Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Resep anti-bersin di jepang

Pihak koalisi di jepang menjanjikan pelaksanaan pembaruan politik. bersepakat mengubah sistem pemilu. lebih mengarah pada kemakmuran kota dan lebih nasionalis.

14 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKEMBANGAN politik di Jepang sekarang ini memang perlu lebih diamati. Pertama, para ''macan dan naga'' Asia yang memiliki model ''negara pembangunan'' semacam Jepang ini bisa belajar banyak. Kedua, dahulu di Jepang ada pepatah: bila AS bersin, Jepang akan terkena pilek. Ini sebenarnya akan berlaku terhadap hubungan Jepang-Indonesia. Tulisan dibuat ketika Jiminto (LDP) menggunakan taktik parlemen untuk memperlambat pembentukan kabinet baru nonJiminto, bentukan dari aliansi delapan partai. Namun, langkah Jiminto itu akan kian membuatnya tidak populer, dan kabinet koalisi tetap akan terbentuk. Hanya saja, ciri suatu pemerintahan koalisi di mana pun adalah ketidakstabilannya. Pihak koalisi terdiri dari dua partai yang memperjuangkan kepentingan daerahnya: Nihon Shinto, yang pemimpinnya, mantan Gubernur Kumamoto Morihiro Hosokawa, 55 tahun, dicalonkan menjadi PM dan Sakigake, di bawah Masayoshi Takemura, 58 tahun, mantan Gubernur Shiga. Juga didukung Shinseito, yang para pemimpinnya juga eks LDP, yaitu Tsutomu Hata dan Ozawa, yang konservatif kanan (Ozawa pemrakarsa kebijaksanaan pengiriman pasukan perdamaian Jepang). Kemudian tiga partai sosialis: Shakaito (sosialis) yang didukung kelompok kiri dan moderat Minshato yang moderat dan Shaminren, partai buruh. Baik Shinseito maupun ketiga partai sosialis itu memiliki basis di perkotaan, dengan pihak yang belakangan didukung oleh kaum buruh dan kelompok liberal. Selanjutnya: Komeito, partai Budhisme yang juga berbasis di perkotaan, didukung oleh pedagang kecil dan kaum ibu rumah tangga. Jelas dari para pendukungnya, bisa dibayangkan salah satu program koalisi: memenuhi tuntutan daerah dan kelompok perkotaan yang dulu selalu disepelekan oleh pemerintahan Jiminto yanq probisnis. Tapi perlu diingat, pihak koalisi juga menjanjikan pelaksanaan pembaruan politik yang berdampak pada hubungan politisi dengan bisnis (terutama yang besar), sebagai reaksi terhadap pelbagai skandal yang mencemarkan Jiminto. Yang juga perlu segera diatasi adalah resesi ekonomi di Jepang. Mengenai program pembaruan politik tadi, pihak Shinto, Sakigake, dan Shinseito bersepakat mengubah sistem pemilu. Caranya, sebagian kursi di parlemen akan ditentukan lewat sistem perwakilan tunggal yang mewakili daerah, dan sebagian lagi lewat sistem proporsional yang mewakili partai. Sejak lima tahun lalu, daerah tidak sabar dengan sikap Tokyo yang dianggap lamban. Padahal, pembangunan daerah berlangsung cepat. Mereka berlomba menarik PMDN dan membuka hubungan dagang dengan luar negeri. Mereka takut ditelantarkan oleh perubahan struktur ekonomi Jepang, hingga mengundang industri teknologi tinggi (tek-ti) dan robotisasi untuk mengatasi kekurangan buruh. Program kubu sosialis lebih mengarah pada kemakmuran masyarakat kota, menyangkut penyediaan dana perumahan, pembangunan infrastruktur, kredit untuk bisnis dan industri kecil, serta lingkungan hidup yang lebih bersih. Juga, memperkuat daya kompetisi internasional industri menengah-kecil melalui restrukturisasi. Di sini program Komeito mirip kelompok sosialis. Sementara itu, Shinto yang konservatif didukung bisnis dan industrialis besar, pekerja kerah putih, dan kaum konservatif. Semua pendukung koalisi setuju mendahulukan kepen tingan konsumen di atas kepentingan produsen. Dengan kata lain, proses politik kian kompleks dan pluralis akibat penetrasi kepentingan daerah dan kelompok itu. Mereka juga akan menggunakan momentum ini untuk terus mencemarkan citra Jiminto dengan menyeret para politisi yang korup ke pengadilan. Di sini Jiminto bisa menawarkan political trade- off: mengurangi taktik parlemen yang mempersulit pihak koalisi, asalkan tuntutan hukum kurang digalakkan! Untuk mengurangi resesi, kabinet Miyazawa pernah merencanakan penyaluran dana US$ 120 miliar bagi program domestik. Pihak koalisi bisa meneruskan janji Miyazawa itu. Timbul pertanyaan, dari mana uangnya? Sebagian mungkin akan diambil dari tabungan rakyat Jepang yang umumnya disimpan di kantor pos. Pada tahun fiskal 1985, misalnya, 24,8% dana untuk investasi dan pinjaman diperoleh dari tabungan pos itu, 10% asuransi di kantor pos, dan 15,3% dari dana pensiun. Pemerintah bisa menambahnya dengan kebijaksanaan defisit melalui penjualan kertas berharga pemerintah (Ozawa, yang makin berpengaruh dalam tubuh koalisi, mengesampingkan tindakan penurunan tingkat bunga bank dan pemotongan pajak). Jadi, perekonomian akan tertolong dengan mengandalkan kebijaksanaan domestic-led growth. Pihak birokrat di kementerian keuangan segera menentang rencana kebijaksanaan defisit ini. Akibatnya, pihak koalisi pun berkompromi, untuk sementara. Namun, akan makin terbukti bahwa pihak politisi nantinya berperan lebih penting ketimbang birokrat dalam pengambilan kebijaksanaan. Dalam kebijaksanaan ekonomi eksternal, perhatian terhadap kepentingan konsumen akan membantu melunakkan friksi dagang Jepang dengan para mitranya. Namun, dalam sektor tertentu, terutama tek-ti, sikap koalisi akan lebih nasionalis. Para pendukung pemerintah koalisi akan lebih sulit berkompromi dalam politik luar negeri, termasuk masalah hak asasi manusia, dan bantuan luar negeri. * Ketua Jurusan Hubungan Internasional FISIP UI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus