SEBELAS truk bermuatan polisi dengan suara gemuruh bergerak
menuju Jalan Mokotowska, Warsawa. Salju masih turun malam itu.
Secara mendadak mereka mengepung bangunan bertingkat lima-kantor
pusat Solidaritas. (Solidarnosc), serikat buruh bebas Polandia.
Beberapa jam kemudian, 13 Desember pagi, Jenderal Wojciech
Jaruzelski, PM merangkap Sekretaris Pertama Partai Persatuan
Pekerja Polandia (P4), lewat pidato radio menyatakan Keadaan
Darurat di seluruh negeri itu. "Negeri kita sudah di tepi jurang
(kehancuran)," katanya dengan suara gemetar. "Kemerosotan moral
dan kekacauan sudah mencapai tingkat yang membahayakan."
Karenanya, Jaruzelski kemudian melarang semua organisasi
menyelenggarakan kegiatan politik dan pertemuan apalagi
berbentuk demonstrasi dan pemogokan. Dan untuk menjamin
terselenggaranya pemerintahan sehari-hari, dia mengumumkan
pembentukan Dewan Keselamatan Nasional yang beranggotakan 20
perwira tinggi dan menengah. "Kami tidak bermaksud mengambil
alih kekuasaan (dan menggantikannya) dengan pemerintahan
diktator militer," katanya memberi alasan pembentukan dewan itu.
Tapi "Polandia adalah dan tetap akan merupakan kekuatan Pakta
Warsawa serta tak akan mundur dari keanggotaan masyarakat
sosialis."
Pidato Jaruzelski selama 23 menit itu jelas ditujukan pada
Solidaritas. Sehari sebelum pengumuman Keadaan Darurat, sejumlah
pemimpin serikat buruh bebas itu (juga Lech Walesa, ketuanya)
menyelenggarakan pertemuan di Gdansk. Dari kota kelahiran
Solidaritas tersebut, mereka meminta agar pemerintah segera
menyelenggarakan referendum untuk mendirikan pemerintahan
nonkomunis dan meninjau kembali hubungan militer Polandia dengan
Uni Soviet. Mereka juga menyerukan pemogokan total di seluruh
Polandia jika pemerintah memberlakukan Keadaan Darurat.
Ultimatum dan ancaman itu, tentu saja, menggusarkan para
penguasa militer di Warsawa. Solidaritas, demikian Jenderal
Jaruzelski, membikin Polandia kacau. Dengan dalih demi pemulihan
keamanan, penguasa militer segera melancarkan pembersihan.
Ribuan anggota dan sejumlah pemimpin Solidaritas ditangkap.
Bekas Sekretaris P4 Edward Gierek, bekas PM Piotr Jaroszewicz,
dan 15 anggota Politbiro juga ditahan. Sampai pekan lalu, jumlah
tahanan politik tersebut konon sudah mencapai 45 ribu orang.
Sementara itu, Lech Walesa dikabarkan masih ditahan di sebuah
villa di luar Warsawa.
Serangkaian timlakan represif tezim Warsawa tersebut dengan
cepat mengundang kecaman. Pernyataan Keadaan Darurat itu "jelas
menginjak hak-hak asasi manusia," ujar Uskup Agung Katolik
Polandia Josef Glemp. "Penderitaan kami, penderitaan seluruh
bangsa yang kena teror para penguasa militer."
Tapi Rude Pravo, koran Partai Komunis Cekoslowakia, justru
menyebut tindakan itu suatu upaya "mempertahankan sosialisme".
Sikap pemerintah Warsawa, tulis koran itu, jelas lebih
mengutamakan terselenggaranya kehidupan sehari-hari di seluruh
negeri. "Kawan-kawan kita di Polandia tidak berjuang sendirian,
kami akan mendukun mereka."
Akankah loskow turut campur? Sampai pekan lalu, belum tampak
tanda-tanda Soviet menggerakkan dua divisi tentaranya yang
ditempatkan di Polandia. Juga pasukannya di Jerman Timur (19
divisi) dan Cekoslowakia (lima divisi) dikabarkan masih
tenangtenang saja. Soviet tampaknya mempercayai pergolakan itu
bisa diselesaikan Jaruzelski sendiri.
Jaruzelski tentu masih ingat akan peristiwa 25 tahun lalu ketika
terjadi huru-hara yang menghendaki "kebebasan dan roti murah" di
Polandia dan Hongaria. Uni Soviet ketika itu membiarkan tentara
Polandia menindas sendiri perlawanan di dalam negerinya.
Sementara itu, tentara Soviet menindas demonstrasi di Budapest
(Hongaria). Lebih dari 25 ribu orang tewas dalam penumpasan yang
brutal di Budapest tersebut. Penumpasan brutal serupa
diulanginya kembali (tahun 1968) atas Cekoslowakia ketika
Pemimpin Partai Komunis Alexander Dubcek menjanjikan perubahan
"sosialisme dengan wajah kemanusiaan". Soviet ketika itu
mengirimkan sekitar 200 ribu tentara Pakta Warsawa ke sana.
PERISTIWA buruk seperti itu belum tentu terjadi di Polandia.
Namun Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), menurut
pernyataannya, akan mengenakan sanksi ekonomi dan diplomatik
jika Uni Soviet sampai mengirimkan tentaranva ke wilayah
bergolak tersebut. Pendeknya, "sekutu tetap mengikuti dengan
penuh perhatian setiap perkembangan di sana," kata Sekjen NAT0
Joseph Luns.
Peringatan serupa juga dikemukakan 10 menteri luar negeri
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Mereka meminta secara tidak
langsung agar Moskow mematuhi PersetuJuaI Helsinki (1975) yang
ditandatanani 3 5 negara-- termasuk Uni Soviet. Menurut
persetujuan itu, setiap negara penandatangan tidak diperbolehkan
mencampuri urusan dalam negeri negara lainnya. "Biarlah rakyat
Polandia menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa campur tangan
pihak luar (Soviet)," kata pernyataan bersama tersebut.
Di Polandia bentrokan terjadi di berbagai kota. Satuan keamanan
yang bersenjatakan tameng baja dan senjata pentungan, misalnya,
baku hantam dengan ratusan buruh pabrik traktor Ursus di
Warsawa. Di Katowice, wilayah pertambangan batu bara dan pabrik
baja, terjadi ( 17 Desember) bentrokan berdarah yang menewaskan
tujuh buruhan melukai sedikitnya 39 polisi. Dalam usaha
membubarkan pemogokan di kawasan itu, polisi dikabarkan telah
melepaskan tembakan.
Sementara itu di Gdansk, kota di tepi laut Baltik, ratusan buruh
dan penduduk sipil dikabarkan luka-luka dalam duel terbuka di
jalanjalan raya. Dengan kendaraan lapis baja, satuan tentara
bersenjata api dikabarkan telah mendobrak pintu gerbang galangan
kapal raksasa Lenin di Gdansk. Dan ketika ribuan tentara itu
menyerbu masuk, puluhan pamflet dilemparkan lewat jendela sebuah
gedung di halaman galangan kapal tersehut. "Jangan mundur. Jika
kita mundur hari ini, kita akan menguburkan harapan akan
kebebasan untuk beberapa tahun mendatang," bunyi salah satu
pamflet. "Ribuan orang tak akan bisa mengalahkan 10 juta anggota
Solidaritas."
Untuk menggelorakan perlawanan, sejumlah pemimpin Solidaritas
yang masih bebas kemudian tetap menyerukan pemogokan yang
direncanakan di seluruh Polandia pekan lalu. Keadaan Darurat
berlalu mendahului rencana. Pemogokan total itu yang sekaligus
bertujuan mengenang peristiwa berdarah di Gdansk 11 tahun lalu.
Ribuan buruh galangan kapal Lenin, ketika itu (Desember 1970),
turun berdembnstrasi gara-gara pemerintah menaikkan harga roti
(makanan pokok rakyat setempat). Tapi akibat duel dengan satuan
keamanan, sejumlah 55 buruh tewas dalam kerusuhan berdarah itu.
Beberapa hari kemudian Wladyslaw Gomulka, Sekretaris Pertama
Partai, dicopot. Dia digantikan Edward Gierek.
Solidaritas, motor kebangkitan kaum buruh Polandia, lahir di
pantai Laut Baltik. Embrio kelahirannya ditandai dengan
terbitnya (Januari 1979) majalah dwi bulanan Pekera Pantai,
organ komite pendiri serikat buruh bebas. Diamdiam para
pendirinya, antara lain Lech Walesa, mengembangkan organisasinya
di kalangan kaum buruh di Gdansk.
Ketika pemerintah Polandia secara mendadak menaikkan harga
daging dua kali lipat, serikat buruh bebas itu mulai menunjukkan
giginya. Ribuan anggotanya, 14 Agustus 1980, serentak
melancarkan pemogokan dan menguasai galangan kapal Lenin,
Gdansk. Sebagai kompensasi atas kenaikan harga daging, mereka
menuntut agar pemerintah menaikkan gaji buruh.
Tak lama sesudah pemogokan itu melibatkan 300 ribu buruh di
wilayah Baltik, Warsawa mengabulkan tuntutan tersebut. Bahkan
pemerintah juga memenuhi permintaan kenaikan gaji, melonggarkan
sensur atas media cetak dan membolehkan buruh menyatakan
pendapatnya secara bebas. Beberapa pekan kemudian, pengadilan
tinggi di Warsawa (14 Oktober 1980) mengesahkan berdirinya
Solidaritas sebagai satu-satunya serikat buruh bebas. Dan ketika
Sekretaris Partai Stanislaw Kania (14 November) menerima
kunjungan Lech Walesa, sebagai pemimpin Solidaritas, maka
resmilah pemerintah mengakui serikat buruh itu.
Ada 60 organisasi buruh dengan 17 juta anggota di Polandia.
Diantara semua itu, Solidaritaslah yang terbesar-anggotanya 10
juta. Solidaritas dicurigai dan dituduh berusaha menumbangkan
sistem komunis, dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan
lain. Walesa membantah "Saya adalah orang serikat buruh bukan
politikus," katanya merendah.
Namun terjadi pergolakan politik karena kehadiran Solidaritas.
Sudah ribuan orang Polandia (terutama dari lapisan atas) yang
meminta suaka politik ke beriaagai negara Eropa Barat. Selain
itu ekonomi Warsawa juga terpukul hebat. Cadangan mata uang
asing dan emas pemerintah itu diperkirakan (sampai September
lalu) hanya tinggal US$ 200 juta. Pinjamannya dari,berbagai bank
dan sejumlah pemerintah negara Barat berjumiah US$ 27
milyar--dan pada tahun 1985 diperkirakan akan mencapai US$ 33
milyar. Tak ada kemampuannya mencicil utang itu.
Bank Handlowy, bank sertral Polandia, meminta penangguhan
pembayaran cicilan utangnya sebesar US$ 2,4 milyar kepada 460
bank yang seharusnya dilunasi akhir tahun ini. Dan untuk
membayar bunga pinjaman saja tahun inr, Bank Handlowy cabang
London meminta sejumlah bank Barat mengulurkan kredit komersial
US$ 350 juta. Di New York, permintaan tersebut ditanggapi Morgan
Gllaranty Trust (yang mewakili konsorsium sejumlah bank
terkemuka di sana) dengan dingin. Gedung Putih kabarnya menekan
pula berbagai bank AS agar tak segera memberikan pinjaman.
Krisis yang dihadapi Bank Handlowy itu menunjukkan bahwa
pinjaman US$ 2,5 milyar yang diberikan Moskow tak banyak membawa
perbaikan.
Bagai tak mengenal rasa putus asa, dengan berbagai cara Polandia
berusaha menanggulangi krisis keuangannya. Romuald Spasowski,
Duta Besar Polandia di AS, misalnya, sampai mengetuk pintu
Departemen Luar Negeri AS meminta bantuan pangan darurat sebesar
US$ 200 juta. Dia menolak menjawab apakah permohonan tersebut
dikabulkan. Sampai akhir tahun ini, bantuan pangan dari
Washington ke negeri itu sudah mencapai US$ 765 juta. Karena tak
suka Jenderal Jaruzelski memberlakukan Keadaan Darurat, Presiden
Reagan menunda pengiriman bantuan pangan Amerika seterusnya.
Dari MEE, Polandia masih akan menerima bantuan pangan tambahan
berupa 8.000 ton daging. Sebelumnya MEE juga telah menyetujui
menyalurkan 663 ribu ton gandum dan 77 ribu ton daging. Tapi
segala bantuan tersebut tak banyak menolong. Untuk mendapat
dagin dan roti, rakyat Polandia harus antre beramalam dalam
cuaca musim dingin yang menggigit.
Bahkan untuk memperoleh bahan makanan yang terbatas itu,
sejumlah rakyat Polandia tak segan-segan mencuri di toko
makanan, di gudang penyimpanan makanan, dan merampok ternak.
Awal Desember ini, misalnya, terjadi perampokan nekat di dalam
sebuah trem yang sedang melaju di tengah keramaian kota Warsawa.
Sejumlah orang bersenjata pisau dalam suatu operasi kilat 10
menit berhasil mengambil alih jam tangan, uang, perhiasan, dan
bahan makanan penumpan trem itu.
Selama sepuluh bulan terakhir ini, demikian Mayor Jenderal Josef
Bejm, Kepala Kepolisian Warsawa, tindak kekerasan dan pencurian
meningkat sebesar 42%. Pemogokan yang melibatkan kaum buruh itu,
juga menyebabkan produksi batu bara, dan sejumlah hasil industri
(seperti televisi dan traktor) turun dengan ujam. Jika Warsawa
ingin memulihkan kembali tingkat produktivitas buruh Polandia,
menurut Prof. Raczkowski, Penasihat ekonomi untuk pemerintah,
penguasa harus melakukan demokratisasi di bidang industri.
Maka ketika sejumlah bank Barat mulai mengetatkan bantuannya,
rakyal berbagai negara Eropa Barat justru mengirimkan hadiah
Natal kepada rakyat Polandia. Awal Desember, misalnya, rakyat
Belanda mengirimkan hadiah Natal yang dimuat dalam 140 truk lori
iungguh menyedihkan, sekali ini rakyat Polandia merayakan Natal
justru di bawah ancaman pemerintah sendiri.
Dari Roma, Paus Johannes Paulus II menghimbau pula supaya rakyat
Polandia menghindari pertumpahan darah Pemimpin gereja Katolik
seluruh dunia itu, kelahiran Krakow (Polandia), sebe lumnya
dikenal sebagai Karol Wojtyla Kardinal Polandia. "Jangan ada
lagi darah rakyat Polandia yang tumpah," katanya di depan 30
ribu jamaah di Gereja St. Peters, Roma. "Sudah banyak darah
rakyat Polandia tumpah selama Perang Dunia II." Pada masa itu,
diperkirakan lebih 300 ribu rakyat Polandia terbunuh.
Anjuran pemimpin umat Katolik tersebut untuk sementara waktu
dipatuhi. Di negeri bergolak yang berpenduduk 36 juta itu, kini
terdapat 33 juta pemeluk Katolik. Dalam kehidupan politik di
Polandia, peranan gereja memang tak bisa dikesampingkan. Dalam
sejumlah perselisihan antara Solidaritas dengan pemerintah
sebelumnya, Uskup Josef Glemp, misalnya aktif berperanan sebagai
penengah. Sekalipun demikian "gereja tak pernah membuat
keputusan politik. Tapi gereja tak akan tinggal diam jika
keselamatan negara terancam," kata Uskup Glemp.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini