberantasan terorisme yang kerap berujung pada kematian justru akan memunculkan perlawanan dari kelompok teroris.
Riky Ferdianto, Pito Agustin Rudiana
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo