DAERAH tak bertuan di Libanon Selatan memang bukan tempat yang aman. Tapi sekitar 400 orang Palestina mendirikan tenda-tenda dan berlindung di situ. Mereka adalah orang Palestina yang diusir Israel keluar dari Jalur Gaza dan Tepi Barat, serta ditolak masuk ke Libanon, Desember lalu. Pemerintah Israel menuduh mereka anggota kelompok militan Hamas dan Jihad Islam yang membunuh enam tentara Israel. Pekan lalu, Israel mengirim 13.000 roket dan mortir ke Libanon Selatan untuk membersihkan kawasan itu dari gerilyawan Hisbullah. Terang saja keamanan orang usiran ini terancam. Sehari setelah serangan Israel itu, mereka melayangkan surat ke Sekjen PBB, Boutros-Boutros Ghali. Isi surat, mendesak Dewan Keamanan PBB agar segera melindungi dan memulangkan mereka ke wilayah pendudukan Israel. ''Kami menghadapi tragedi kemanusiaan dan dikepung meriam Israel dan Hisbullah,'' kata surat itu. Sebenarnya, PBB telah memerintahkan Israel memulangkan semua orang yang diusir, sehari setelah pengusiran, lewat resolusi 799. Israel dianggap telah melanggar UU internasional. Tapi izin pulang baru diberikan Israel paling cepat 9 - 24 bulan setelah pengusiran. Sekali lagi Boutros Ghali meminta DK-PBB menjatuhkan sanksi kepada Israel. Dua bulan setelah pengusiran, Israel menawarkan pemulangan orang usiran secara bertahap. Seratus orang dipulangkan lebih dulu, sisanya sebelum akhir tahun. Usul itu ditolak orang yang diusir itu. Pulang semua atau tak seorang pun, kata mereka. Mereka baru setuju setelah Ketua PLO Yasser Arafat dan Presiden Mesir Husni Mubarak mengusulkan jadwal yang pasti. Sepertiga dari orang usiran itu dipulangkan segera, sepertiganya lagi sebelum April, dan sisanya paling lambat Juni. Ternyata rencana tinggal rencana. Sampai gempuran Israel atas Libanon Selatan pekan lalu, rencana itu belum dilaksanakan dan sejauh ini DK-PBB diam saja. Entah kapan mereka bakal pulang. Israel, yang puya kuasa di kawasan itu, rupanya bersikap semau gue. Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini